Tukak Lambung
Teman yang berdiri di kanan saya langsung menyambar, ”Makanya hidup itu jangan stres.”
Semarak
Mendengar komentarnya yang secepat kilat itu, kepala saya hanya mengangguk. Saya mengangguk tanda setuju karena belakangan saya mengalami serangan tukak lambung yang membuat perut kembung dan terasa penuh, perih, dan mual.
Tetapi, bagaimana saya bisa tidak stres kalau hidup saja begitu banyak dipenuhi oleh keadaan yang memberi tekanan kepada pikiran. Sepulang dari acara itu, saya jadi berpikir bagaimana caranya agar saya dapat hidup tanpa stres?
Lha wong dalam hidup itu selalu saja ada yang membuat naik pitam. Bahkan, ketika kehidupan sudah diatur sedemikian rupa agar berjalan tanpa beban dan tekanan, toh masalah selalu saja bermunculan. Kadang yang muncul sebuah masalah yang tak pernah dipikirkan sebelumnya bisa membuat kepanikan.
Sampai saya berpikir bahwa hidup itu sudah diciptakan dengan tekanan. Acap kali saya dikuliahi bahwa tekanan hidup terjadi karena salah saya sendiri. Acap kali saya menjadi kesal dengan ucapan itu. Seolah-olah saya itu dilahirkan untuk menjadi yang selalu salah.
Saya juga sempat berpikir apakah masalah itu yang membuat hidup lebih hidup? Apakah kalau saya dilahirkan dengan kelainan salah satu atau beberapa organ tubuh, sehingga saya menjadi sumber masalah untuk diri sendiri dan keluarga saya, maka hidup itu akan menjadi lebih hidup?
Apakah tukak lambung yang saya derita atau ginjal cangkok saya yang sekarang ini berair dan sudah masuk ke stadium 3 dan yang telah membuat air merembes ke perut dan telah membuat perut saya seperti perut kodok, itu sebuah kehidupan yang semarak?
Semarak, karena yang lain memiliki lambung yang sehat, lambung saya meradang. Semarak, karena sekarang bisa mengalami bahwa tubuh saya adalah sarang penyakit. Semarak, karena yang sakit tidak hanya ginjalnya, tetapi juga ada batu di empedu, ada radang di prostat.
Hidup menjadi semarak karena ada deg-degannya. Ada doa yang telah dipanjatkan bertahun lamanya tak ada jawaban juga yang terjadi. Semarak, karena setelah hidup diatur dengan saksama, toh kehilangan tetap terjadi. Semarak, karena ada makanan pedas dan berlemak yang nikmat, tetapi yang juga dapat menyebabkan terjadi tukak lambung.
Semarak, karena saya bisa memanipulasi cara berpikir bahwa kehidupan yang indah itu adalah kehidupan yang bentuknya bukan indah saja, tetapi bisa juga tak indah. Meski, di dalam kata indah itu, sejatinya tak ada yang mengandung hal tidak indah.
Bersahabat vs memanipulasi
Mungkin manipulasi diperlukan agar saya tidak stres. Supaya saya bisa menghibur batin saya agar tidak lara. Karena tidak lara, saya bisa sedikit lebih berbahagia. Dengan demikian, kalau berbahagia meski sedikit dan gara-gara memanipulasi, tukak lambung saya tak akan ada atau tak akan kumat dan beban hidup saya bisa berkurang.
Saya melakukan hal itu bertahun lamanya. Contohnya begini. Saya selalu berkata kepada diri sendiri, saya tak boleh menyerah ketika doa-doa saya belum dijawab, meski saya sudah berdoa bertahun lamanya dan sudah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan tingkat kepandaian yang saya miliki.
Saya mengatakan kepada diri saya agar tak kecewa, bahwa suatu hari akan datang masanya Tuhan akan memberikan lebih dari apa yang saya doakan. Kalau rasa iri hati saya timbul melihat kesuksesan orang lain, melihat teman saya yang sudah tampan dan cantik itu begitu pandainya sehingga mereka dapat masuk ke universitas bergengsi dunia, melihat anak berusia 12 tahun bisa turut dalam debat tingkat internasional dengan bahasa Inggris yang luar biasa, maka saya mulai mengatakan kepada diri saya sesuatu yang sangat klise.
Kamu bisa bangun tiap hari dengan sehat, meski ginjalmu berair, karena ada yang pagi itu bangun dengan sesak napas dan bahkan tak bisa bangun sama sekali. Kamu bisa makan apa yang kamu mau hari ini, sementara orang lain hari ini belum tentu bisa makan. Kamu memang bodoh, tetapi kamu masih bisa jalan-jalan dan berfoto di halaman universitas bergengsi itu.
Kamu tidak kaya, tetapi bisa duduk di kelas bisnis dengan cara mencicil. Kamu harus bersyukur ada bank yang memberikan cicilan kartu kreditmu dengan bunga 0 persen sehingga kamu bisa mengunggah fotomu di kelas bisnis sehingga terlihat seperti orang kaya dan dengan demikian status sosialmu juga turut naik gara-gara mencicil.
Tetapi, sejujurnya saya tahu kalimat positif yang manipulatif, klise, dan basi itu tak mampu menghilangkan tukak lambung saya. Ia tak mampu mengurangi tekanan dalam kehidupan saya. Ia tak mampu membuat saya legawa. Jadi, sampai tulisan ini saya akhiri, saya tak tahu bagaimana cara agar hidup saya tidak stres.
Kemudian teman saya bilang begini. Hidup kalau enggak ada stres ya mati. Stres itu tantangan. Seru lagi kalau tertantang jadi memacu kita untuk lebih baik. Sungguh saya tak tahu apakah ia mengatakan itu sebagai sebuah caranya untuk tidak terlalu kecewa terhadap hidupnya sehingga ia terlihat bersahabat dengan stresnya itu.
Bisa jadi teman saya ada benarnya. Mungkin ia menjalankan ungkapan seperti dalam film The Godfather. ”Never hate your enemies. It affects your judgment.”
Mungkin saya harus mampu untuk tidak membenci stres sebagai musuh saya.