Krisis di Libya menunjukkan skala konflik menyerupai konflik Suriah. Dunia perlu memberi perhatian serius, termasuk potensi Libya jadi lahan subur kelompok teroris.
Oleh
·2 menit baca
Dari segi konfigurasi konflik, meski sama-sama diawali dengan peristiwa musim semi Arab pada awal tahun 2010-an, kasus di Libya tidak sama persis dengan di Suriah. Di Suriah, konflik menggambarkan pertarungan antara kubu rezim lama, Presiden Bashar al-Assad, dan kubu oposisi yang ingin menjatuhkan kekuasaan Assad. Konflik meluas hingga pada tahap yang sulit dikendalikan, hingga memicu tragedi kemanusiaan luar biasa, saat kekuatan-kekuatan asing turut campur tangan. Di Libya, konflik perang saudara memperhadapkan dua kubu yang sama-sama berperan dalam menumbangkan kekuasaan diktator Moammar Khadafy pada tahun 2011.
Namun, ada beberapa titik yang serupa dalam konflik Libya dan Suriah. Selain sama-sama dipicu gelombang musim semi Arab, seperti yang telah disebutkan, konflik di dua negara Arab itu berlarut-larut dan telah melibatkan campur tangan kekuatan-kekuatan asing. Dan, ketika eskalasi konflik Suriah mulai menurun dengan kembali bercokolnya Assad, konflik di Libya tidak memperlihatkan tanda bakal berakhir. Konflik di negeri Afrika utara itu akan semakin rumit dan pelik untuk diurai setelah kekuatan-kekuatan asing ikut bermain.
Berita harian ini pada Jumat (27/12/2019) mengangkat keputusan Turki, salah satu pemain utama dalam konflik di Suriah, untuk mengerahkan pasukannya ke Libya. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan akan membantu kubu Pemerintahan Kesepakatan Nasional (Government of National Accord, GNA) dalam menghadapi gempuran pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar. Seperti diketahui, setelah Khadafy tumbang, Libya terbelah, menyusul lahirnya dua pemerintahan: GNA di Tripoli yang diakui PBB serta masyarakat internasional di satu sisi; dan pemerintahan timur beribu kota di Tobruk, Libya timur. GNA dipimpin PM Fayez Sarraj, sedangkan pemerintahan timur secara de facto dikendalikan Haftar, pemimpin LNA.
Libya terbelah, menyusul lahirnya dua pemerintahan.
Kedua kubu didukung dan mendapat bantuan militer pemerintahan dan milisi asing. GNA didukung Italia, Turki, dan Qatar. LNA ditopang Perancis, Rusia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Jordania, dan lain-lain. Laporan tim ahli PBB pada 10 Desember 2019 menyebutkan, negara dan milisi asing memasok persenjataan ke tiap kubu, mengabaikan embargo senjata ke Libya yang ditetapkan PBB.
Konflik di Libya diperkirakan bakal kian sengit ketika Turki mengerahkan pasukannya bulan depan. Erdogan menjustifikasi langkahnya atas dasar permintaan GNA. Dalam laporannya, tim ahli PBB juga mengingatkan dunia untuk fokus pada kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah yang ingin menjadikan Libya sebagai wilayah operasi mereka setelah kolaps di Suriah. Al Qaeda juga beroperasi di Libya. Dua kelompok itu berhadapan dengan dua kubu yang bertikai di negara tersebut. Betapa ruwet dan pelik konflik di Libya ke depan serta besarnya dampak kemanusiaan bagi warganya.