Iran Tak Lupa Kudeta Dukungan CIA (2)
Status Iran secara geografi dan historis selalu menjadi rebutan di antara pemilik kekuatan. Jika dulu Barat memiliki hegemoni, kini Rusia dan China sedang menantang hegemoni itu. AS di bawah Donald Trump ingin mengulang kisah lama. Namun, Uni Eropa, meski terkesan setengah hati, tetap menginginkan perubahan strategi soal Iran.
”Ya, dosa saya—dosa terbesar saya—adalah menasionalisasi industri minyak Iran dan mengikis sistem ekonomi politik eksploitatif yang dicanangkan kekuatan terbesar dunia. Ini menjadi beban bagi saya, keluarga saya, dan saya kini berisiko kehilangan hidup, kehormatan dan kekayaan saya. …Dengan rahmat Tuhan dan kemauan rakyat, saya melawan kekacauan, sistem kolonialisme, dan agen mata-mata internasional. …Saya sadar bahwa nasib ini harus saya jalani sebagai contoh demi masa depan Timur Tengah untuk memutus mata rantai perbudakan dan kepentingan kolonial.”
Itu adalah pernyataan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh saat diadili pada 19 Desember 1953.
Baca juga tulisan pertama: Iran Tak Lupa Kudeta Dukungan CIA (1)
Pada 1954, kemungkinan untuk mengubah citra, nama perusahaan minyak Inggris pun diubah menjadi British Petroleum Company (BP).
Pangeran Manucher Farmanfarmaian, yang juga mantan Dubes Iran untuk Venezuela, berbicara terkait minyak di sebuah forum yang diselenggarakan Dallas Council on World Affairs pada 1 Juni 1997 di New York. Manucher dan Mossadegh sama-sama keturunan Dinasti Qajar.
Manucher yang mengasingkan diri ke Venezuela pasca-Revolusi Iran 1979 menyatakan, bisa dimengerti orang-orang yang kecewa karena kurang mendapatkan porsi dari hasil minyak. Jika dibandingkan dengan Venezuela atas kehadiran korporasi AS dalam perminyakan, Iran termasuk tidak beruntung.
Di forum juga tampil putri kandung Manucher, Roxane Farmanfarmaian, seorang jurnalis dan kolumnis lulusan Princeton. Bapak dan putri ini berduet menulis buku Blood & Oil, Memoars of a Persian Prince. Menurut Roxane, buku itu sengaja ditulis untuk membuka cakrawala dunia. Iran layak dihargai eksistensinya dan layak didekati dengan alternatif lain jika cara lama tak berhasil, demikian Roxane.
Bapak dan putrinya ini tidak menggebu-gebu bicara soal kekejaman masa lampau. Secara implisit mereka berpesan tentang strategi pendekatan yang mungkin lebih masuk akal. Roxane menyiratkan perlunya ”oil man” memahami persoalan di negara pemilik minyak. Manucher juga berpesan implisit tentang upaya menjauhkan dari dari godaan untuk mendikte negara lain.
Sasaran dari pesan seperti ini tidak saja pada Inggris, tetapi juga pada AS yang membantu Inggris untuk menggerakkan kudeta di Iran, kudeta pertama oleh Barat untuk menjungkalkan pemerintahan asing.
Menepis nurani
Derita rakyat dari negara pemilik minyak sebenarnya mengusik nurani juga. BP bercokol di Iran. Arabian-American Oil Company bercokol di Arab Saudi. Korporasi AS tunduk pada tekanan soal bagi hasil minyak yang relatif berimbang dengan Pemerintah Arab Saudi pada 1950. BP menghadapi tekanan serupa, tetapi London menolak keras.
Kesalahan AS lain adalah tidak membatalkan aksi kudeta yang turut diotaki CIA. Lembaga intelijen AS ini sebenarnya sudah memerintahkan pembatalan rencana kudeta. Intinya ada bisikan nurani. Hanya saja, hal ini berhadapan dengan orang-orang yang didorong kebohongan, manipulasi demi kepentingan minyak.
Terjadilah kudeta dan membekas bagi generasi masa depan Iran. Sejak 1953, Iran menjadi negara yang terpecah antara pemerintahan Shah dukungan Barat dan oposisi yang tidak henti melakukan perlawanan. Sejak 1953 hingga 1979, atau selama 26 tahun, pemerintahan Shah tetap dalam posisi gamang.
Pemerintahan Shah mencoba melakukan penekanan hingga memaksa Grand Ayatollah Khomeini mengasingkan diri pada 4 November 1964 ke Najaf, Irak. Hal ini tidak mampu meredam perlawanan dan memuncak pada Revolusi Iran tahun 1979, ditandai dengan terjungkalnya Shah.
Kecurigaan sangat akut
Awalnya adalah kudeta demi kepentingan minyak. Hal ini merembes ke berbagai sudut. Iran adalah negara yang memiliki faksi-faksi, termasuk di dalamnya kaum reformis. Akan tetapi, memori lama soal kudeta membuat negara ini kukuh dengan satu visi, intinya anti-Barat.
