Ada kabar positif dari perundingan China dan Amerika Serikat. Meski belum menyeluruh, kesepakatan dicapai dua negara yang kini terlibat perang dagang itu.
Oleh
·2 menit baca
Pekan lalu, Amerika Serikat setuju untuk mengurangi tarif yang sudah diterapkan dan menunda penerapan tarif anyar yang direncanakan berlaku pada hari Minggu (15/12/2019). Sebagai imbalannya, China meningkatkan pembelian produk AS, serta berjanji melindungi hak cipta dengan lebih baik. Namun, kesepakatan ini belum bersifat menyeluruh (kesepakatan mini) karena masih menyisakan sejumlah persoalan. Perselisihan kedua negara dalam isu praktik subsidi yang ditengarai dilakukan China, misalnya, akan dibicarakan dalam negosiasi mendatang.
Perang dagang diluncurkan hampir dua tahun lalu oleh Presiden AS Donald Trump yang ditandai dengan penerapan tarif atas produk China yang masuk ke AS. Sebagai balasannya, Beijing menerapkan langkah serupa. Produk-produk AS yang masuk ke China dikenai tarif dengan nilai yang sama. Sejumlah lembaga internasional memasukkan perang dagang sebagai faktor penyebab perlambatan pertumbuhan global.
Dengan kesepakatan mini AS-China yang diumumkan pada Jumat pekan silam, atau disebut sebagai kesepakatan ”fase pertama”, Washington akan memangkas setengah dari tarif 15 persen yang dikenakan terhadap 120 miliar dollar AS barang-barang China, seperti pakaian. Tarif ini mulai diberlakukan pada 1 September lalu.
Berbagai kalangan mengingatkan, sinyal positif ini bisa tidak memiliki arti apa-apa.
Dengan perjanjian fase pertama itu pula, Trump membatalkan tarif anyar yang menurut rencana berlaku hari Minggu silam tersebut. Tarif ini memengaruhi ponsel, mainan, laptop, dan sejumlah produk lainnya. Imbalannya, Beijing juga membatalkan rencana pembalasan tarif yang serupa.
Pasar saham, terutama di AS dan Eropa, pada Senin (16/12/2019) menyambut gembira kesepakatan Washington-Beijing. Indeks-indeks penting melonjak dan dilihat sebagai refleksi atas antusiasme investor global. Namun, berbagai kalangan mengingatkan, sinyal positif ini bisa tidak memiliki arti apa-apa. Bukan tak mungkin, kesepakatan akan mentah lagi dan AS kembali menerapkan tarif. Selain itu, sisa isu perselisihan yang masih menjadi sengketa kedua negara tak mudah untuk diselesaikan. Karena itu, pada intinya, masyarakat dunia menunggu bagaimana perkembangan nyata negosiasi Beijing dengan Washington.
Perang dagang AS-China sesungguhnya juga menimbulkan preseden praktik unilateral dalam perdagangan internasional, selain menguatnya proteksionisme. Mekanisme penyelesaian multilateral—WTO—mulai ditinggalkan, sementara lembaga itu pun sudah tak berdaya karena kekurangan hakim untuk menangani perselisihan. Dunia semacam itulah yang kini harus dihadapi Indonesia.