Membaca "Prioritas 4+1" Diplomasi RI
Berbeda dengan periode sebelumnya yang menempatkan diplomasi ekonomi di prioritas terakhir, Menlu menetapkan kebijakan "prioritas 4+1" untuk 2019-2024. Diplomasi ekonomi kini diposisikan di urutan pertama.
Retno Marsudi dipercaya lagi oleh Presiden Jokowi sebagai menteri luar negeri untuk lima tahun mendatang, 2019-2024.
Untuk menerjemahkan visi-misi Jokowi dalam diplomasi dan politik luar negeri, Menlu menetapkan garis kebijakan yang disebutnya “prioritas 4+1”. Prioritas itu difokuskan pada diplomasi ekonomi, perlindungan, kedaulatan dan kebangsaan, kepemimpinan di kawasan dan dunia, serta plus 1: infrastruktur diplomasi (SDM, reformasi birokrasi dan digitalisasi diplomasi).
Menarik membandingkan prioritas diplomasi RI periode 2014-2019 dengan 2019-2024. Periode 2014-2019 memprioritaskan diplomasi pada tiga hal: menjaga kedaulatan, perlindungan warga negara, dan diplomasi ekonomi. Berbeda dengan periode sebelumnya yang menempatkan diplomasi ekonomi di prioritas terakhir, untuk 2019-2024 diplomasi ekonomi justru urutan pertama.
Berbeda dengan periode sebelumnya yang menempatkan diplomasi ekonomi di prioritas terakhir, untuk 2019-2024 diplomasi ekonomi justru urutan pertama.
Diplomasi ekonomi
Bagaimana membaca perubahan prioritas ini dalam perspektif gerak-laku diplomasi dan politik luar negeri (polugri)? Perubahan prioritas dalam diplomasi RI mestinya dimaknai bukan sekadar pergeseran urutan. Lebih dari itu, sejatinya ia mengandung makna strategis dalam pelaksanaan diplomasi dan polugri. Pertanyaannya: mengapa diplomasi ekonomi?
Kedua, terkait redefinisi diplomasi. Publik terlanjur mempersepsikan diplomasi itu kerja elitis, eksklusif dan jauh dari rakyat. Seturut dengan orientasi kepemimpinan Jokowi, Menlu mengintroduksi diplomasi yang manfaatnya langsung dirasakan rakyat. Inilah narasi baru dan redefinisi diplomasi: dari kerja elitis dan eksklusif menjadi kerja konkret dan terkoneksi dengan kebutuhan rakyat.
Ketiga, akibat situasi ekonomi nasional dan global saat ini. Lesunya ekonomi dunia, yang antara lain akibat perang dagang AS-China, berdampak nyata pada kinerja ekonomi Indonesia. OECD memperkirakan ekonomi dunia pada 2020 hanya tumbuh 2,9 persen. Geliat lesu ekonomi dunia ini diperkirakan berdampak pada kinerja ekonomi Indonesia beberapa tahun mendatang. Prospek ekonomi global yang penuh ketakpastian menuntut diplomasi ekonomi lebih kencang: meningkatkan ekspor, investasi dan pariwisata.
Kelindan ketiga fenomena itu mengerucut pada penetapan prioritas diplomasi RI lima tahun ke depan: diplomasi ekonomi. Menarik dicermati, diplomasi ekonomi kini menjadi prioritas pertama dalam diplomasi RI. Dalam aras teknis-operasional, ditempatkannya diplomasi ekonomi pada urutan pertama menuntut para diplomat Indonesia untuk lebih banyak melakukan “diplomasi blusukan”, mengejar bola dalam mencari pasar ekspor, investor dan turis untuk berkunjung ke Indonesia. Diplomasi ini dikenal dengan istilah diplomasi TTI (trade, tourism, investment).
Jika diplomasi ekonomi menjadi prioritas, wajar jika diplomat gencar melakukan promosi TTI. Diplomasi jenis ini selalu dilakukan dari masa ke masa meski rezim berganti, terlepas ada tidaknya penetapan diplomasi ekonomi sebagai prioritas. Diplomat harus menggenjot ekspor, investasi dan pariwisata. Itu sudah menjadi bagian (embedded) dari tugas diplomat Indonesia di luar negeri.
