Tol Laut, Wilayah Terpencil, dan Monopoli
Dengan struktur pasar lokal yang monopolistik/duopolistik, mau tak mau muatan tol laut cenderung dikuasai para monopolis/duopolis. Untuk mengatasi hal itu ada beberapa langkah yang perlu dilakukan.
Insentif ekonomi tidak selalu berdampak seperti yang diharapkan. Demikian pula pasar tidak selalu memberi hasil yang adil, dapat diterima, apalagi efisien.
Demikian ditulis Esther Dufo dan Abhijit Banervee, pasangan penerima Nobel bidang ekonomi tahun 2019, bersama dengan Michael Kremer.
Ungkapan tersebut ternyata cocok menggambarkan sinyalemen monopoli dalam program tol laut akhir-akhir ini.
Program tol laut merupakan trayek-trayek bersubsidi, yang menghubungkan pelabuhan pangkal (terutama Surabaya) dengan pelabuhan-pelabuhan singgah di wilayah Terluar, Terdepan, Tertinggal, dan Perbatasan (3TP), terutama di kawasan timur Indonesia. Dilayani kapal Pelni dan swasta, tujuan tol laut adalah mengatasi disparitas harga di pulau Jawa dengan wilayah 3TP.
Dalam teori permintaan dan penawaran, pemerintah menetapkan tarif langit-langit (ceiling price) atau batas atas per mil laut per satuan (ton atau kontainer) yang secara teori berada di bawah harga pasar komersial. Subsidi dibayarkan sebesar selisih tarif pasar dengan tarif batas atas kepada operator tol laut. Turunnya biaya transportasi melalui tol laut diharapkan dapat memperkecil disparitas harga kebutuhan pokok di 3TP dengan Jawa.
Setiap trayek dilayani satu operator (sebagai pemasok ruang kapal tol laut) dan satu kapal tol laut. Jika pada trayek tersebut hanya terdapat satu forwarder atau shipper sebagai pengguna jasa ruang kapal, namanya monopoli bilateral (satu pemasok/penjual dengan satu pengguna/pembeli). Jika terdapat 1 operator pelayaran dengan dua atau tiga pengguna jasa, dinamakan oligopsoni.
Namun, besar kemungkinan para monopolis dalam angkutan kapal tol laut, juga bertindak sebagai monopolis dalam distribusi atau perdagangan barang kebutuhan pokok di 3TP.
Program tol laut merupakan trayek-trayek bersubsidi, yang menghubungkan pelabuhan pangkal (terutama Surabaya) dengan pelabuhan-pelabuhan singgah di wilayah Terluar, Terdepan, Tertinggal, dan Perbatasan (3TP), terutama di kawasan timur Indonesia.
Titik rawan
Dalam ‘ekosistem’’ tol laut, terdapat lima titik rawan yang berpotensi memonopoli tol laut, yakni pengirim barang (shipper), penerima barang (consignee), agen ekspeditur/pengurus barang kiriman (‘freight forwarder’), dan tenaga kerja bongkar muat (TKBM).
Ketiga, perusahaan pelayaran atau operator hanya melayani satu atau dua forwarder saja. Keempat, hanya ada satu (kelompok) TKBM di pelabuhan. Kelima, consignee yang membeli barang dalam volume besar dan mendapatkan subsidi tol laut, tidak menjadi jaminan akan menjual dengan harga lebih rendah dari harga pasar.
Kemungkinan kondisi terburuk bagi konsumen di wilayah 3T adalah ketika hanya ada satu pemilik dari barang yang dimuat di kapal, satu forwarder (monopoli ekspedisi), satu TKBM (monopoli bongkar muat) di pelabuhan singgah, dan pemilik barang di wilayah 3T, juga memonopoli distribusi barang.
Kemungkinan monopoli ekspedisi dan TKBM di pelabuhan pangkal besar, seperti Surabaya, sangat kecil. Sebaliknya, permintaan ruang kapal cenderung tinggi dan potensial shipper atau forwarder relatif banyak, sehingga monopoli justru oleh operator kapal tol laut.
