"Omnibus Law", UU Sapu Jagat?
Membaca dan melihat perkembangan permasalahan menurunnya investasi saat ini yang kemudian mendorong pembentukan "Omnibus Law", serasa kita mengembalikan permasalahan tersebut ke masa 25 tahun yang lalu.
Membaca dan melihat perkembangan permasalahan menurunnya investasi saat ini yang kemudian mendorong pembentukan "Omnibus Law", serasa kita mengembalikan permasalahan tersebut ke masa 25 tahun yang lalu.
Saat itu, Presiden Soeharto menetapkan PP No 20/1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, yang ditetapkan dan diundangkan 19 Mei 1994. Sebagai suatu PP adalah tepat jika pembentukannya dilakukan untuk melaksanakan suatu UU yang memberikan delegasinya, sesuai ketentuan Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya”.
Namun, PP 20/1994 tak saja melanggar suatu tradisi di mana suatu PP hanya merupakan peraturan pelaksana dari UU yang memerintahkannya, oleh karena PP 20/1994 itu dibentuk untuk melaksanakan beberapa UU sekaligus, yaitu UU Tenaga Atom; UU Pers; UU Penanaman Modal Asing; UU Penanaman Modal Dalam Negeri; UU Ketenagalistrikan; UU Telekomunikasi; UU Perkeretaapian; UU Penerbangan, dan UU Pelayaran.
Selain itu, PP 20/1994 juga telah mengubah materi muatan berbagai UU itu yang seharusnya tertutup untuk modal asing (yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak), yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom dan media massa, sehingga menjadi bisa dimiliki modal asing hingga 95 persen. Dengan demikian PP 20/1994 tak hanya bertentangan dengan berbagai UU itu tapi juga bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Kondisi saat itu mungkin sama dengan saat ini, di mana investasi di Indonesia tak berkembang yang mungkin disebabkan banyaknya peraturan yang mengatur perizinan dan berbagai lembaga yang harus menanganinya. Namun, haruskah kita menyederhanakan dengan membentuk peraturan yang tak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku selama ini, yang belum tentu datangkan manfaat?
Namun, haruskah kita menyederhanakan dengan membentuk peraturan yang tak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku selama ini, yang belum tentu datangkan manfaat?
UU payung?
Pembentukan peraturan perundang-undangan di setiap negara sangat tergantung sistem yang dianut negara bersangkutan, yang secara teori dibedakan antara civil law (Eropa Kontinental) dan common law (Anglo Saxon). Pembentukan peraturan perundang-undangan di setiap negara juga terikat sistem hukum yang berlaku. Untuk Indonesia, pembentukan peraturan perundang-undangan tak dapat dilepaskan dari keterikatan pada sumber hukum tertinggi, Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana dikuatkan dengan rumusan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa: ”Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Sejak TAP MPR No. XX/MPRS/1966, TAP MPR No. III/MPR/2000, UU 10/2004, dan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sistem hukum di Indonesia telah ditetapkan dalam suatu rangkaian yang bersifat hierarkis, dari Pancasila dan UUD 1945 hingga peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Selain itu, di Indonesia hanya dikenal satu UU yaitu peraturan yang dibentuk Presiden dengan persetujuan DPR (sebelum Perubahan UUD 1945) atau yang dibentuk DPR dengan persetujuan bersama Presiden (sesudah Perubahan UUD 1945).
Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia haruslah berlandasan prinsip-prinsip itu, sehingga suatu pembaruan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana, sehingga tak menimbulkan gejolak yang justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.
Jika kata Omnibus (Latin) bermakna untuk semua/untuk segalanya, tentunya istilah Omnibus Law (OL) bermakna hukum untuk semua/segalanya. Sedikit banyak, ada perbedaan pendapat soal definisi OL di beberapa kamus hukum maupun pendapat ahli. Ada yang memaknai sebagai RUU yang mengandung lebih dari satu atau beberapa materi yang dijadikan satu UU (Audrey Obrien-Lili Rasyidi et). Ada pula yang memaknai sebagai satu dokumen tunggal yang mencakup bersama-sama suatu kombinasi subyek yang beraneka ragam atas dasar beberapa kriteria (Gunter 2012-Muladi/Kompas). Dari berbagai definisi itu, saya memaknai OL sebagai satu UU (baru) yang mengandung atau mengatur berbagai macam substansi dan berbagai macam subyek untuk langkah penyederhanaan dari berbagai UUyang masih berlaku.
