Politik Nabi Nuh
Syahdan menurut cerita, setelah perahu besar selesai dibangunnya, Nabi Nuh menggiring berbagai jenis binatang yang ada di bumi, sepasang demi sepasang memasuki bahtera.
Syahdan menurut cerita, setelah perahu besar selesai dibangunnya, Nabi Nuh menggiring berbagai jenis binatang yang ada di bumi, sepasang demi sepasang memasuki bahtera. Ada tugas mulia yang harus dijalankan Nabi Nuh: menyelamatkan alam raya seisinya dari kepunahan karena banjir bandang yang akan menenggelamkan bumi.
Semua binatang berbaris rapi memasuki bahtera, seperti digambarkan dalam lagu anak-anak, ”The Animals Went In Two By Two”:
The animals went in two by two, hurrah, hurrah,
The animals went in two by two, hurrah, hurrah.
The animals went in two by two,
The elephant and the kangaroo
And they all went into the ark, for to get out of the rain.
………………..
Ada gajah. Ada jerapah. Ada harimau. Ada singa. Ada ular. Ada buaya. Ada komodo. Ada unta. Ada ayam. Ada kalkun. Ada berbagai jenis burung, seperti merpati, kutilang, cucakrawa, tekukur, jalak, elang, gagak, kacer, murai batu, branjangan, kakatua, betet, cendrawasih, kepodang, dan gelatik serta berbagai jenis burung lainnya yang demikian banyak. Ada kerbau. Ada sapi. Ada kuda. Ada keledai. Ada zebra. Ada kuda nil. Ada kijang. Ada rusa. Ada kera. Ada orangutan. Ada kancil. Ada kura-kura, dan berbagai jenis ikan. Ada katak. Ada musang. Ada beruang. Ada tapir. Ada landak. Ada anjing. Bahkan, nyamuk dan bunglon pun ada. Demikian pula lalat, laron, lebah, kupu-kupu, rayap, kambing, dan domba.
Pendek kata, segala jenis binatang ada. Baik itu binatang yang beterbangan di udara, yang merayap di bumi, yang berjalan di atas bumi, dan hidup di dalam air. Semua ada. Semua dibawa masuk ke dalam bahtera besar yang dibangun Nabi Nuh, bersama tiga anaknya: Sem, Ham, dan Yafet.
Bahtera itu menjadi rumah bersama: seluruh keluarga Nabi Nuh—istri dan tiga anak serta para menantunya, berbagai jenis binatang, dan beragam jenis tanaman. Ada kebersamaan antara manusia dan ciptaan di dalam bahtera itu. Harimau bisa hidup berdampingan dengan kijang dan rusa. Merpati bermain-main dengan ular. Buaya bercengkerama dengan sapi. Beruang bermain-main dengan kera. Ada harmoni kehidupan. Ada kedamaian.
Baca juga: ”Menang Tanpa Ngasorake”
Semua serba indah dilihat. Semua binatang tahu diri, dan mampu menahan diri, tidak mementingkan kemauannya sendiri. Nafsu kebinatangan tidak terasa. Mereka sama-sama hidup di dalam bahtera dan selamat dari banjir bandang, dari air bah. Mereka menjalani nasib yang sama, diselamatkan oleh Nabi Nuh.
Karena itu, binatang-binatang itu pun bisa memahami arti kebersamaan di dalam bahtera. Kebersamaan pula yang mampu merawat toleransi sehingga, misalnya, ular bisa bermain dengan merpati. Dalam konteks ini, toleransi berarti besikap menahan diri, sabar, menghargai ciptaan lain yang berperilaku beda, berhati lapang dan tenggang rasa terhadap yang berlainan tabiat dan watak berbeda.
Anjing, misalnya, adalah jenis binatang yang sangat tunduk, patuh, dan setia kepada siapa pun yang memberi makan dan minum meskipun yang memberi makan dan minum adalah seorang penjahat. Namun, di dalam bahtera, anjing bisa tunduk kepada siapa pun. Kera yang dikenal sebagai binatang yang serakah mampu pula berbagi; tidak mementingkan diri seperti watak dasarnya.
