Masalah Kesehatan Mental di Industri Digital
Banyak pelaku usaha rintisan mengalami masalah kesehatan mental. Namun, masalah ini belum banyak mendapat perhatian. Investor pun disarankan memasukkan isu kesehatan mental pelaku usaha rintisan yang pada akhirnya membangun ekosistem wirausaha berkelanjutan.
Pertumbuhan usaha rintisan berbasis digital sangat mencengangkan. Tak salah apabila perkembangan itu disebut sebagai revolusi.
Berbagai temuan telah mempermudah urusan kita sehari-hari. Temuan ini terus berlanjut seperti tiada hari tanpa temuan baru atau inovasi. Model bisnis lama dijungkirbalikkan dan ditemukan cara bisnis baru.
Di balik semua itu terdapat orang-orang yang bekerja dengan tekun dan serius. Meski demikian, menyisakan pertanyaan, bagaimanakah kesehatan mental mereka? Kita tak berharap ada kejadian yang fatal dengan permasalahan yang makin sering muncul ini.
Seorang penulis bernama Alex Malouf mengatakan, masalah kesehatan mental di kalangan wirausaha jarang sekali dibahas. Kadang ada yang menganggap tidak penting, tetapi kadang juga karena tidak ada data sehingga jarang dipedulikan. Padahal, wirausaha paling banyak terkena masalah kesehatan mental.
Awal tahun ini, seorang penulis yang juga pelaku usaha rintisan bernama Marcel Muenster di laman Entrepreneur menyebutkan bahwa saat-saat ini terdapat pertumbuhan eksponensial orang yang didiagnosis terkena attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
ADHD adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang sulit memusatkan perhatian sehingga menjadi impulsif dan hiperaktif. Ia mengatakan, tak sedikit ADHD menghinggapi para eksekutif usaha rintisan (start-up).
Debat soal masalah ini sebenarnya sudah lama karena melihat kenyataan sejumlah inovator dan orang kreatif terhinggapi masalah kesehatan mental ini. Mereka yang sukses dan memiliki kinerja paling puncak juga terkena masalah ini. Ada yang menyebut hal itu sebagai keuntungan tak tampak dari orang yang menderita ADHD.
Salah satu dokter di bidang terapi psikologis, Paul Hokemeyer, mengatakan, dalam dua tahun terakhir banyak orang mendatanginya dan telah mendiagnosis diri terkena ADHD.
Beberapa ciri ADHD adalah tidak peduli dengan detail, sulit mempertahankan perhatian dalam satu hal, sulit mendengarkan apabila seseorang tengah berbicara, dan berkali-kali kehilangan benda, seperti kunci atau gawai.
Muenster mengutip laporan National Institute of Mental Health yang menyebutkan bahwa ADHD menghinggapi 8,1 persen populasi dewasa dan dari angka itu 29 persennya adalah para wirausaha.
Muenster mengutip laporan National Institute of Mental Health yang menyebutkan bahwa ADHD menghinggapi 8,1 persen populasi dewasa dan dari angka itu 29 persennya adalah para wirausaha. Sepanjang pengalamannya, ia juga mengakui banyak wirausaha yang menderita sejumlah masalah kesehatan mental.
Ia sendiri, setelah berdiskusi dengan Hokemeyer, mengakui jika ia mudah kurang fokus dengan satu obyek, mudah terganggu perhatiannya, dan selalu tertuntut untuk produktif dengan syarat lingkungannya mendukung.
Muenster mengakui bahwa sifat-sifat di dalam dirinya ada yang menguntungkan, tetapi kadang menjadi kutukan. Sebagai wirausaha, dia harus mengejar kesuksesan, tidak berada dalam status quo, dan juga resah dengan berbagai masalah konvensional. Namun, di sisi yang lain, ia juga mudah tidak sabar dan mulai mengalami gangguan kesehatan.
Baca juga: Saintis Data, Tak Semudah Merekrut Karyawan Biasa
Muenster kemudian mengutip data yang menyebutkan sekitar 90 persen usaha rintisan gagal di tahun pertama. Dari kegagalan sebesar itu, sekitar 65 persen akibat kelelahan pendirinya.
Ia melihat bahwa investor lebih melihat kesuksesan usaha dari keuntungan uang, pengetahuan, dan jaringan. Tak ada investor yang melihat keberhasilan para pendiri dari sisi kesehatan mental dan kesehatan fisik para pendirinya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar para investor juga melihat dan mempertimbangkan keuntungan ekonomi dari sisi kesehatan kultur dalam bekerja karena kesehatan lingkungan bekerja akan memberi banyak manfaat, seperti kesetiaan bekerja, karyawan saling peduli, dan banyak pengeluaran akan berkurang.
Penulis lain, yaitu Jack Chapman, dalam laman Techcrunch juga menyebutkan, salah satu masalah yang muncul dalam kesehatan mental para pendiri usaha rintisan adalah investor tak pernah peduli dengan permasalahan mereka.
Investor perlu bijak melihat masalah itu karena isu kesehatan mental menjadi masalah besar dan terus meningkat. Oleh karena itu, para investor juga perlu memasukkan isu kesehatan mental dalam berbisnis karena selama ini investor jauh dari ceria dan tangis para pengusaha rintisan. Mereka lebih peduli pada imbal hasil investasi.
Chapman mengatakan, kepedulian investor adalah satu hal, tetapi mereka juga harus bertindak sehingga mengurangi kemunculan masalah kesehatan mental dari para pendiri usaha rintisan. Ia mengusulkan, sejak awal investor harus mengetahui bagaimana para pendiri menangani masalah kesehatan mental mereka.
Kedua, investor harus memastikan bahwa ada sumber daya yang bisa digunakan di dalam usaha rintisan untuk meningkatkan kesehatan mental mereka. Ketiga, pendiri harus didorong untuk berolahraga.
Keempat, para pendiri bukanlah orang-orang yang terisolasi. Mereka harus melakukan komunikasi dan bertemu dengan orang lain serta melakukan liburan, ke luar dari urusan kerja.
Membangun perusahaan melibatkan ketangguhan mental, fisik, dan emosional dari mereka yang terlibat di dalam dan juga investor. Tak banyak yang memiliki ketiganya. Oleh karena itu, membangun kesehatan mental dengan mengakui keterbatasan masing-masing dan saling mendukung, maka sebenarnya kita tengah memulai kondisi yang lebih sehat dan bisa membangun ekosistem wirausaha yang berkelanjutan.