Pajakilah tinggi-tinggi orang kaya. Janganlah kebijakan publik lebih menguntungkan kaum lebih mampu. Dan, janganlah menilai sukses ekonomi berdasarkan angka-angka makro semata.
Oleh
Simon Saragih
·3 menit baca
Bagaimana mengatasi kesenjangan pendapatan atau kekayaan yang akut? Ekonom Perancis, Thomas Piketty, menyarankan pengenaan pajak yang tinggi pada kekayaan hingga maksimum 90 persen.
Untuk mendukung ide itu, Piketty mendorong partai-partai beraliran kiri agar semakin kukuh menyuarakan pemerataan.
”Reformasi atau rusak,” demikian Piketty menuliskannya. Reformasi, menurut penulis buku Capital and Ideology (2019) ini, lebih pada penekanan soal distribusi kekayaan. Jika tidak, fabrikasi sosial akan rusak dengan sendirinya.
Leonid Bershidsky, seorang kolumnis Bloomberg, menuliskan ide Piketty tergolong radikal, bahkan bisa menciptakan kekacauan. Hanya saja, Piketty tidak menyerukan nasionalisasi. Saran Piketty tampaknya juga sulit dilaksanakan. Namun, nyatanya ketimpangan akut ini juga tidak sehat.
Temuan IMF
Ketimpangan perlu diatasi karena terbukti tidak saja menyebabkan ketidakadilan sosial. Ketimpangan juga menyebabkan kemandekan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam laporan Dana Moneter Internasional (IMF) 15 Juni 2015 berjudul Causes and Consequences of Income Inequality: A Global Perspective, dituliskan Era Dabla-Norris, Kalpana Kochhar, Nujin Suphaphiphat, Frantisek Ricka, Evridiki Tsounta, juga disebutkan efek negatif ketimpangan.
”Kami menemukan bahwa peningkatan porsi pendapatan kaum miskin dan kelas menengah terbukti turut meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, peningkatan porsi pendapatan 20 persen kelompok terkaya dunia berakibat pada rendahnya tingkat pertumbuhan. Artinya, ketika kaum kaya makin kaya, efek menetes ke bawah tidak terjadi,” demikian laporan IMF.
Ini sesuai dengan teori ekonomi yang dinamakan marginal propensity to consume (MPC), merujuk pada tingkat pertumbuhan konsumen jika pendapatan meningkat. Kaum miskin dan kelas menengah menerjemahkan peningkatan pendapatan ke dalam aksi berbelanja. Secara empiris, porsi belanja kaum kaya relatif lebih rendah dibandingkan porsi belanja nyata kaum miskin dan kelas menengah.
Temuan Piketty juga menunjukkan resesi di AS yang meledak pada 2008 membutuhkan 11 tahun supaya pulih. Eropa relatif lebih cepat untuk pulih dari resesi ketimbang AS, lokasi ketimpangan paling akut.
Piketty menyebutkan, lambatnya pemulihan di AS itu adalah resultan dari menumpuknya kekayaan dan pertumbuhan kekayaan di kalangan kaum kaya, yang tidak menerjemahkan kekayaan ke dalam bentuk belanja, dasar dari permintaan dalam perekonomian agregat.
IMF juga menyebutkan faktor-faktor yang mendorong ketimpangan tersebut. ”Faktor-faktor pendorong ketimpangan amat bervariasi di antara negara-negara, di mana secara umum pendorong utama adalah perubahan teknologi, globalisasi, melemahnya perlindungan terhadap para pekerja, dan rendahnya dukungan lembaga keuangan pada kaum papa di negara-negara berkembang,” demikian laporan IMF.
Saran IMF untuk mengatasi ketimpangan juga sama dengan Piketty, antara lain pengenaan pajak progresif. Peningkatan porsi pendapatan kaum papa juga jadi saran IMF. Dukungan lembaga keuangan pada kaum miskin dan kelas menengah adalah keharusan di negara berkembang. Peningkatan kemampuan dan keahlian para pekerja juga menjadi dorongan IMF.
Jangan terpana
Soal ketimpangan ini, bukan hanya Piketty yang menyatakan keprihatinan. Pada 27 November 2018, kantor berita Agence France Presse (AFP) menuliskan, ”Para ekonom kondang menyerukan alternatif pengukuran kepemilikan ekonomi.”
Kemakmuran ekonomi tidak bisa semata-mata dengan melihat besaran produk domestik bruto (PDB) dan pendapatan per kapita. Angka-angka makro ini jauh dari memadai untuk menelisik kepemilikan kekayaan global.
Pandangan ini disampaikan antara lain oleh Joseph E Stiglitz dan Angus Deaton, dua ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi. Ada ekonom lain juga terlibat pada saran itu, yakni Martine Durand dan Piketty itu sendiri dan masih banyak lagi ekonom lainnya. Mereka ini menuliskan bunga rampai analisis dalam buku berjudul Beyond GDP: Measuring What Counts for Economic and Social Performance, yang diterbitkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Para ekonom ini intinya menyarankan peluncuran kebijakan yang mengena ke sasaran dan menguntungkan bagi sebanyak mungkin lapisan masyarakat, entah itu berdasarkan gender, pendidikan, dan lainnya.
Dengan kata lain janganlah kebijakan publik lebih menguntungkan kaum lebih mampu. Dan janganlah menilai sukses ekonomi berdasarkan angka-angka makro. (HABIS)