Menarik sekali membaca tulisan tentang kejujuran di kolom politik (Kompas, 16/11/2019). Pada bangsa kita ada yang bisa dijadikan contoh tentang integritas dan kejujuran ini. Sebutlah Bung Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Haji Agus Salim, Jenderal Hoegeng, Panglima Besar Soedirman, dan dr Leimena.
Haji Agus Salim saya lihat sendiri tahun 1946. Ia dengan pakaian sederhana (belum seragam) berjalan kaki di Jalan Tugu, Yogyakarta, menuju ke kantor.
Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng menolak seperangkat kursi dari negara untuk dipasang di rumahnya. Panglima Besar Soedirman juga sederhana. Beliau-beliau itu cerdas, bisa membedakan antara milikmu dan milikku, antara milik pemerintah dan pribadi, demikian pula dr Leimena.
Oleh karena itu, saya punya usul. Siapa saja yang menjumpai atau mengetahui ada orang jujur harap mengirimkan ceritanya pada redaksi media massa, bisa surat kabar, majalah, atau media elektronik. Kalau setiap bulan ditemukan dua orang jujur, dalam satu tahun terkumpul 24 orang jujur. Kalau ini bisa terus berkembang, tentu akan hebat sekali.
Dengan demikian, di NKRI nantinya banyak orang yang rela hidup sederhana, tidak berlomba mengejar kekayaan dan kemewahan. Rakyat kecil akan merasa adem, tidak merasa terpinggirkan. Rakyat tidak menjadi generasi kerdil, yang silau terhadap hal-hal gemerlap.
Mereka harus cerdas, mampu memilih mana yang hak dan mana yang bukan. Termasuk juga apabila disodori politik uang, mereka harus berani menolak. Kalau rakyat sudah cerdas, sila kelima Pancasila akan terwujud, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Semoga korupsi hilang karena orang punya harga diri. Ayolah, kita jangan jadi bangsa yang bodoh.
Titi Supratignyo
Tangerang Selatan
Nyaris Fatal
Terkait kelainan mata kanan saya akibat terjatuh dari tempat tidur, saya datang ke sebuah rumah sakit mata besar di Menteng, Jakarta Pusat.
Setelah diperiksa beberapa dokter, sampailah saya pada dokter D. Ia berkesimpulan, mata saya harus dioperasi.
Sebelum tanggal operasi 25 Oktober 2019, saya menjalani pemeriksaan darah, jantung, rontgen, dan sebagainya. Semuanya baik-baik saja sehingga saya diputuskan layak dioperasi.
Saya pun menyampaikan kepada dokter D keterangan tertulis dari RS Abdi Waluyo (30 Mei 2019) yang menyatakan bahwa saya menyandang ”lesi di cerebellum kiri” di bagian kepala, lengkap dengan hasil CT-scan.
Alhasil, semua keterangan kondisi kesehatan saya sudah ada pada dokter D. Menurut dokter D, saya harus dibius total dan operasi memakan waktu 2,5 jam.
Pada hari yang ditetapkan, saya masuk ruang pra-operasi lengkap dengan baju dan penutup kepala untuk operasi. Setengah jam kemudian, datanglah dokter D dengan dokter ahli anestesi.
Betapa terkejutnya saya ketika dokter D ataupun dokter anestesi itu mengatakan bahwa saya tidak jadi dioperasi karena kalau dibius saya bisa tidak bangun-bangun lagi. Operasi pun batal.
Bukankah sebelum masuk ruang pra-operasi seharusnya sudah ada kepastian risiko operasi? Mungkinkah terjadi kesalahan prosedur operasi?
Sampai sekarang saya masih trauma mengingat kejadian tersebut. Semoga apa yang saya alami tidak terjadi pada pasien-pasien lain.
Rusdi Saleh
Jalan Rasamala, Tebet,
Jakarta Selatan