”Operasi Ajax telah lama menjadi bayang-bayang buruk bagi kaum konservatif Iran ataupun liberal. Kudeta mengobarkan sentimen anti-Barat, yang memuncak pada Revolusi 1979 ditandai dengan penyanderaan warga AS, penjungkalan Shah dan lahirnya Republik Islam,” demikian Bethany Allen-Ebrahimian, seorang wartawan menulis di situs Foreign Policy edisi 20 Juni 2019.
Baca juga: Sikap Iran Sangat Rasional (1)
Tulisan Allen-Ebrahimian ini muncul setelah Departemen Luar Negeri AS membuka lebih rinci Operasi Ajax pada 15 Juni 2017. Ini merupakan kelanjutan dari pembukaan operasi CIA yang sudah mulai dilakukan setengah hati pada 19 Agustus 2013. Pembukaan dokumen ini sekaligus membenarkan kudeta oleh CIA, yang sekian lama diredam.
Operasi Ajax demi minyak Iran telah mengorbankan akar demokrasi, dambaan Barat. Ini termasuk dengan mengatasnamakan ancaman komunisme, yang juga berakhir dengan penangkapan tokoh-tokoh Partai Tudah (Komunis Iran).
Namun, Operasi Ajax juga tak meredam sentimen nasionalisme di Iran hingga di kawasan. Inilah satu contoh yang menjadi studi John Mearsheimer, pakar hubungan internasional dari University of Chicago, bahwa negara adidaya sulit menaklukkan negara dengan kekuatan hegemoninya. Pemilik hegemoni lupa tentang kuatnya unsur nasionalisme di banyak negara.
Kawasan kukuh
Gelombang nasionalisasi bisnis minyak terus membahana di Timur Tengah. Jika pada 1975, BP masih mengangkut minyak sebesar 140 juta ton dari Timur Tengah, pada 1983 tinggal 500.000 ton. Pada dekade 1980-an, Pemerintah Inggris akhirnya menjual sahamnya di BP.
Akan tetapi, efek BP dengan segala luka-lukanya tidak hilang. Sentimen anti-Amerika dan Inggris tetap ada di Timur Tengah. Di Iran tetap terdengar teriakan ”death to American”. Ini menenggelamkan hal positif yang pernah dilakukan AS terhadap Iran.
Roxanne mengingat sejarah saat Thomas Jefferson, George Washington, dan Abraham Lincoln berelasi baik dengan Dinasti Qajar Iran. Manucher juga menyebut jasa Harry Truman yang menyelamatkan Iran saat Perang Dunia II.
Kudeta membekas. ”Ini telah menjadi semacam sejarah yang sangat pelik dan sulit serta masih melekat kuat bagi warga Iran sekarang,” kata Valerie Marcel, seorang peneliti di Chatham House, yang berbasis di London, Inggris. Demikian harian AS, The Wall Street Journal, pada 3 April 2015.
”Iran terobsesi dengan pemikiran bahwa Inggris ahli manipulasi dan memanipulasi AS,” kata Dr Ali Ansari, profesor sejarah modern Timur Tengah dari University of St Andrews, Inggris. ”Mereka memiliki narasi kuat soal itu, sesuatu yang Anda tak bisa bayangkan. Meski Rusia lebih brutal, Inggris telah menorehkan luka-luka,” kata Dr Ansari.
Baca juga: Serangan ke Iran Tak Perlu, Solusi Terbuka Lebar (1)
Sejarah Inggris-Iran dimulai pada dekade 1600-an yang sarat dengan kemelut memilukan. Hal ini tidak saja soal minyak, tetapi juga berlanjut ke masa Perang Irak-Iran 1980-1988, saat Inggris mendukung Saddam Hussein. Perlindungan Inggris pada penulis bernama Salman Rushdie menandai hubungan terendah Iran-Inggris.
AS tidak luput dari kesalahan serupa. Kapal perang AS, USS Vincennes, menembak pesawat Iran Air pada 3 Juli 1988 dan menewaskan 290 penumpang. AS mengatakan, pesawat Airbus A300 itu salah sasaran tembak. Pada 2002, Presiden George W Bush menuduh Iran bersama Irak dan Korea Utara sebagai proses kejahatan. AS dan Inggris tidak belajar dari sejarah.
Ingin mengakhiri
Pada dekade 2000-an, berkembang ide di Eropa soal strategi untuk mengakhiri semua ilusi lama Barat (AS-Inggris) soal Iran. Termasuk di antara ilusi lama itu adalah penjatuhan pemerintahan lewat pelemahan ekonomi. Faktanya, ekonomi melemah, tetapi Iran tidak ambruk. Hal ini digambarkan oleh mantan Menlu Jerman Joschka Fischer lewat artikel yang dia tulis di situs Project Syndicate, 29 Juni 2019.
