Partai Konservatif yang dipimpin Perdana Menteri Boris Johnson memenangi pemilu Inggris 2019. Pelbagai hal penting apa yang akan muncul sebagai dampak pemilu Inggris khususnya terkait isu Brexit, Uni Eropa, dan dunia?
Oleh
Beginda Pakpahan
·4 menit baca
Pada 12 Desember 2019, rakyat Inggris mengikuti pemilihan umum. Pemilu Inggris 2019 adalah pemilihan umum yang diselenggarakan dalam rangka memecah kebuntuan di parlemen terkait dengan rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Hasil pemilu Inggris 2019 yang didapat dari BBC menjelaskan bahwa Partai Konservatif yang dipimpin Perdana Menteri Boris Johnson memenangi pemilu dan menguasai 365 kursi di parlemen. Adapun Partai Buruh, Scottish Nationalist Party, dan Liberal Demokrat mendapatkan kursi di parlemen masing-masing sebanyak 203, 48, dan 11 kursi.
Lalu, apa pelbagai hal penting dan dampak dari pemilu Inggris 2019 terhadap Brexit, Uni Eropa, dan dunia?
Pertama, PM Boris Johnson dan Partai Konservatif akan merealisasikan hasil referendum 2016, yaitu membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Januari 2020. Hasil pemilu Inggris 2019 merefleksikan menurunnya kepercayaan rakyat terhadap partai-partai oposisi, seperti Partai Buruh dan Liberal Demokrat, karena mereka menghalangi realisasi atas suara rakyat yang mendukung Brexit. Rakyat menaruh kepercayaan kepada Partai Konservatif yang berupaya untuk memecah kebuntuan di Parlemen Inggris.
Dengan meraih jumlah 365 dari 650 kursi di parlemen, Boris Johnson bertahan menjadi perdana menteri Inggris dan Partai Konservatif menjadi partai mayoritas di parlemen. Oleh karena itu, PM Boris Johnson dan Partai Konservatif dapat melaksanakan realisasi Brexit berdasarkan tenggat yang telah disepakati antara Inggris dan Uni Eropa, yaitu akhir Januari 2020.
Kedua, Uni Eropa dan dunia mulai bersiaga untuk mengantisipasi terjadinya Brexit. Dalam sisi finansial dunia, Inggris, khususnya London, adalah salah satu pusat kegiatan finansial besar di dunia dan titik penghubung dari pasar saham Eropa dan dunia dengan nilai perputaran valuta asing sebanyak 6,6 triliun dollar AS setiap hari (Kompas,12/12/2019).
Pelbagai pusat keuangan dunia lainnya dan para investor besar di New York, Singapura, dan Hong Kong bersiap diri mengantisipasi hasil pemilu Inggris dan potensi terjadinya Brexit di awal tahun 2020.
Dalam sisi perdagangan regional dan dunia, Uni Eropa (termasuk Inggris) merupakan pasar terbesar di dunia dengan jumlah penduduk 500 juta jiwa dan PDB per individu sebesar 25.000 pound sterling Inggris. Uni Eropa juga menjadi pusat perdagangan yang mapan dan terkoneksi erat antara satu dan yang lain serta salah satu pasar utama ekspor dan impor bagi para mitra eksternalnya seperti negara-negara di Afrika dan Asia.
Berdasarkan data IMF pada Oktober 2019, pertumbuhan ekonomi real PDB dari Uni Eropa melambat menjadi 1,5 persen karena adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta meningkatnya tensi dagang antara Uni Eropa dan Amerika Serikat terkait industri mobil dan produk-produk pertanian. Konsekuensinya, Uni Eropa perlu menyiapkan diri dan memitigasi pelbagai dampak ekonomi atas realisasi Brexit di awal tahun 2020.
Ketiga, Inggris, Uni Eropa, dan dunia menghadapi tantangan penting terkait dengan melemahnya dukungan politik, ekonomi, dan sosial dari rakyat Inggris, Eropa, dan dunia Barat terhadap globalisasi. Tantangan Uni Eropa tentang masa depan penguatan integrasi regionalnya menjadi nyata.
Lebih spesifik, defisit demokrasi yang melanda tubuh Uni Eropa menjadi dorongan peningkatan rasa nasionalisme dari pelbagai rakyat di negara-negara anggota Uni Eropa. Dukungan rakyat Eropa atas penguatan peran kedaulatan negara bangsa kembali hadir di Uni Eropa.
Lebih spesifik, partai-partai kanan dan nasionalis di Perancis, Italia, Belanda, Hongaria, dan negara-negara Uni Eropa lainnya mendapat momentum politik dan angin segar dengan hasil pemilu Inggris 2019 dan potensi realisasi dari Brexit di akhir Januari 2020.
Tidak menutup kemungkinan, jika ada pemilu di negara mereka masing-masing, pelbagai partai kanan dan nasionalis meminta referendum terkait keanggotaan negara-negara mereka di Uni Eropa. Oleh karena itu, kerja sama regional Uni Eropa perlu melakukan reformasi untuk menjawab peningkatan rasa nasionalisme yang melanda Eropa dan pelemahan dukungan rakyat Eropa terhadap globalisasi.
Keempat, adanya pelemahan dukungan negara-negara di Eropa secara khusus dan dunia pada umumnya terhadap kerja sama internasional yang ketat dan mengikat seperti Uni Eropa. Pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh para pemimpin negara-negara Uni Eropa adalah apakah mereka akan terus melanjutkan integrasi regional yang ketat di Eropa atau perlunya perubahan untuk integrasi regional yang fleksibel?
Negara-negara di luar Uni Eropa sedang memantau proses realisasi Brexit tahun 2020 dan prospek masa depan kerja sama Uni Eropa. Model kerja sama regional dan internasional yang fleksibel—seperti model kerja sama regional ASEAN; kerja sama plurilateral dan selektif bilateral antara negara—diperkirakan akan berkembang ke depan.
Negara-negara di luar Uni Eropa juga akan menyesuaikan diri masing-masing atas beragam kemungkinan perubahan lanskap geopolitik dan geoekonomi di Eropa, bentuk kerja sama regional Uni Eropa serta pelbagai regulasi perdagangan dan investasi yang baru di Inggris dan Uni Eropa pasca-Brexit nanti.
Indonesia juga perlu beradaptasi dengan realisasi Brexit dan ketidakpastian pasca-Brexit di Inggris, Uni Eropa, dan dunia serta bersiap diri mengantisipasi potensi pelambatan ekonomi Uni Eropa dan membuka kemungkinan membangun kerangka kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi baru antara Indonesia dan Inggris pasca-Brexit.
(Beginda Pakpahan, Analis Politik dan Ekonomi Global UI)