Vonis hukuman mati bagi mantan presiden dan jenderal kuat di Pakistan, Pervez Musharraf, mengejutkan semua pihak. Suara pro-kontra melanda negeri itu.
Oleh
·2 menit baca
Vonis tersebut mengejutkan karena untuk pertama kali di Pakistan, mantan pemimpin dari kalangan militer dinyatakan bersalah atas tindakan dan keputusannya yang diambil saat berkuasa. Mengejutkan juga karena untuk pertama kali mantan pemimpin militer, seorang jenderal kuat di eranya, dijatuhi hukuman mati dalam dakwaan pengkhianatan. Perlu diingat, meski beberapa kali pemerintahan negara itu dikuasai sipil, militer masih memiliki pengaruh kuat.
Militer di Pakistan terus memegang kendali utama pada kebijakan-kebijakan di bidang keamanan, politik domestik, dan luar negeri. Para pejabat senior militernya kerap dianggap kebal dari tuntutan hukum, seolah tak bisa disentuh hukum. Tidak mengejutkan jika militer Pakistan langsung bereaksi keras, menentang vonis mati bagi Musharraf.
Namun, kubu oposisi dan kelompok masyarakat sipil menyambut gembira apa yang mereka sebut kembali tegaknya ”supremasi konstitusi”. Wartawan senior Pakistan, peraih penghargaan Pahlawan Kebebasan Pers Dunia tahun 2019, Cyril Almeida, kepada Al Jazeera menyebut vonis hukuman mati bagi Musharraf itu ”putusan yang bersejarah”.
Seperti diberitakan harian ini, Rabu (18/12/2019), vonis tersebut dijatuhkan dalam perkara tahun 2013 atas pengaduan mantan Perdana Menteri Nawaz Sharif, yang digulingkan Musharraf dalam kudeta tak berdarah tahun 1999. Sharif mengajukan gugatan itu setelah terpilih menjadi PM tahun 2013. Perkara dakwaan atas Musharraf berpusat pada keputusan dia membekukan konstitusi dan memberlakukan status darurat tahun 2007. Saat itu, ia mengerahkan tentara dan memegang kendali langsung pemerintahan di Pakistan.
Supremasi hukum berada di tangan lembaga peradilan.
Dalam masa darurat itu, sejumlah hakim utama dikenakan tahanan rumah. Ia juga berupaya mencopot Hakim Agung Iftikhar Muhammad Chaudhry meski tak berhasil. Kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan proses demokrasi dibekukan dalam kurun November 2007 hingga Februari 2008. Keputusan Musharraf memantik penolakan rakyat melalui unjuk rasa luas. Tahun 2008 Musharraf mundur setelah partai pendukungnya terpuruk dalam pemilu tahun itu.
Pengadilan dakwaan atas Musharraf sempat tertunda beberapa kali hingga akhirnya keluar vonis mengejutkan, Selasa lalu. Vonis diputuskan secara in absentia oleh pengadilan khusus beranggota tiga hakim; satu hakim menolak vonis itu. Saat vonis diumumkan, Musharraf berada di pengasingan dan menjalani perawatan di Dubai, Uni Emirat Arab. Melalui kuasa hukumnya, ia memiliki hak untuk banding ke Mahkamah Agung (MA). Sesuai konstitusi, presiden juga bisa memberi pengampunan meski kewenangan ini jarang digunakan.
Menarik dicermati, upaya mendobrak tembok kekebalan militer dari hukum di Pakistan muncul dari lembaga peradilan. Supremasi hukum berada di tangan lembaga peradilan.