Menkopulhukam Mahfud MD, di awal jabatannya, memberi perhatian pada upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, sebagai bagian dari tugas besar yang dititipkan Presiden untuk dituntaskan.
Oleh
Edwin Partogi Pasaribu
·3 menit baca
Menkopulhukam Mahfud MD, di awal jabatannya, memberi perhatian pada upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, sebagai bagian dari tugas besar yang dititipkan Presiden kepadanya untuk dituntaskan. Niatan ini perlu disambut dan dimanajerial secara baik agar tak seumur jagung dan ‘gugur’ sebelum waktunya, seperti terjadi di era Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan ketika pada simposium untuk tragedi 1965 yang diprakarsainya April 2016 dapat tentangan dari kementerian lainnya.
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini tak mudah. Hal ini tergambar dari 1998 hingga sekarang. Hanya perkara Timur Timor Pasca- Referendum 1999 dan Tanjung Priok 1984 yang berhasil disidangkan Pengadilan HAM ad hoc. Selain kasus masa lalu, ada kasus Abepura yang pernah dibawa ke Pengadilan HAM (permanen). Hasil persidangan ini juga masih menyisakan masalah dalam konteks keadilannya, karena putusan hakim atas berujung pembebasan terdakwa dari segala dakwaan.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Kemenko Polhukam di Bandung (3/12), Mahfud menyampaikan akan menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara non yudisial tanpa mengabaikan mekanisme yudisial, atau sebaliknya. Mahfud juga menyampaikan, kini saatnya negara mengambil keputusan dan tak mengambangkannya lagi. Ini pernyataan yang cukup maju dari pemerintah. Anggaplah sebagai kelanjutan dari agenda Presiden Jokowi di periode sebelumnya dalam Nawacita yang belum menuai hasil.
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini tak mudah. Hal ini tergambar dari 1998 hingga sekarang. Hanya perkara Timur Timor Pasca- Referendum 1999 dan Tanjung Priok 1984 yang berhasil disidangkan Pengadilan HAM ad hoc.
Pemerintah saat ini kembali membahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), setelah sebelumnya UU ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 karena konstruksinya dinilai keliru. Di satu sisi, menyatakan putusan KKR bersifat final dan mengikat, namun di sisi lain, bila presiden menolak memberikan amnesti kepada pelaku, maka kompensasi korban tidak diberikan dan digelar pengadilan HAM untuk memutusnya.
Model penyelesaian
Para korban pelanggaran HAM masa lalu masih menunjukkan kegigihan menuntut keadilan, setidaknya bila merujuk Aksi Kamisan, kegiatan korban dengan pakaian hitam dan membawa payung hitam setiap Kamis sore di depan Istana Negara, Jakarta. Aksi yang dimulai Januari 2007 hingga November 2019, telah berlangsung 612 minggu (140 bulan).
Sudah 12 tahun lebih aksi itu berlangsung. Aksi yang terinspirasi perjuangan korban di Plaza de Mayo Argentina ini, tuntutannya memang patut dijawab pemerintah. Di antara mereka ada korban langsung dari berbagai pelanggaran berat HAM dan korban tidak langsung yang di dominasi oleh para orangtua yang anaknya hilang atau meninggal akibat pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Para korban pelanggaran HAM masa lalu masih menunjukkan kegigihan menuntut keadilan, setidaknya bila merujuk Aksi Kamisan, kegiatan korban dengan pakaian hitam dan membawa payung hitam setiap Kamis sore di depan Istana Negara, Jakarta.
Langkah pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu ini mungkin bisa dimulai dengan bertanya dengan para korbannya, model penyelesaian seperti apa yang mereka kehendaki. Setelah mendengar, pemerintah harus segera mengambil keputusan model yang diterapkan. Apapun model penyelesaian yang dipilih berpotensi menimbulkan pro kontra.
Namun, bila sulit sampai pada pilihan mekanisme yang ideal, jalan tengahnya adalah mekanisme yang paling mungkin diterapkan. Di sini pemerintah dituntut memiliki keberanian dalam mengambil keputusan.
Namun, ada baiknya imajinasi kita dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini tak dibatasi dengan pendekatan hukum. Pendekatan hukum memiliki konsekuensi proses yang panjang dan penuh tantangan. Misal, bila pemerintah mendorong mekanisme KKR, tantangan itu dimulai sejak proses perancangan UU di tim pemerintah, dilanjutkan dengan proses politik DPR, diinstitusionalisasi lembaga pasca-UU disahkan, dan hasil akhir yang berpotensi mengundang polemik. Entah berapa lama waktu dibutuhkan.
(Edwin Partogi PasaribuWakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK))