Kesulitan Menanggapi Kritik
Seperti halnya kehidupan, menanggapi kritik yang ditujukan pada diri kita kadang terasa sulit. Mari kita melihat tantangan yang kita hadapi apabila kita merasa secara tidak fair diposisikan sebagai sosok bersalah.
Bagaimana kita memilih kata-kata yang tepat saat kita didudukkan di kursi panas? Bagaimana kita mengklarifikasi posisi kita dengan lugas dan tegas, tanpa terkesan defensif, menyerang orang lain, tanpa merendahkan diri kita sendiri? Bagaimana kita dapat merasa masih memiliki ikatan apabila kita merasa terendahkan? Apa titik balik yang ingin kita sampaikan apabila kita dituduh dengan cara itu?
Relasi ibu-anak perempuan
Seorang ibu (M, 59 tahun) mendatangi saya untuk konsultasi psikologi sehubungan dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan anak perempuannya (L, 29 tahun) ketika mengunjunginya pada liburan Natal tahun lalu. Saat itu, L menuduh ibunya selalu mementingkan diri, menganggap diri paling benar. Sikap itu membuat L tidak mampu mempertahankan perkawinannya dan mengalami kesulitan menjalin relasi dengan kawan lain jenis.
Akibatnya, setelah masa perceraiannya, L tidak pernah lagi punya pacar yang serius. L juga menuduh ibunya sebagai penyebab ayahnya suka minuman keras dan berjudi. Itu setelah mereka bercerai ketika L berusia sembilan tahun. L mendapat pemikiran tentang perilaku ibunya setelah berkonsultasi dengan seorang konselor.
Sejak pertengkaran itu, M sama sekali tidak mau berkomunikasi dengan L. Ia berpendapat, komunikasi dengan L baru dapat dimulai apabila L meminta maaf kepada M atas tuduhan-tuduhan di atas.
Mengapa ibu selalu menjadi tumpahan tuduhan kesalahan oleh anak perempuannya? Para ibu memang hampir selalu menjadi sasaran tuduhan negatif dari anak perempuannya, sebab dua hal utama.
1) Anak perempuan berharap secara berlebihan dari ibu daripada dari ayahnya.
2) Ibu lebih sering berada di samping anak perempuan daripada ayah sehingga bisa menjadi target paling empuk untuk disalahkan.
Dalam budaya kita, perilaku anak menyalahkan ibu masih sangat tinggi dibandingkan dengan menyalahkan ayah. Kebiasaan buruk itu jadi titik berat dalam kehidupan internal keluarga. Ibu tidak hanya bertanggung jawab terhadap perilakunya, tetapi juga terhadap perilaku anak-anaknya. Sebab, perilaku ibu berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak walaupun ibu tidak mampu mengendalikan pengaruhnya itu.
Hal lain, sering para ibu dipersalahkan atau merasa diri salah untuk setiap kejadian keluarga yang kurang baik. Banyak ibu berada dalam situasi defensif sebelum diserang. Begitu pula halnya dengan M.
Inilah butir terpenting dalam masalah koneksi ibu-anak perempuan. Kebanyakan keluhan orang lain tentang kondisi keluarga akan ditanggapi sebagai sesuatu yang benar, kecuali setelah kita mendengar anak perempuan kita sendiri mengkritik, menyalahkan, dan marah kepada kita sebagai ibunya.
Apabila kemudian kita sebagai ibunya bersedia membuka diri untuk memaafkan, kita dapat berharap apa yang kita sampaikan kepada anak perempuan kita akan mereka dengar. Komitmen untuk mendengar tuduhan dan serangan anak tidak berarti kita duduk diam sambil menahan kondisi frustrasi kita, namun ada batas-batas spesifiknya.
Misalnya bagi M, ia bisa menyampaikan hal berikut ini. ”Apa yang kamu sampaikan pada Ibu barusan memang benar-benar penting, Tetapi, saat ini, kan, suasana Natal. Saya merasa sulit membicarakan masalahmu sekarang. Saya lebih suka apabila kita menunda pembicaraan itu sesudah Tahun Baru, ya.”
Topik pembicaraan L dan ibunya akan meningkatkan kadar emosi keduanya. Bisa saja justru membuat mereka enggan saling mendengar. Bagaimana mungkin tercipta relasi tenang dan nyaman apabila salah satunya mendapat kritik dan tuduhan pedas. Jadi, bisa dipahami apabila pembicaraan itu dihentikan lebih dulu.
