Saat menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia Presiden menyatakan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika itu jadi kehendak rakyat. Pernyataan ini tentu saja menimbulkan pro-kontra sejumlah kalangan.
Oleh
Emerson Yuntho
·4 menit baca
Wacana hukuman mati untuk koruptor kembali muncul saat Presiden Jokowi menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMK 57 Jakarta, 9 Desember lalu. Presiden menyatakan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika itu jadi kehendak rakyat.
Pernyataan ini tentu saja menimbulkan pro-kontra sejumlah kalangan. Pihak yang mendukung berargumentasi hukuman mati mampu membuat jera koruptor. Sedangkan yang menolak menyebutkan hukuman mati merupakan pelanggaran HAM, khususnya hak untuk hidup (right to life).
Ancaman hukuman mati bagi koruptor secara normatif sesungguhnya sudah diatur sejak 1999. Tepatnya setelah disahkannya UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tipikor). Pasal 2 Ayat 2 menyebutkan hukuman mati dapat dijatuhkan bila negara dalam keadaan bahaya, bencana nasional, krisis ekonomi dan moneter maupun pengulangan tindak pidana korupsi.
Meski telah 20 tahun UU ini berlaku, hingga kini belum ada satupun koruptor dihukum mati. Hukuman mati nyaris dijatuhkan ke Dicky Iskandar Dinata dalam kasus korupsi pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun. Pada 2006, jaksa menuntut Dicky hukuman mati namun ditolak hakim PN Jaksel dan hanya menjatuhkan 20 tahun penjara.
Hukuman maksimal yang pernah dijatuhkan pada koruptor di Indonesia adalah hukuman seumur hidup. Namun ini sedikit sekali diterapkan dan tercatat hanya delapan koruptor yang pernah dihukum penjara seumur hidup. Salah satunya Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang terbukti menerima suap dalam sejumlah kasus penanganan sengketa hasil pilkada.
Alih-alih menerapkan hukuman mati, dalam praktiknya vonis untuk koruptor masih sangat ringan dan tak memberikan efek jera. Data Indonesia Corruption Watch tahun 2018 menyebutkan rata-rata hukuman untuk terdakwa korupsi sangat minim, 2 tahun 5 bulan penjara. Vonis yang tergolong rendah juga diperburuk adanya sejumlah keputusan pengurangan masa hukuman melalui pemberian remisi dan grasi.
Tak efektif
Alih-alih menerapkan hukuman mati, dalam praktiknya vonis untuk koruptor masih sangat ringan dan tak memberikan efek jera.
Terlepas dari kemarahan masyarakat terhadap pelaku korupsi, muncul pertanyaan apakah hukuman mati solusi tepat dalam pemberantasan korupsi dan mampu memberikan efek jera?
Hingga kini belum ada pembuktian ilmiah yang menunjukkan hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Penelitian PBB tahun 1998 dan 2005 tentang hubungan hukuman mati dan angka pembunuhan justru memberikan kesimpulan hukuman mati tak bawa pengaruh apapun pada tindak pidana pembunuhan, dari hukuman lain seperti hukuman seumur hidup.
Penelitian itu menyebutkan maraknya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lain tak semata-mata disebabkan ketiadaan hukuman mati, namun oleh masalah struktural lainnya seperti kemiskinan dan aparat hukum atau negara yang korup.
China yang sering kali menjadi acuan penerapan hukuman mati untuk koruptor, faktanya belum berhasil memperbaiki peringkat korupsinya yang juga tergolong rendah. Pada 2018, Transparency International yang berpusat di Berlin menempatkan China di peringkat 87 dari 180 negara dengan skor indeks persepsi korupsi 39, dari skor terendah nol (terkorup) dan tertinggi 100 (bersih).
Meski Presiden China Xi Jinping sejak enam tahun lalu telah menyatakan perang melawan korupsi dan menghukum mati banyak pelaku namun praktik ini ternyata juga belum sepenuhnya hilang dari negeri itu.
Beberapa negara di wilayah Skandinavia seperti Finlandia dan Norwegia juga mampu membuktikan diri sebagai negara yang bersih dari korupsi tanpa harus menerapkan hukuman mati. Kunci keberhasilan mereka adalah adanya dukungan dan kesadaran yang kuat dari pemerintah, parlemen, penegak hukum dan masyarakat.
Polemik hukuman mati untuk koruptor sudah saatnya diakhiri. Sesungguhnya ada banyak cara memberikan efek jera bagi koruptor tanpa hukuman mati. Misalnya dengan memiskinkan atau perampasan aset koruptor, memperketat kebijakan pengurangan hukuman melalui pemberian remisi atau pembebasan bersyarat maupun grasi terhadap terpidana korupsi dan melarang pemberian fasilitas istimewa untuk koruptor selama mendekam di penjara.
Penelitian PBB tahun 1998 dan 2005 tentang hubungan hukuman mati dan angka pembunuhan justru memberikan kesimpulan hukuman mati tak bawa pengaruh apapun pada tindak pidana pembunuhan, dari hukuman lain seperti hukuman seumur hidup.
Cara lainnya, pencabutan hak politik untuk koruptor yang berstatus pejabat publik atau politisi agar tak dapat menjabat lagi dan menjatuhkan tuntutan atau hukuman penjara maksimal.
Dukungan semua pihak mutlak diperlukan agar cara-cara menjerakan koruptor itu dapat terlaksana. Pemerintah, penegak hukum dan KPK harus bekerja sama. Lembaga anti korupsi seperti KPK sebaiknya diperkuat bukan justru diperlemah atau dibubarkan. Upaya pemidanaan atau penindakan perkara korupsi juga harus berjalan simultan dengan upaya pencegahan dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery) ke negara.