Apakah UU Omnibus dapat disamakan dengan UU payung? UU payung (raamwet, basiswet, moederwet) sering dimaknai dengan UU yang merupakan “induk” dari UU lain, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari UU "anaknya". UU payung inilah yang melimpahkan berbagai pengaturan lebih lanjutnya secara delegasi pada UU lain.
Untuk Indonesia, pembentukan peraturan perundang-undangan tak dapat dilepaskan dari keterikatan pada sumber hukum tertinggi, Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana dikuatkan dengan rumusan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa: ”Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Bentuk "Omnibus Law"
Terdapat beberapa ahli yang mencontohkan penerapan OL seperti pembentukan TAP MPR No I/MPR/2000 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan TAP MPR tahun 1960 hingga 2002, yang mengelompokkan 139 Tap MPR dalam enam pasal, masing-masing mengatur: (1) Tap MPRS/MPR yang dicabut/tak berlaku; (2) Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan berbagai ketentuan; (3) Tap MPR yang tetap berlaku sampai Pemilu 2004; (4) Tap MPRS/MPR yang tetap berlaku sampai terbentuknya UU; (5) Tap MPR yang tetap berlaku sampai dibentuk Tatib baru oleh MPR hasil Pemilu 2004; dan (6) Tap MPRS/MPR yang tidak perlu diambil tindakan karena sudah dicabut atau bersifat beschikking.
Menurut saya, yang bersama anggota MPR ikut dalam pembentukan TAP MPR No I/MPR/2003, TAP MPR ini beda dengan OL yang sedang dirancang dengan beberapa alasan. Pertama, TAP MPR itu adalah perintah Aturan Tambahan Pasal I Perubahan UUD 1945. Walau materi yang tertuang dalam Tap MPRS/MPR sangat beraneka ragam, namun alamat yang diatur (adressat) dalam Tap-Tap MPRS/MPR itu hanya MPR dan Presiden (plus DPR). Selain itu, pengelompokan dalam setiap pasal menetapkan keberadan setiap Tap MPRS/MPR secara utuh dan tak ada perubahan. Dengan perumusan pasal-pasal di TAP MPR No. I/MPR/2003 itu, Tap MPRS/MPR yang diatur di dalamnya akan tak berdaya guna lagi pada saatnya sesuai syarat-syarat yang ditentukan di pasal-pasalnya.
Ada beberapa ahli yang mencontohkan penerapan OL dalam UU 23/2014 tentang Pemda, yang Pasal 409 ketentuan penutupnya menetapkan: (1) UU 5/1962 tentang Perusahaan Daerah; (2) UU 32/2004 tentang Pemda dst; (3) Pasal 157, Pasal 158 Ayat 2 s/d 9, dan Pasal 159 UU 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah; (4) Pasal 1 angka 4, Pasal 314 s/d 412, Pasal 418 s/d 421 UU 17/2014 tentang MD3, dicabut dan dinyatakan tak berlaku. Dengan perumusan Pasal 409 UU 23/2014 itu, terlihat perumusannya serupa metode OL, tapi dapatkah ketentuan yang telah diatur UU 23/2014 itu mengesampingkan/ubah ketentuan UU lain?
Sulit pelaksanaannya
Haruskah kita membentuk peraturan yang sulit pelaksanaannya? Pembentukan UU di Indonesia saat ini sebenarnya secara materi muatan tak lagi dipermasalahkan, karena di Pasal 10 huruf e UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menetapkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi antara lain: “e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat”. Dengan demikian jika kita mau memaknai secara apa adanya, maka segala sesuatu yang ingin diatur dapat saja dirumuskan dengan UU asal dibentuk DPR dengan persetujuan bersama Presiden.
Permasalahannya, dapatkah pembentukan UU itu bertentangan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di negara kita seperti tertulis dalam alinea Pendahuluan di atas? Dapatkah suatu UU itu menghapus, mengganti, mengubah, atau mencabut ketentuan di berbagai UU atau peraturan perundang-undangan lain dan merumuskan kembali dalam UU yang baru itu? Sesuai tradisi yang berlaku dan UU 12/2011, setiap peraturan perundang-undangan harus dibentuk berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van behoorlijke regelgeving) dan juga berdasarkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis, yang tentunya berbeda bagi setiap peraturan perundang-undangan.
Permasalahannya, dapatkah pembentukan UU itu bertentangan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di negara kita seperti tertulis dalam alinea Pendahuluan di atas?
