Unjuk rasa berlarut-larut yang diwarnai kekerasan berlangsung di banyak negara di dunia, mulai dari Irak, Lebanon, Hong Kong, hingga Chile.
Oleh
·2 menit baca
Unjuk rasa berlarut-larut yang diwarnai kekerasan berlangsung di banyak negara di dunia, mulai dari Irak, Lebanon, Hong Kong, hingga Chile.
Di Hong Kong, demonstrasi telah menginjak bulan keenam. Di Irak, ratusan orang meninggal akibat unjuk rasa yang berlangsung selama beberapa waktu terakhir. Masih di kawasan Timur Tengah, demonstrasi juga terjadi di Lebanon.
Unjuk rasa selalu berakar pada ketidakpuasan. Diawali dengan ketidakpuasan warga atas langkah Pemerintah Hong Kong membuat Rancangan Undang-Undang Ekstradisi, unjuk rasa berlanjut hingga kini meski pemerintah telah mencabut prakarsa itu. RUU Ekstradisi dikecam karena memungkinkan pelanggar hukum diekstradisi ke China daratan sehingga dinilai memperbesar pengaruh Beijing. Di Irak dan Lebanon, demonstrasi meledak terutama karena tak puas dengan politik yang dinilai bersifat oligarkis sehingga menghambat partisipasi masyarakat dari lebih banyak golongan dan usia.
Di wilayah-wilayah yang sedang dilanda unjuk rasa tersebut bisa dikatakan demokrasi sesungguhnya sudah diterapkan dengan derajat cukup tinggi. Berstatus bagian dari China, wilayah Hong Kong menerapkan prinsip demokrasi, seperti kebebasan menyatakan pendapat. Di Irak, pemilu juga digelar dengan baik dan warga dapat mendirikan partai politik.
Tak ada yang salah dengan unjuk rasa karena menunjukkan demokrasi diterapkan di sebuah negara. Namun, unjuk rasa berlarut-larut yang diwarnai kekerasan memunculkan pertanyaan, apa yang salah dengan mekanisme demokrasi di negara itu sampai begitu banyak warga memilih bersuara lewat aksi ekstra parlementer? Di Lebanon, misalnya, sebuah analisis menyebut kaum muda merasa tak terwakili dengan model politik sekarang sehingga mereka pun berdemonstrasi. Cara pembagian kekuasaan yang masih dipakai dinilai tak lagi mampu menampung dinamika masyarakat.
Berangkat dari situasi itu, penting kiranya untuk selalu membicarakan demokrasi karena demokrasi senantiasa berproses dan ada dinamika yang menyakitkan bagi pengikutnya. Ajang tahunan seperti Bali Democracy Forum (BDF), yang digelar pertama kali pada 2008, merupakan salah satu kesempatan bagus untuk berbagi pengalaman di antara negara-negara mengenai penerapan demokrasi.
Tahun ini, BDF mengangkat tema ”Democracy and Inclusivity” (Demokrasi dan Inklusivitas). Seperti diberitakan harian ini pada Jumat (6/12/2019), salah satu pertemuan BDF 2019 membahas upaya memperbesar partisipasi perempuan dalam politik. Isu ini sangat krusial karena menambah lebih banyak kelompok warga, seperti perempuan dan kaum minoritas, untuk berpartisipasi dalam politik merupakan salah satu semangat pokok demokrasi.
Kegagalan memperbaiki tingkat partisipasi masyarakat akan membuat demokrasi terjebak pada prosedural dan bagi-bagi kekuasaan di antara kaum elite. Jika hal ini terjadi, malapetaka akan muncul dan krisis politik tak terhindarkan.