Elite Politik: Tua Merenta, Muda Tergoda
Politik akan semakin lapuk jikalau tunas-tunas baru tidak pernah tumbuh. Batang-batang lama akan semakin meranggas dan pada akhirnya pasti menjadi tunggul. Kegersangan akan melanda ladang-ladang politik.
Politik akan semakin lapuk jikalau tunas-tunas baru tidak pernah tumbuh. Batang-batang lama akan semakin meranggas dan pada akhirnya pasti menjadi tunggul. Kegersangan akan melanda ladang-ladang politik.
Skenario politik terburuk tersebut tak mustahil ketika politik semakin mengarah pada gejala gerontokrasi. Para politikus tua terus bertengger, yang mengganjal politikus muda untuk menjejaki anak tangga sampai ke puncak.
Sampai saat ini, partai-partai politik belum mampu menjadi laboratorium penyemaian bibit-bibit baru. Padahal, fungsi parpol, di antaranya perekrutan kader-kader muda. Selama ini parpol getol mewacanakan proses kaderisasi, tetapi tidak sedahsyat dalam realisasi. Parpol tetap saja dikuasai pentolan-pentolan tua.
Bahkan sejumlah parpol teridentifikasi pada sosok elite tua. Megawati Soekarnoputri identik dengan PDI-P. Prabowo Subianto identik dengan Partai Gerindra. Susilo Bambang Yudhoyono identik dengan Partai Demokrat. Surya Paloh identik dengan Partai Nasdem.
Akibat komposisi elite lama yang masih mendominasi boleh jadi konstelasi politik ke depan pun bakal tak berubah. Cermati saja komposisi parlemen periode terbaru. Dari 575 anggota DPR periode 2019-2024, cuma 72 orang yang umurnya di bawah 40 tahun (13 persen). Jika dihitung lebih lanjut, dari 72 orang itu setengahnya terkoneksi dengan politik kekerabatan.
Komposisi tersebut menunjukkan tingkat kerapuhan politik yang cukup kronis. Dengan modal dan jejaring kekuasaan elite lama yang sudah terbentuk lama, rasanya sulit bagi elite-elite muda yang soliter memainkan peran penting di arena politik kontemporer.
Apalagi patronase politik di parpol berakar kuat. Keputusan-keputusan strategis sangat bergantung pada patron. Patronase menumpulkan pemikiran demokratis karena keputusan politik semestinya hasil pemikiran dan perdebatan bersama secara dialogis, bukan keputusan satu orang secara monolog. Patron menjadi primus inter pares yang memiliki ”sabda” yang mungkin tak bisa dibantah.
Problemnya memang sosok muda juga banyak yang layu sebelum benar-benar berkembang.
Sampai pada titik ini, parpol tidak hanya gagal membangun komunikasi internal, tetapi juga tidak mampu menumbuhkan etika dan budaya politik yang demokratis, serta gagal memunculkan sosok-sosok baru (muda) yang lebih fresh. Problemnya memang sosok muda juga banyak yang layu sebelum benar-benar berkembang.
Anas Urbaningrum yang digadang-gadang sebagai pemimpin politik masa depan terjungkal oleh kasus korupsi saat memimpin Partai Demokrat. Romahurmuziy juga terpental setelah terjerat kasus korupsi saat memimpin PPP. Bahkan, pemimpin berasal dari generasi milenial bikin patah semangat. Zumi Zola terlontar dari arena politik karena terjerat kasus korupsi saat menjadi Gubernur Jambi.
Pemimpin bersih memang menjadi syarat conditio sine qua non di negeri ini. Survei Litbang Kompas pun memotret harapan publik agar Indonesia bisa menjadi negara maju sampai 2045 adalah kebutuhan akan pemimpin bersih (31,8 persen), ketimbang pemerataan ekonomi (19,6 persen), pendidikan (17,1 persen), dan sektor lain yang lebih kecil.
Ini sejalan dengan tantangan yang dihadapi: korupsi (34,3 persen) barulah sumber daya alam (20,6 persen), tenaga ahli (15,0 persen), dan lain-lain. Pemimpin kotor yang terjerat di korupsi sudah mewabah di negeri ini. Virus korupsi menyerang ke seluruh level dan seluruh sudut-sudut negeri. Bahkan, hampir-hampir kita kehilangan antibodi. Negeri ini rasanya semakin cepat membusuk digerogoti kanker korupsi.
Meskipun demikian, kasus-kasus pemimpin muda tercela itu tak lantas menjadi pembenaran terkuncinya ruang politik bagi anak-anak muda. Barangkali yang perlu diperbaiki adalah proses perekrutan dan pendidikan politik yang dilakukan parpol. Orientasi kekuasaan parpol harus berakhir pada pengabdian bangsa dan negara, bukan kepentingan parpol apalagi faksi-faksi dan jejaring kekerabatan.
”Bila parpol tidak memiliki dasar dan tekad untuk mencapai tujuan yang benar dan bermoral maka namanya bukan parpol, tapi cuma konspirasi untuk merebut kekuasaan,” ujar Presiden AS Dwight D Eisenhower (1956).
Oleh karena itu, sirkulasi elite di parpol dan institusi politik lainnya harus dipandang sebagai proses alamiah. Sebab, sirkulasi elite itu untuk meremajakan kembali institusi-institusi politik. Kehadiran elite-elite muda akan memberi warna dan kesegaran baru bagi elite-elite tua, lama, dan mapan. Memang, faktanya banyak juga di antara mereka yang saling terkam, bukan saling melengkapi.
Merujuk ahli teori elite Vilfredo Pareto (1935), ada dua tipikal elite, yaitu elite mirip singa yang berkuasa secara paksa dan elite mirip rubah yang berkuasa secara persuasif dengan keterampilan secara licik. Dua tipologi elite itu menggambarkan filosofi politik Machiavelli.
Harus diakui sirkulasi elite sudah berlangsung, seperti di daerah-daerah. Kelompok muda sudah tampil. Beberapa contoh, seperti Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Bima Arya (Wali Kota Bogor), atau Sandiaga Uno (mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan mantan calon wapres). Nama-nama itu berpotensi masuk bursa pilpres pasca-Jokowi, meskipun tetap ada elite tua yang masih jadi kuda hitam, seperti Prabowo.
Namun, kemunculan mereka seiring dengan menguatnya berbagai kecemasan. Bukan saja bersifat strukturalis seperti kecemasan ekonomi, keamanan, dan disrupsi digital; tetapi menguatnya gejala populisme dan politik identitas. Kecemasan-kecemasan itu yang tidak hanya menginterupsi, tetapi bahkan bisa merontokkan praktik demokratis. Bahkan, tampaknya ada juga di antara elite muda pun ”menikmati” politik identitas ketika menyadari betapa sulitnya menembus hegemoni elite lama di parpol.
Tak heran politik identitas pun bisa dijadikan siasat baru sebagai jalan pintas. Sebab, memang tidak mudah terjadinya sirkulasi elite. Menurut ahli teori elite lainnya, Robert Michels (1984), elite lama cenderung memilih rekan-rekan mereka sendiri. Calon elite baru terjegal saat menuju pusat kekuasaan.
Mereka lalu mencari jalan melingkar untuk menghindari konflik keras. Akhirnya, terjadilah percampuran dua unsur (reunion des elites), bukan pergantian elite (circulation des elites). Demi kuasa, banyak elite tua dan muda malah sama-sama bersekutu. Elite muda malah larut dan terseret elite tua. Elite tua merenta dan elite muda pun tergoda. Akhirnya politik kita terus melapuk.