Secara teknik pembentukannya, mungkin pembentukan OL yang dibuat untuk menyederhanakan berbagai UU itu dapat mudah dilakukan dengan cara menyusunnya dalam kelompok, golongan, atau klaster, dan menuliskan apa yang harus diubah (termasuk penambahan, pengurangan, penggantian, penghapusan) ataupun pencabutannya. Namun, dalam perumusan definisi dalam Ketentuan Umum (KU) akan jadi persoalan yang tak mudah, karena mengganti definisi dalam KU suatu UU akan berakibat pada seluruh pasal dalam UU (asal) yang diubah.
Selain itu, bagaimana eksistensi dari berbagai UU yang beberapa pasalnya dicabut (dipindahkan) dan diletakkan dalam OL, karena setiap UU selain mengatur materi muatan yang berbeda juga mengatur subyek (adressat) yang berbeda-beda, dan subyek itu dapat menunjuk pada Presiden (jika delegasinya pada PP atau perpres), bisa pada menteri yang tentu fungsi dan kewenangannya berbeda) atau bahkan kepala daerah, dan lembaga-lembaga lainnya.
Bagaimana juga perumusan dalam Ketentuan Penutup UU OL itu harus menetapkan segala sesuatu yang diubah (termasuk penambahan, pengurangan, penggantian, penghapusan) ataupun pencabutannya terhadap berbagai UU yang masih berlaku. Permasalahan lain, bagaimana jika pasal-pasal OL itu dipertentangkan dengan UU (asalnya) melalui pengujian UU ke MK karena adanya ketakpastian hukum sehingga bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945?
Permasalahan yang paling sulit dihindari adalah, karena pembentukan OL ini dilakukan untuk penyederhanaan berbagai peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih, bertentangan, dan tak harmonis yang menyebabkan masalah perizinan, perpajakan, dan investasi kita tak berjalan baik. Dalam Draf Pertama Naskah Akademik RUU Cipta Lapangan Kerja, 2019, yang diajukan Kemenko Perekonomian antara lain dikemukakan, “terhambatnya investasi di Indonesia atau sulitnya melakukan usaha di Indonesia disebabkan karena begitu banyaknya regulasi (over regulated) di bidang perizinan yang substansinya tidak harmonis, tumpang tindih bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Regulasi yang demikian menciptakan sistem perizinan yang panjang dan berbelit sehingga berakibat pada iklim investasi di Indonesia menjadi rumit, tidak efektif, efisien serta tidak memberikan kepastian hukum. Pada akhirnya berpengaruh terhadap turunnya minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.”
Dari rumusan itu telah jelas ke mana arah tujuan pembentukan OL, tapi salah satu hal yang harus dikaji secara arif dan bijaksana adalah bagaimana pengaturan yang terbaik sehingga tak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku saat ini dan eksistensi Pasal 33 UUD 1945 sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Dilihat dari kacamata ekonomi kita dapat bermimpi bagaimana Indonesia dapat mengembangkan investasi yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat, tetapi harus dipertimbangkan juga bagaimana itu dapat diimplementasikan jika pengaturannya menimbulkan ketakpastian hukum atau bahkan bertentangan dengan UUD 1945.
Mungkinkah pembentukan OL dengan serta-merta dapat menyelesaikan permasalahan yang ada? Dalam kenyataannya, perbedaan perumusan dari dua peraturan perundang-undangan yang setingkat saja (misalnya kata “atau” dan kata “dan”) dalam pelaksanaannya sulit untuk diselesaikan dan kadang harus dilakukan pengujiannya, baik ke MA atau ke MK. Untuk itu perlu kita kaji kembali hal-hal yang melandasi pembentukan OL itu berdasarkan tradisi dan sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sehingga tak akan terjadi gejolak di kemudian hari. Ini karena berbagai macam UU yang berlaku saat ini (yang akan dimasukkan dalam OL) mengatur berbagai macam addressat (subyek) dari Pusat sampai ke Daerah yang biasanya terpengaruh oleh ego sektoral, serta berbagai kewenangan yang berbeda-beda.
Dalam kenyataannya, perbedaan perumusan dari dua peraturan perundang-undangan yang setingkat saja (misalnya kata “atau” dan kata “dan”) dalam pelaksanaannya sulit untuk diselesaikan dan kadang harus dilakukan pengujiannya, baik ke MA atau ke MK.
(Maria Farida Indrati, Pakar Hukum)