Mengenai kehati-hatian ketika membajak peristiwa atau mencuri momen, mereka yang berada di tim sebuah perusahaan harus memastikan bahwa peristiwa yang hendak dibajak selaras dengan pesan yang dibawa oleh merek.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Ketika larangan mengambil foto dan video di kabin oleh Garuda muncul awal pekan ini, tak lama kemudian bermunculan ”pengumuman pelarangan” yang sama oleh beberapa perusahaan. Dalam pemasaran, apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu disebut sebagai pembajakan peristiwa, strategi pemasaran menyergap, mencuri momen, gerilya pemasaran, dan lain-lain.
Di era media sosial, cara-cara ini makin banyak dipakai. Meski demikian, etika membajak peristiwa menjadi penting karena tak sedikit yang mengolok-olok merek lain yang pada masa depan bisa merugikan dalam hubungan bisnis.
Setidaknya Grab Indonesia, Gramedia, dan Sang Pisang membuat pengumuman pelarangan dengan nada humor dan menggelitik untuk memanfaatkan momen ketika di media sosial sedang ramai diperbincangkan tentang pelarangan oleh manajemen Garuda. Di kalangan ahli pemasaran, cara seperti ini merupakan cara yang paling murah dan malah bisa dibilang gratis untuk mengerek merek.
Mereka tidak memerlukan strategi yang jelimet untuk membangun citra di pasar meski tetap saja sebenarnya membutuhkan sebuah tim. Dan tim itu juga merupakan tim yang terbangun dengan perencanaan yang matang dan selalu bersiap berperang untuk memenangi hati dan pikiran konsumen sehingga sesungguhnya tidak gratis atau malah mahal.
Melihat fenomena pembajakan peristiwa (hijacking event) belakangan yang marak, dipastikan mereka yang mampu memiliki kemampuan merespons secara cepat pasti memiliki tim yang tangguh, dari mulai pembuat ide, pengonsep, pembuat cerita, hingga desainer grafis. Mereka bukanlah tim dadakan, melainkan tim yang didedikasikan mampu menangkap peristiwa, membuat ide, dan merealisasikannya dalam produk-produk grafis, foto, dan kalimat yang pas untuk diunggah di media sosial.
Studi yang menarik dari membajak peristiwa dadakan adalah ketika terjadi pemadaman listrik saat berlangsung Super Bowl XLVII 2013 di Amerika Serikat. Listrik stadion yang tiba-tiba padam secara spontan menggerakkan tim pemasaran Oreo untuk membuat konten di media sosial secara cepat. Idenya adalah: saat gelap karena listrik padam, tak masalah. Anda bisa tetap mencelupkan Oreo. Mereka mengunggah foto dengan gambar Oreo yang berlatar belakang hitam dengan tulisan ”You can still dunk in the dark”. Kontan, unggahan mereka mendapat respons positif dari warganet di tengah pemadaman yang berlangsung selama 34 menit.
Orang pasti akan melihat seolah-olah unggahan Oreo bersifat spontan dan mungkin main-main. Akan tetapi, kalangan ahli pemasaran mengatakan, Oreo pasti telah melakukan berbagai eksperimen kampanye dan terbiasa memanfaatkan media sosial untuk menaikkan merek mereka. Mereka juga telah lama membangun fanatisme para pengikutnya di media sosial sehingga ketika muncul konten yang menarik, merekalah yang tergerak menyebar tanpa dibayar. Mereka merasa memiliki Oreo.
Meski demikian, beberapa kalangan mulai memperingatkan agar cara-cara pembajakan lebih berhati-hati sehingga tidak kebablasan. Pembajakan peristiwa memunculkan debat soal etika saat Piala Dunia 2002. Sponsor utama merasa keberatan dengan gerilya beberapa merek yang tak menjadi sponsor acara itu. Sebaliknya, para pembajak peristiwa mengatakan, mereka tidak melakukan hal yang dilarang oleh aturan-aturan dalam sponsor Piala Dunia. Mereka mengaku sebagai kaum paria yang berada di pinggiran lapangan.
Mengenai kehati-hatian ketika membajak peristiwa atau mencuri momen, mereka yang berada di tim sebuah perusahaan harus memastikan bahwa peristiwa yang hendak dibajak selaras dengan pesan yang dibawa oleh merek. Mereka harus paham mana yang bisa dibajak dan mana yang tidak boleh dibajak. Cara ini untuk mencegah kegagalan dalam membajak yang kadang malah memukul balik merek. Tidak mengherankan, dalam tim sudah mulai disediakan petugas legal yang menilai potensi gugatan dalam calon materi unggahan mereka.
Sementara mengenai masalah etika, pekerjaan ini harus dilihat sebagai pekerjaan kreatif yang memang membutuhkan kerja keras otak. Pemahaman ini untuk mencegah orang-orang yang hanya pintar mencuri ide dan ingin mencari cara murahan saja dan mendapatkan keuntungan sesaat. Ahli strategi komunikasi Tom Sanders dalam sebuah wawancara mengatakan, pekerjaan ini harus dihargai sebagai pekerjaan yang berani untuk menancapkan sebuah merek ke dalam sebuah kultur dan juga komunitas.
Pekerjaan ini tidak berarti bebas risiko. Pekerjaan ini memiliki risiko. Oleh karena itu, hanya tim dan perusahaan yang berani menanggung risiko yang melakukan hal ini. Banyak pembajakan yang tidak berjalan dan sekadar membuat senang para pembuat itu sendiri, sementara konsumen tidak merespons ide-ide dari pemilik merek. Kembali ke soal prinsip dasar melakukan pembajakan peristiwa, patokan yang paling penting adalah menimbang peristiwa dengan nilai-nilai dalam perusahaan. Tidak semua peristiwa perlu dibajak karena nanti hanya latah, dan dalam kasus perusahaan lain sedang tertimpa masalah, hal itu malah bisa membuat pemilik merek lain tersinggung atau tersindir.
Di dunia Barat mungkin cara-cara seperti ini bebas dilakukan. Namun, di Indonesia, unggahan-unggahan yang menyinggung pebisnis lain bisa membuat urusan panjang. Ketersinggungan bisa membikin bisnis kita macet pada masa depan karena perusahaan yang tersinggung mungkin tak mau lagi bekerja sama. Cara yang paling mudah untuk mencegah latah membajak peristiwa adalah mengingatkan tim agar tidak kebablasan. Orang memiliki cita rasa sehingga tidak semua suguhan akan dikonsumsi.