Lanjutkan Perhutanan Sosial
Program reforma agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo tampaknya perlu dilanjutkan dalam periode kedua pemerintahannya, 2019-2024. Program ini menyangkut kepentingan masyarakat banyak yang bermukim di wilayah pinggiran.
Bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), program perhutanan sosial sebagai bagian dari reforma agraria juga banyak bermakna strategis, di antaranya memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan.
Menurut Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, apabila target perhutanan sosial 12,7 juta hektar tercapai, maka tiga juta kepala keluarga (KK) bisa terlibat, termasuk menyejahterakan 12 juta keluarganya. Signifikan mengurangi angka kemiskinan.
Meski demikian, progres saat ini baru 2,17 juta hektar yang tergarap, meliputi 5.092 lokasi di seluruh Indonesia dan melibatkan 500.000 KK atau sekitar 2 juta orang.
Memasuki awal pemerintahan baru Jokowi-Ma’ruf Amin (2019-2024), perlu dipikirkan bahwa program ini tidak sekadar bagi-bagi lahan hutan dalam tanda kutip, tetapi lebih untuk mendongkrak swasembada pangan, khususnya swasembada beras sebagaimana tahun 1984.
Potensinya sungguh besar. Dari target 12,7 juta hektar, kalau separuhnya saja (kurang lebih 6 juta hektar) ditanami padi lahan kering dengan sistem tumpang sari, akan diperoleh 18 juta ton padi bruto (asumsi 1 hektar menghasilkan 3 ton padi) setiap kali panen. Potensi luar biasa yang belum terpikirkan oleh Kementerian Pertanian.
Masalahnya, tidak semua lahan program perhutanan sosial cocok untuk padi. Di Jawa dan sebagian Sumatera barangkali iya, tetapi bagaimana dengan lahan di Kalimantan dan sebagian Sumatera, yang lahan hutannya adalah lahan gambut? Oleh karena itu, KLHK bersama Kementerian Pertanian sebaiknya memetakan dan memilah kelayakan lahan hutan yang ada.
Lahan hutan yang diusulkan daerah untuk food estate seperti di Kabupaten Manokwari, Papua, dan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, sebaiknya masuk dalam program perhutanan sosial.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK
Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Dubes Merakyat
Dubes Inggris, ASEAN, dan Timor Leste, Moazzam Malik, menulis surat perpisahan untuk bangsa Indonesia dalam Kompas, 21/6/2019.
Ia memang termasuk dubes yang merakyat. Buktinya pernah menginap di Pesantren Gontor. Ia juga mengunjungi Kampung Inggris di Kecamatan Pace, Blitar, Jatim, tempat 50.000 warga belajar bahasa Inggris setiap tahun.
Banyak saran yang ia sampaikan untuk kemajuan Indonesia. Yang menarik adalah agar ada universitas di Indonesia masuk ranking 200 dunia. Juga saran supaya kita mampu berbahasa Inggris.
Menurut saya, salah satu kelemahan kita adalah rendahnya SDM dalam berbahasa Inggris, yang berimplikasi parah pada kualitas bangsa. Nilai ekspor jadi sulit naik, bahkan defisit. Dosen tak bisa bicara dan baca literatur berbahasa Inggris sehingga mutu akademiknya rendah.
Beda dengan orang Melayu di Malaysia, pedagang dan dosennya lihai berbahasa Inggris sehingga ekspor dan kualitas akademiknya tinggi. Perekonomian jadi lebih baik.
Mengapa bahasa Inggris kita buruk, padahal diajarkan sejak SMP? Jawabannya, malas dan malu belajar serius!
Saat di SMPN, guru bahasa Inggris Ibu Saparinah menyarankan murid belajar bahasa Inggris di rumah dengan suara keras. Saya lakukan itu.
Di SMA, saya korespondensi dengan mahasiswi di Ohio, AS, dan mahasiswi Denmark bernama Nina Ewald yang tinggal di Soborg, Denmark. Saya sama cepat menulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Suyadi Prawirosentono
Selakopi, Pasir Mulya, Bogor