Surat kepada Redaksi
Audit Instalasi Listrik Pasar
Listrik dianggap biang kerok kebakaran pasar di Indonesia, terutama pasar-pasar tradisional. Jika terjadi kebakaran, yang rugi adalah para pedagang, terutama pedagang kecil. Mereka tidak bisa berjualan lagi dalam jangka panjang, menunggu pasar direnovasi.
Sebagian besar pemicu kebakaran bersumber dari listrik, melalui korsleting atau hubungan singkat listrik. Masyarakat menyebutnya arus pendek. Mengapa?
Pasar-pasar tradisional rata-rata berusia di atas 10 tahun, bahkan ada yang puluhan tahun. Dapat dipastikan, kondisi instalasi listriknya sudah tua dan rapuh. Bukan hal aneh kalau kita sering melihat kabel listrik di pasar-pasar tradisional semrawut dan sekadarnya. Pemasangnya kebanyakan adalah para pedagang sendiri, yang sangat tidak memahami standar keamanan instalasi listrik. Prinsip mereka, yang penting nyambung dan lampu bisa menyala. Colokan listrik (stop kontak) pun sering bertumpuk.
Oleh karena itu, pemerintah daerah, pihak pengelola pasar, PLN, ataupun pihak-pihak terkait lain harus mulai peduli, meningkatkan kontrol dan pengawasan terhadap pemanfaatan listrik di pasar-pasar tradisional. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sudah saatnya mengaudit instalasi listrik di pasar-pasar tradisional.
Instalasi listrik menjadi rentan korsleting jika ada pembebanan berlebih, pemasangan atau penyambungan asal-asalan, dan tak ada alat pengaman memadai.
Saat ini, memasuki musim kemarau, potensi kebakaran semakin besar. Mari kita jaga bersama, jangan sampai arus pendek memicu kebakaran dan berakibat fatal terhadap harta benda maupun keselamatan jiwa manusia.
Budi Sartono Soetiardjo
Graha Bukit Raya, Cilame, Ngamprah, Bandung
Pengalaman Buruk Ikut UTBK
Anak saya, Kafka, mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang diselenggarakan Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) 2019. Ia ikut tes gelombang pertama dan kedua.
Gelombang pertama berjalan lancar. Pada gelombang kedua, ada banyak hambatan. Pertama, Kafka didiskualifikasi karena dianggap belum membayar uang tes. Kenyataannya saat mengunduh kartu peserta tes, gagal. Di layar tertulis ”kedaluwarsa”.
Dia menghubungi pengaduan LTMPT via surel. Jawaban yang diterima, LTMPT belum menerima uang transfer
anak saya sehingga didiskualifikasi dari kepesertaan UTBK.
Anak saya pun ke Bank Mandiri. Pihak bank menyatakan transfer sudah masuk ke rekening LTMPT dan memberi surat bukti transfer berhasil. Surat dikirim via surel ke LTMPT, tidak diterima.
Saya mengontak Ketua LTMPT Prof Ravik Karsidi. Ia menyarankan menghubungi sekretarisnya, Bapak Widi Wardoyo. Namun, jawaban tetap sama, kedaluwarsa.
Saya akhirnya membuat kronologi via Whatsapp kepada Prof Ravik dan Bapak Widi pada 20 April 2019. Jawabannya, anak saya akan dimasukkan sebagai peserta dan sedang dicarikan waktu tes.
Kejadian kedua, susah untuk mengunduh kartu peserta. Menurut Pak Widi, ia sudah meminta tim TI untuk memasukkan kembali nama anak saya. Baru pada 30 April, ia bisa mencetak kartu peserta.
Pada hari tes, 26 Mei, ia tiba di lokasi tes pagi sekali, demi memperbaiki nilai tes gelombang pertamanya. Namun, ada kejadian ketiga. Kafka tak bisa ikut tes karena komputer belum diisi soal.
Ibu Ismaini, koordinator sekretariat LTMPT, menyatakan, komputer yang akan dipakai anak saya lupa belum diisi soal ujian. Ia dijanjikan ikut sesi siang pukul 12.30.
Kejadian keempat, nilai tes Kafka terlambat empat hari dari jadwal. Pengumuman hasil tes 1 Juni, tetapi ia baru bisa mengakses nilai itu pada 4 Juni. Penjelasan LTMPT berubah-ubah dan terkesan menyembunyikan sesuatu. Mohon Kemenristek dan Dikti untuk menjernihkan masalah ini.
Achmad Luqman
Gandaria Utara,
Jakarta Selatan