Dalam aras teknis-operasional, ditempatkannya diplomasi ekonomi pada urutan pertama menuntut para diplomat Indonesia untuk lebih banyak melakukan “diplomasi blusukan”, mengejar bola dalam mencari pasar ekspor, investor dan turis untuk berkunjung ke Indonesia.
Duta Besar harus menjadikan diplomasi ekonomi fokus kegiatan promosi. Tetapi, apakah diplomasi ekonomi hanya berupa promosi TTI? Ada persepsi keliru di publik, bahkan di kalangan diplomat sendiri, bahwa diplomasi ekonomi adalah promosi TTI. Jebakan persepsi ini dikhawatirkan mereduksi kedalaman dan keluasan makna dari polugri. Bukankah diplomasi ekonomi TTI itu hanya bagian kecil polugri?
Satu kesatuan
Sejatinya, diplomasi ekonomi hanyalah salah satu cara pelaksanaan polugri dalam mencapai kepentingan nasional yang lebih luas, terkait kedaulatan dan keutuhan wilayah, kesatuan bangsa, serta kepemimpinan di kawasan. Kepentingan nasional dalam konteks diplomasi dan polugri sudah ditetapkan Menlu Retno, yaitu Prioritas 4+1: diplomasi ekonomi, perlindungan, kedaulatan dan kebangsaan, kepemimpinan, serta infrastruktur diplomasi.
Prioritas itu harus dibaca dalam satu kesatuan yang utuh, tak berdiri sendiri. Dalam melaksanakan empat prioritas itu dalam tataran diplomasi, yang menjadi tantangan bagi para diplomat adalah bagaimana diplomasi ekonomi sebagai prioritas bisa terkait dan berdampak pada tiga prioritas lainnya? Tak ada lain, diplomasi ekonomi harus menjangkau ranah di luar ekonomi dan promosi TTI semata (goes beyond TTI).
Dalam aras strategis-konseptual, prioritas diplomasi ekonomi menuntut para diplomat untuk jeli mengaitkan isu ekonomi dengan, misalnya, kedaulatan dan kebangsaan. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri banyak pulau-pulau kecil berbatasan laut dengan negara lain, juga perbatasan darat, dalam perspektif kedaulatan wilayah dan kebangsaan, sungguh memerlukan diplomasi ekonomi berwawasan geopolitik dan makro-politik jangka panjang, bukan semata TTI yang orientasinya bisnis-sektoral dan berjangka pendek.
Jika di pulau-pulau terdepan tidak ada kehadiran riil Indonesia (effective occupation), keutuhan wilayah Indonesia dalam jangka panjang berada dalam kondisi rawan konflik dengan negara tetangga. Demikian halnya perbatasan darat. Kesenjangan ekonomi yang mencolok antara warga Indonesia dengan negara tetangga bisa menggeser orientasi loyalitas rakyat ke negara sebelah. Diteropong dari kepentingan keutuhan wilayah dan kebangsaan, diplomasi ekonomi hendaknya diarahkan pada upaya menarik investasi dan kerja sama ekonomi di bidang infrastruktur maritim, jalan, pelabuhan, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus.
Dalam aras strategis-konseptual, prioritas diplomasi ekonomi menuntut para diplomat untuk jeli mengaitkan isu ekonomi dengan, misalnya, kedaulatan dan kebangsaan.
Diplomasi ekonomi model ini akan menumbuhkan pusat pertumbuhan baru di sekujur pulau terdepan dan perbatasan darat, sedemikian sehingga menghadirkan Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah utuh. Dengan mengaitkan diplomasi ekonomi dengan prioritas lain (kedaulatan dan kebangsaaan), ekonomi sebagai prioritas diplomasi tak hanya dapat menggenjot ekspor, investasi dan pariwisata, tetapi juga ikut mendukung kepentingan nasional lebih luas: keutuhan wilayah, kedaulatan dan kebangsaan.
(Darmansjah Djumala Dubes RI untuk Austria dan PBB di Vienna; Dosen S-3 Hubungan Internasional Fisip Universitas Padjadjaran, Bandung)