Fischer menekankan, konfrontasi dengan Iran kini makin berisiko menjadi konfrontasi militer melihat pengalaman masa silam. Fischer menambahkan, Iran tidak kunjung bisa diisolasi, bahkan dukungan menguat karena akan ada pertolongan dari Rusia dan China.
Sikap konfrontasi dengan Iran, apalagi dengan adanya rencana pengembangan senjata nuklir, menurut Fischer, akan membuat keamanan Eropa dalam situasi genting. Maka, ada pemikiran untuk menciptakan iklim yang damai dan relasi baik dengan Iran, demikian Fischer.
Menurut dia, ide ini tidak terwujud hingga muncul Presiden AS Barack Obama yang mengubah strategi Barat. Eropa sendiri terlalu lemah untuk mencegah pengembangan senjata nuklir Iran. Pola pendekatan baru terhadap Iran mencuat di bawah Obama dan ini merupakan visi Eropa juga, seperti dituliskan Fischer.
Maka dicapailah perjanjian nuklir dengan Iran dalam kolaborasi dengan Perancis, Inggris, Jerman, Uni Eropa, Rusia, dan China pada 2015. Kedutaan Besar Inggris dibuka kembali pada 2015 untuk memulai relasi di era baru. Bendera ”Union Jack” mulai berkibar di Teheran pada Agustus 2015. Saat itu, Menlu Inggris Philip Hammond mengatakan, ”Ini sekaligus menandai sebuah era baru.” Momen ini berlangsung setelah tercapainya perjanjian nuklir.
Pada 2015, ada titik cerah Iran diberi kebebasan ekonomi dengan pencabutan sebagian sanksi, tetapi dengan konsekuensi Iran harus menggantikan program pengembangan nuklir. Namun, tanpa aba-aba, selain meniupkan tuduhan bahwa Iran mendukung kelompok perlawanan di Timur Tengah, pada Mei 2018, Presiden Donald Trump menyatakan mundur sepihak dari perjanjian nuklir Iran. Tekanan demi tekanan dilancarkan setelah itu, termasuk tekanan ekonomi ke Iran yang harus diikuti negara lain.
Benar seperti dituliskan Fischer, China dan Rusia tidak diam. Lewat Menteri Luar Negeri Wang Yi, China memperingatkan AS agar tidak membuka kotak pandora. Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, konflik militer di Iran sangat tidak diinginkan.
Status Iran yang secara geografi dan historis selalu menjadi rebutan di antara pemilik kekuatan tetap ada. Jika dulu Barat memiliki hegemoni, kini Rusia dan China sedang menantang hegemoni itu. Iran dan kawasan Timur Tengah kini memproduksi minyak sebesar 27,479 juta barel per hari atau 34 persen dari total produksi minyak dunia.
Baca juga: Provokasi Murahan AS di Iran Ketahuan
Dan terbukti, di Iran muncul lagi kenangan akan kisah lama, penjungkalan Mossadegh karena kolaborasi AS-Inggris. Penangkapan tanker Iran oleh Inggris di Gibraltar pada 4 Juli tak pelak lagi merupakan paket penekanan yang dicanangkan AS dan didukung Inggris.
”Inggris sejauh ini satu-satunya negara yang secara praktis terlibat untuk membantu agresi AS terhadap Iran,” kata Saeed Laylaz, politisi Iran dari kelompok reformis. ”Kami tidak punya pilihan selain bereaksi dan sekaligus mengingatkan Inggris bahwa ini bukan lagi situasi seperti di tahun 1953,” kata Saeed.
Laylaz, uniknya, adalah dari aliran reformis Iran. Ucapannya membenarkan bahwa trauma akibat duet Inggris-AS tidak pupus, baik di antara kalangan nasionalis maupun reformis.
Malcolm Byrne menuliskan, ”Isu ini bahkan menjadi kajian para akademis tentang bagaimana Barat harus bersikap pada Iran. Isu ini lebih dari sekadar wacana akademis. Kubu politik dari semua pihak, termasuk Pemerintah Iran, rutin menjadikan kudeta untuk mempertanyakan apakah Iran atau kekuatan asing yang telah menentukan sejarah perjalanan negara, apakah AS dapat dipercaya atau mau menghargai kedaulatan Iran, atau apakah Washington harus meminta maaf sebelum memulai hubungan baik.”
Bukannya meminta maaf, Trump ingin mengulang kisah lama. Namun, untungnya Uni Eropa, meski terkesan setengah hati, tetap menginginkan perubahan strategi soal Iran. Demikian juga para elite di AS, mayoritas tidak menginginkan perang. Akan kuat soal perdamaian ini jika kuat juga pendapat ini di AS. Thomas Jefferson, Presiden AS periode 1801-1809, memiliki prinsip untuk menghindari perang dalam relasi internasional.