Saat mendatangi kantor konsultasi saya, M masih membawa kemarahan dan kegelisahan oleh tuduhan anak perempuannya itu. M menunggu L meminta maaf karena tuduhan itu dianggap terlampau kasar.
M merasa cara anaknya mengkritik dirinya terlampau memengaruhi suasana hatinya. Dia harus melindungi dirinya. Apabila M memaksakan diri mengungkap emosi negatifnya, pertengkaran dengan anaknya akan makin meningkatkan kadar emosi negatif keduanya.
Saya sebagai konselor memperluas permasalahan dengan menanyakan bagaimana hubungan M dengan ibunya pada masa lalu. Apakah juga terdapat juga pola pengambilan jarak atau pertengkaran antara orangtua-anak pada generasi terdahulu.
Ternyata antara ibu dan nenek M pun tidak saling tegur sapa selama delapan tahun setelah sebuah pertengkaran. Walaupun M dengan ibunya baik-baik saja, hubungan mereka terasa dingin, pasif, dan tidak akrab.
Saya bertanya lebih lanjut kepada M, apa sebenarnya yang M inginkan dalam peran sebagai ibu dari anak perempuannya? Apa yang ia inginkan dalam relasi dengan L, anaknya, lima tahun kemudian? Diskusi ini membuat M mempertanyakan dirinya, apakah ia akan kehilangan L andai tidak terjadi percakapan apa pun dengannya?
Akhirnya M memutuskan, ia tidak akan menghubungi L melalui telepon karena rawan terjadi pertengkaran. Ia memulai koneksi dengan L melalui surat saja. Isi suratnya lebih kurang seperti terurai di bawah ini.
”L anakku, apa kabar? Saya tahu bahwa pertengkaran kita terakhir pasti menyakitkan dirimu, begitu pula aku. Ibu sudah mencoba menelaah ungkapanmu seobyektif mungkin, tetapi kamu tahu bahwa Ibu adalah seseorang yang bersifat defensif, tetapi ketahuilah bahwa Ibu berusaha keras untuk mengurangi sikap defensif Ibu karena Ibu betul-betul menyayangi dirimu. Salam kasih, ibumu.”
Lama L tidak memberikan respons. L tentu butuh waktu menetralkan emosi negatif kepada ibunya. Lalu, M menulis surat kedua kepada L seperti berikut.
”L anakku, Ibu paham kamu belum bisa merespons surat Ibu yang pertama. Tetapi L, ketahuilah, Ibu selalu membayangkan bahwa hubungan kita akan membaik dan kita akan saling bertegur sapa lagi. Salam kasih dari ibumu, M.”
Akhirnya L merespons, ”Ibu, saya butuh waktu untuk menata perasaan saya, tetapi saya senang Ibu mau memulai komunikasi dengan saya lagi. Salam kasih, L.”
Dari contoh di atas, kita bisa menyimpulkan, apabila kita mendapat kesulitan dalam menjalin relasi penting, kita hendaknya mengawali komunikasi walaupun rasa sakit hati atas tuduhan dan kritik yang dilontarkan masih terasa. Dengan memulai koneksi, apa pun perasaan negatif yang kita derita, kita akan mendapat respons kesediaan orang itu menjalin koneksi kembali dengan kita.
Kembali pada kasus di atas. M sebagai pihak yang disalahkan hendaknya melihat permasalahan anaknya dari sudut pandang lain dengan menanyakan, ”L, bolehkah Ibu tahu sejauh mana efek negatif dari perceraianmu itu kamu hayati hingga saat ini?” dan ”Apakah efek perceraian itu membuatmu tidak mampu menempatkan diri secara wajar dan sehat saat kamu menemui kawan lain jenis dalam pergaulanmu kemudian?”
Dari pertanyaan ini, M membuka perspektif baru dalam relasi. Ia tidak menempatkan diri sebagai orang tertuduh yang tersakiti, namun mau mulai memahami masalah yang dihadapi anaknya dari sudut pandang anaknya. L pun lalu mulai membuka hati dan merasa bahwa M sebagai ibu mau menerima L apa adanya dan mau menempatkan diri dalam kesulitan yang dihadapi secara proporsional.
Hubungan mereka membaik. L berjanji akan datang berlibur ke rumah ibunya pada kesempatan libur mendatang.
Selamat Natal 2019 dan selamat Tahun Baru 2020.