Biaya riil tinggi
Kondisi serba monopolistik di wilayah 3T, beserta tingginya kompetisi ruang kapal di pelabuhan pangkal, menyebabkan biaya pengiriman riil dari gudang pengirim di Surabaya sampai ke gudang/toko pemilik barang di wilayah 3T menjadi tinggi (dua kali lipat tariff tol laut atau lebih). Hal ini menyebabkan harga barang sulit untuk turun di wilayah 3T.
Dapat disimpulkan bahwa fenomena monopoli tol laut boleh jadi hanya merupakan imbas dari struktur pasar bahan kebutuhan pokok di wilayah 3TP yang juga monopolistik. Keterpencilan secara alami dekat dengan monopoli, sebab cukup banyak rintangan untuk masuk pasar bagi pemain baru.
Sangat sedikit warga lokal yang memiliki aksesibilitas keluar masuk wilayah, leluasa mendapat informasi, akses modal, dan pengetahuan/keterampilan bisnis. Kesempatan (kebutuhan bahan pokok) dalam kesempitan (keterpencilan) sumber monopoli di 3TP.
Dengan struktur pasar lokal yang monopolistik/duopolistik, mau tak mau muatan tol laut cenderung dikuasai para monopolis/duopolis. Maka shipping instruction dan Sistem IMRK (Informasi Muatan dan Ruang Kapal) tol laut harus tetap menjadi instrumen pengawasan para pengguna tol laut.
Dapat disimpulkan bahwa fenomena monopoli tol laut boleh jadi hanya merupakan imbas dari struktur pasar bahan kebutuhan pokok di wilayah 3TP yang juga monopolistik.
Solusi
Untuk mengatasi monopoli muatan tol laut, beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama, beberapa kabupaten 3TP terkait di kawasan timur Indonesia mendirikan kantor perwakilan di Surabaya, sebagaimana dianjurkan Menteri Perhubungan. Hal ini untuk mempermudah pemesanan barang sesuai kebutuhan daerah.
Kedua, penyediaan informasi secara terbuka, terpusat dan terpadu oleh pemerintah pusat (kementerian perhubungan berkoodinasi dengan kementerian perdagangan), terkait ruang kapal, jadwal berangkat, daftar tunggu pemesan, daftar harga barang kebutuhan bahan pokok di wilayah 3TP (tersubsidi dan nonsubsidi). Informasi terpadu ini sangat diperlukan oleh para pengusaha.
Ketiga, kemungkinan penambahan kapal tol laut jika permintaan ruang kapal tinggi. Penembahan kapal merupakan salah satu solusi logis. Secara simultan, pemerintah daerah 3TP memperbaiki muatan balik dan struktur pasar daerahnya.
Pemerintah daerah 3TP bersama para aktor bisnis lokal (pengusaha, BUMD, dan BUMDes), menghimpun komoditas unggulan seperti beras (kabupaten Buru), ikan dan kelapa (seluruh kabupaten 3 TP), rempah-rempah (Maluku Utara) dan dalam jangka panjang mendorong industri pengolahan.
Kedua, pemerintah daerah menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) sesuai dengan kewenangannya.
Ketiga, pemerintah daerah memantau dan berkoordinasi dengan para pengusaha lokal pemanfaat subsidi tol laut di wilayah 3TP, minimal mengingatkan kewajiban moral untuk menurunkan harga bahan pokok yang dikuasainya.
Keempat, pemerintah daerah di wilayah 3TP memfasilitasi tumbuhnya pengusaha-pengusaha baru dan membangun sistem kompetisi bisnis yang sehat. Alternatif lain adalah mendatangkan pemain-pemain baru dari luar wilayah sebagai investor dan pemasok
(Wihana Kirana Jaya,Guru Besar FEB UGM dan StafSus Menteri Perhubungan RI)