RUU Pertanahan merupakan pembaruan hukum pertanahan guna mewujudkan reforma agraria. Artinya, memperbarui regulasi pertanahan agar sinkron atau harmonis dan tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.
Oleh
Gunawan
·4 menit baca
Apakah kebijakan pemerintah memberikan jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) hingga 90 tahun dapat memperbaiki iklim investasi sekaligus memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Bussiness) di Indonesia? Atau tak ada korelasinya dan justru bertentangan dengan visi Presiden Jokowi dalam menciptakan kepastian hukum dan keadilan di pertanahan?
Sebelumnya juga pernah ada upaya untuk memberikan jangka waktu HGU yang lebih lama dari yang telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Upaya tersebut, yang pertama dilakukan melalui UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Konstitusionalitas
Dalam rangka memberikan fasilitas penanaman modal, UU Penanaman Modal memberikan mandat kepada pemerintah untuk memberikan kemudahan pelayanan dan perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah. Melalui Pasal 22 (1), hak atas tanah untuk penanaman modal dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa HGU dapat diberikan dengan jangka waktu 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun.
Pasal itu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, dan mengenai pemberian, perpanjangan, dan pembaruan HGU berlaku ketentuan UUPA 1960 dan PP No 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan
Hak Pakai Atas Tanah.
Pendapat MK atas Pasal 22 UU Penanaman Modal sesungguhnya menjawab pertanyaan di awal tulisan ini. Yang pertama terkait iklim investasi atau kemudahan berusaha. MK berpendapat tidak menemukan adanya korelasi langsung antara fasilitas atau insentif berupa pemberian hak-hak atas tanah (HGU) dengan peningkatan iklim penanaman modal apabila persoalan tata kelola (good governance), kepastian hukum dan keamanan berusaha, serta persoalan ketenagakerjaan tidak mengalami perbaikan.
Yang kedua, terkait keadilan. MK juga berpendapat, pengaturan dalam Pasal 22 UU itu menghambat negara untuk melakukan pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak-hak atas tanah secara adil, dalam hal ini kewenangan untuk melakukan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan hak-hak atas tanah secara lebih adil dan lebih merata, menjadi terhalang. Pada saat yang sama, keadaan demikian menyebabkan negara terhalang pula dalam melakukan kewajibannya melaksanakan perintah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yaitu pemerataan kesempatan untuk menjaga kepentingan yang dilindungi konstitusi.
MK berpendapat tidak menemukan adanya korelasi langsung antara fasilitas atau insentif berupa pemberian hak-hak atas tanah (HGU) dengan peningkatan iklim penanaman modal apabila persoalan tata kelola (good governance), kepastian hukum dan keamanan berusaha, serta persoalan ketenagakerjaan tidak mengalami perbaikan.
Adapun yang dimaksud kepentingan yang dilindungi konstitusi, menurut pendapat MK adalah, sepanjang menyangkut tanah, maka atas dasar adanya kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi itulah dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, di antaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tak terpusat pada sekelompok orang tertentu.
Dari pendapat dan putusan MK itu, pelajaran yang bisa dipetik adalah: memberikan jangka HGU yang bertentangan dengan UUPA 1960 justru menimbulkan ketidakpastian hukum, juga tidak menjawab masalah sesungguhnya dari problem penghambat investasi atau kemudahan berusaha, seperti masalah tumpang tindih izin dan kawasan, ekonomi biaya tinggi, korupsi, konflik agraria dan pasar bebas tenaga kerja.
UUPA 1960 sesungguhnya sudah memperhitungkan aspek ekonomi dari pembatasan jangka waktu HGU. Di dalam penjelasan UUPA 1960 disebutkan, bahwa sifat dan tujuan HGU adalah hak yang waktu berlakunya terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan kemungkinan diperpanjang dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk keperluan pengusahaan tanaman-tanaman yang berumur panjang. Penetapan jangka waktu 35 tahun, misalnya, mengacu pada tanaman kelapa sawit.
MK juga berpendapat, pengaturan dalam Pasal 22 UU itu menghambat negara untuk melakukan pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak-hak atas tanah secara adil, dalam hal ini kewenangan untuk melakukan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan hak-hak atas tanah secara lebih adil dan lebih merata, menjadi terhalang.
Jangka waktu HGU hingga 90 tahun justru menghambat program reforma agraria karena tanah obyek reforma agraria menurut Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, beberapa di antaranya adalah terkait HGU. Dan tujuan dari reforma agraria adalah mengakhiri ketimpangan penguasaan tanah, di mana HGU perkebunan adalah wujud dari penguasaan dan penggunaan tanah skala besar.
Upaya kedua memberikan jangka waktu HGU lebih lama dari yang diatur di UUPA 1960, dilakukan melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU. Pengaturannya: HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka paling lama 25 tahun, kemudian setelah jangka waktu HGU dan perpanjangannya berakhir, dapat diberikan pembaruan HGU untuk jangka paling lama 35 tahun. Materi regulasi ini akan dinaikkan kedudukannya melalui produk legislasi berupa RUU Pertanahan.
"Omnibus law" pertanahan
Di dalam RUU Pertanahan disebutkan, HGU diberikan dengan jangka waktu untuk badan hukum paling lama 35 tahun, dapat diperpanjang satu kali, yaitu untuk badan hukum paling lama 35 tahun. Dalam hal tertentu, menteri dapat memberikan perpanjangan jangka waktu HGU paling lama 20 tahun.
RUU Pertanahan yang dalam pertimbangannya bermaksud meluruskan penyelewengan pelaksanaan UUPA 1960, seharusnya mengembalikan pengaturan jangka waktu HGU sesuai dengan UUPA 1960.
Seharusnya RUU Pertanahan merupakan pembaruan hukum pertanahan guna mewujudkan reforma agraria. Artinya, memperbarui peraturan perundang-undangan terkait pertanahan agar sinkron atau harmonis dan tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan mewujudkan pembaruan struktur penguasaan dan penggunaan tanah guna mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(Gunawan, Penasihat Indonesian Human Rights Committee for Social Justice)