Kita hidup dalam kebudayaan dengan semua serba kekurangan waktu. Pada saat yang sama, kita dihujani begitu banyak informasi. Begitu alasan Mario Garcia mengantar perubahan desain Kompas, 28 Juni 2005.
Karena alasan itu, Kompas kemudian muncul dengan tampilan baru, agar mampu bersaing dengan televisi dan melayani pembaca kategori ”quick browsing internet”.
Baiklah, itu bisa kami terima. Saya adalah pembaca setia yang masih menyimpan edisi pertama Kompas, 28 Juni 1965. Namun, dengan berkembangnya waktu, saya semakin kecewa dengan tampilan Kompas.
Seperti edisi Kamis (15/11/2019), halaman 5, 7, 8, dan 10 penuh oleh iklan. Biasanya halaman-halaman itu berisi berita dan tulisan yang saya anggap sebagai kelebihan Kompas. Inikah yang disebut ”makin enak dibaca, segar dilihat, tetapi tetap kredibel, bisa dipercaya” seperti bunyi Tajuk Kompas ketika redesain itu ditampilkan?
Menurut saya, Kompas telah menyia-nyiakan pembaca yang butuh surat kabar yang dipercaya, berwibawa, dan enak dibaca. Sebagai contoh di rubrik Olahraga, setiap kali mencari hasil pertandingan Liga Inggris atau final Turnamen Tenis ATP, pembaca dibawa berputar-putar mengikuti analisis sejarah dokumentasi yang bertele-tele.
Mana janji Kompas untuk tetap melayani pembaca tradisional yang bukan supersonic readers? Mengapa iklan-iklan barang kebutuhan rumah tangga bisa mendominasi halaman-halaman yang bisa menampilkan informasi pengetahuan aktual bagi para pembaca?
Mohon maaf atas kritik ini. Salam setia.
Renville Almatsier
Jl KH Dewantara, Tangerang Selatan 15411
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kesetiaan Anda membaca Kompas. Kami terus mencari bentuk yang tepat di tengah perubahan zaman. Masukan Anda sangat berharga dan menjadi pertimbangan kami.
Menjaga Burung Indonesia
Menanggapi surat Pak Will Duf (18/11/2019), mengenai cenderawasih, perlu saya tambahkan pada zaman kolonial, Pemerintah Hindia Belanda telah melarang perburuan cenderawasih atau Paradijs vogels tahun 1924 di Nederlandsch Nieuw Guinea.
Pemerintah Indonesia pun melarang perburuan dan perdagangan flora dan fauna hampir punah, termasuk burung eksotis, seperti cenderawasih dengan aturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 20 Tahun 2018.
Saya bangga terhadap Pak Wahyudi yang dengan caranya ikut melindungi segala jenis burung di Nusa Tenggara Barat. Ia dengan menjadi pemandu wisata bagi wisatawan dalam dan luar negeri dapat mengenali jenis burung bahkan dari suaranya.
Demikian pula dengan Pak Idris Tinulele yang menjadi pemandu wisata pengamatan burung (ada lebih dari 250 jenis) di Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah. Ia juga mengajari penduduk setempat mengenal segala jenis burung di taman nasional tersebut sekaligus menjaganya.
Yang penting adalah pemerintah menindak tegas oknum-oknum yang memburu dan memperdagangkan flora dan fauna yang dilindungi.
L van der Zee-Oehmke
Jl Parahyangan,
Sentul City, Bogor