Harapan Palestina kepada Mahkamah Kriminal Internasional
Lebih dari 70 tahun warga Arab Palestina berupaya mendirikan negara, dengan konfrontasi hingga negosiasi, menghadapi Israel. Kini mereka menempuh cara berbeda.
Oleh
·2 menit baca
Dari perjuangan selama lebih dari 70 tahun itu, warga Arab Palestina belum berhasil mewujudkan cita-cita berdirinya negara Palestina. Berbagai cara, mulai dengan berkonfrontasi hingga negosiasi lewat beberapa perundingan damai dengan Israel, telah dicoba. Negara Palestina tidak kunjung berdiri.
Tanda berdirinya negara itu pun tak tampak. Bahkan, beberapa tahun terakhir sejak Amerika Serikat—pelindung utama Israel—dipimpin Presiden Donald Trump, Palestina semakin dipojokkan lewat berbagai kebijakan pro-Israel.
Betapa kebijakan AS di bawah Trump sangat merugikan Palestina. Mulai dari pengakuan Jerusalem—dengan Jerusalem Timur dicita-citakan sebagai ibu kota negara Palestina—sebagai ibu kota Israel, penutupan kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington DC, penghentian dana bagi Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) yang mengurus pengungsi Palestina, hingga pengakuan bahwa pembangunan permukiman Yahudi yang dikecam internasional tidak melanggar hukum internasional.
Upaya diplomasi melalui lembaga internasional, seperti PBB, perjuangan mendirikan negara Palestina telah dilakukan. Hasilnya, sejak 2012 di PBB Palestina berstatus negara pemantau bukan anggota, yang kini diakui oleh 138 dari 193 negara anggota PBB.
Kedaulatan yang dimiliki Palestina baru sebatas de jure, belum de facto, sebab wilayahnya masih di bawah pendudukan Israel. Berbagai resolusi PBB telah diadopsi untuk menghentikan pendudukan Israel itu, tetapi hingga kini tak mempan juga.
Dipimpin Presiden Donald Trump, Palestina semakin dipojokkan lewat berbagai kebijakan pro-Israel.
Di tengah kebuntuan itu, tahun 2014 Presiden Palestina Mahmoud Abbas mendaftarkan Palestina menjadi anggota organisasi internasional di bawah PBB, termasuk Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Januari 2015, segera setelah bergabung dengan ICC, Palestina mengadukan kasus kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di wilayah Palestina sejak Perang Gaza 2014.
Setelah menggelar pemeriksaan selama hampir lima tahun, ICC pada 20 Desember 2019 memutuskan kasus aduan Palestina itu layak untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan resmi.
Seperti diberitakan harian ini, Senin (23/12/2019), Jaksa Penyelidik ICC Fatou Bensouda menyatakan, pihaknya tinggal menunggu penetapan yurisdiksi oleh hakim ICC atas kasus tersebut. Penyelidikan oleh ICC bisa berujung pada dakwaan terhadap pejabat Israel dan—jika ada—juga Palestina. Abbas menyebut keluarnya keputusan ICC itu ”hari bersejarah”.
Abbas tahu langkah ICC tak berimplikasi langsung pada terbentuknya negara Palestina. Namun, kini tindakan otoritas Israel, walau bukan anggota dan tak mengakui ICC, terkait kejahatan di Palestina, termasuk perampasan tanah melalui pembangunan permukiman Yahudi yang merintangi kedaulatan de facto Palestina, bakal tak lepas dari pengusutan ICC.