Nyamuk yang biasanya suka mengganggu binatang lain dengan suara dengungnya pun berlaku baik. Padahal, watak asali nyamuk mencari nafkah dengan menyakiti dan mengambil hak orang lain, menyedot darahnya.
Namun, ketika waktu terus berjalan; dan kepenatan serta kebosanan mereka rasakan karena tinggal di ruangan yang sempit, tidak lega dan bebas seperti di alam raya, maka pelan-pelan sifat dan tabiat mereka sebagai binatang akhirnya muncul kembali. Ular, misalnya, tetaplah binatang yang licik dan cerdik, serta mulutnya berbisa. Kera tetaplah binatang rakus, tak pernah puas. Tikus tidak berubah, pencuri yang andal. Kancil adalah penipu. Bunglon tetaplah binatang yang oportunis untuk mencari selamat.
Ketika banjir bandang sudah usai dan mereka kembali ke alam bebas, binatang-binatang itu kembali ke sifat asalnya: licik, rakus, penipu, oportunis, mau menang sendiri, memangsa sesama binatang, merusak alam raya, melumpuhkan dari dalam seperti rayap, tidak peduli dengan sesama binatang, dan lebih memegang teguh prinsip yang dikemukakan Darwin dalam teori evolusinya, yakni survival of the fittest, yang kuat yang menang.
Adalah tidak mungkin dimasukkan ke dalam satu kandang: ular dan merpati, ular dan tikus, buaya dan kambing, harimau dan kijang, elang dan burung pipit, musang dan ayam, singa dan sapi. Binatang bukan manusia yang adalah homo socius, yakni memiliki kemampuan untuk hidup bersosialisasi dengan sesama manusia ataupun makhluk hidup lainnya. Binatang tetaplah binatang, yang dikuasai nafsu kebinatangan.
Sebaliknya, meskipun disebut sebagai homo socius, manusia bisa berubah menjadi homo homini lupus, manusia serigala bagi sesama, tega memakan sesama. Apabila demikian, suatu ketika manusia bisa seperti ular yang menunggu manusia lain lengah, baru kemudian memagutnya; atau seperti harimau dan singa yang menunggu kelengahan kijang sebelum menerkamnya; atau seperti buaya yang membuka lebar-lebat mulutnya sampai penuh lalat dan segera dikatupkannya; atau seperti kera, tikus, dan kucing yang terus mengembangkan naluri mencurinya. Atau seperti bunglon yang mencari selamat dengan berlaku oportunis.
Adakah yang seperti merpati, tetap setia; baik di dalam maupun di luar bahtera? Adakah pula yang tetap setia, tunduk, dan teguh mengamankan tuannya seperti anjing piaraan? Adakah yang tidak menggerogoti dari dalam seperti rayap ketika dimasukkan ke dalam bahtera besar? Dan, apakah ada yang tidak seperti musang berbulu domba, yang gentayangan di malam hari mencari mangsa ketika ayam-ayam sedang tidur?
Baca juga: Dongeng Kuda, Rusa, dan Pemburu
Dunia memang serba tidak pasti. Apalagi, dunia politik yang sarat dengan kepentingan. Karena ketidakpastian itu, maka berkatalah Niccolo Machiavelli dalam bukunya II Principe, pimpinan negara haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil dan singa. Seorang pemimpin harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala.
Jadi, jelaslah bahwa raja atau pimpinan negara harus memiliki sifat-sifat cerdik, pandai, dan licin ibarat seekor kancil, tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan tangan besi serta tegas dan trengginas, sigap seibarat singa, manakala dibutuhkan dalam kondisi tertentu. Akan tetapi, juga harus setia seperti merpati, yang tak pernah ingkar janji.
Ketika itu, politik Nabi Nuh tidak berlaku. Sebab, politik semacam itu, ”hanya” berlaku ketika situasi di sekitar mengancam eksistensinya, seperti akan diterjang air bah, banjir bandang. Pada saat itulah, banyak ”binatang” yang mau digiring atau bahkan dengan sukarela masuk ke dalam bahtera agar terhindar dari terjangan banjir bandang. ***