Dua pengendara sepeda motor menembak mati aktivis masyarakat sipil terkemuka Fahem al-Tai di Karbala, Irak, sepulang dari unjuk rasa antipemerintah.
Oleh
·2 menit baca
Fahem al-Tai (53) ikut ambil bagian berunjuk rasa selama berminggu-minggu yang mengecam elite politik Irak. Unjuk rasa digelar karena melihat pejabat yang korup, tidak kompeten, dan terikat pada tetangga Iran. ”Daerah itu dekat tempat ibadah, kantor polisi, dan kantor pemerintah provinsi. Itu daerah yang sangat aman,” kata tetangga korban kepada kantor berita AFP, Minggu (8/12/2019), seolah bertanya.
Aksi brutal juga terjadi dua hari sebelumnya. Sedikitnya 25 orang tewas, termasuk pengunjuk rasa dan polisi, dan 130 orang cedera pada Jumat dan Sabtu dini hari. Orang bersenjata menumpang truk menyerbu Lapangan Khilani, yang berdekatan dengan Lapangan Merdeka di Baghdad. Mereka menembakkan amunisi langsung ke arah pengunjuk rasa.
Awal pekan lalu, di Baghdad, beberapa orang ditikam setelah pendukung milisi yang didukung Iran menyerbu ke sebuah lapangan yang diduduki pengunjuk rasa. Di tempat lain, sebuah pesawat nirawak menjatuhkan bom ke rumah ulama Syiah yang berpengaruh, Moqtada al-Sadr, yang ada di luar negeri.
Hingga kini pelaku serangan hari Jumat itu belum diketahui. Hal itu menandai eskalasi dalam serangkaian serangan misterius yang menarget pengunjuk rasa. Serangan itu membuat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman menyerukan kepada Perdana Menteri Adel Abdel-Mahdi untuk memberikan perlindungan kepada demonstran. Mereka juga meminta pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memastikan para penyerang itu menjauh dari unjuk rasa.
Era baru Irak hari ini seperti negara tanpa hukum dan tertib sosial.
Sejak meletus 1 Oktober lalu, unjuk rasa di Irak telah menyebabkan lebih dari 450 orang tewas dan 20.000 lainnya terluka. Sebagian besar meninggal karena kekerasan aparat. Namun, keberadaan penyerang misterius akan meningkatkan jumlah korban tewas. Beberapa aktivis ditembak mati penyerang misterius atau diculik dan ditemukan tewas.
Unjuk rasa dan kekerasan seusai perebutan wilayah Irak dari Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang menjadi musuh bersama, menandai era baru Irak. Meski mayoritas berpaham Syiah, Irak sulit bersatu mengingat dua ulama Syiah ternama, Moqtada al-Sadr dan Ali al-Sistani, punya pandangan berbeda. Selain terkait unjuk rasa, perbedaan mereka juga meliputi kepemimpinan pemerintahan di Irak.
Era baru Irak hari ini seperti negara tanpa hukum dan tertib sosial. Kemunduran tidak diprediksi. Awalnya Irak diperkirakan lebih gampang membentuk pemerintahan yang solid mengingat mayoritas warganya berpaham Syiah.
Namun, keterlibatan Iran, AS, dan Arab Saudi memunculkan perbedaan di Irak dan tak terelakkan. Serangan roket ke kompleks militer Irak tempat pasukan AS berada, Senin (9/12/2019), kian memperumit keadaan. Apakah Irak bisa melepaskan keterikatan dari negara-negara itu dan mencari solusi mandiri atau tetap bergantung pada pengaruh asing dengan risiko kondisi akan kian memburuk.