Kita semua menunggu terobosan di bidang hukum yang akan digelontorkan pemerintah, lewat omnibus law. Program ini memiliki aspek luas dan dampak sosial besar, termasuk di bidang perpajakan.
Oleh
Irwan Wisanggeni
·3 menit baca
Kita semua menunggu terobosan di bidang hukum yang akan digelontorkan pemerintah, lewat omnibus law. Program ini memiliki aspek luas dan dampak sosial besar, yang akan memengaruhi berbagai bidang, termasuk pajak. Dalam kaitan pajak, omnibus law misalnya berkorelasi dengan akan diberlakukannya pajak ke pedagang daring berbasis internet yang kini kian marak, khususnya e-dagang dari luar negeri. E-dagang adalah proses pembelian dan penjualan produk, jasa, dan informasi yang dilakukan secara elektronik dengan memanfaatkan jaringan internet.
Dampak e-dagang adalah komunikasi berbasis komputer global yang memotong batas wilayah, menciptakan ranah baru aktivitas manusia, dan merusak kelayakan dan legitimasi UU berdasarkan batas geografis. Karena internet mengabaikan batas-batas internasional, ”tempat” hanya punya sedikit makna di dunia maya. Ini yang membuat sulit menetapkan norma-norma internasional dalam mengidentifikasi sumber pendapatan wajib pajak (WP).
Dikhawatirkan e-dagang dapat mengubah distribusi kegiatan kena pajak, mengubah keseimbangan otoritas perpajakan dan mengakibatkan erosi basis pajak negara. E-dagang menciptakan kesulitan dalam identifikasi dan lokasi WP, identifikasi dan verifikasi transaksi kena pajak, dan kemampuan membangun hubungan antara WP dan transaksi kena pajak mereka, sehingga menciptakan peluang untuk arbitrase pajak. Akibatnya, pemerintah di seluruh dunia khawatir mereka tak menerima bagian yang adil dari pendapatan terkait pajak keuntungan e-dagang.
Dalam kaitan pajak, omnibus law misalnya berkorelasi dengan akan diberlakukannya pajak ke pedagang daring berbasis internet yang kini kian marak, khususnya e-dagang dari luar negeri.
Untuk itu, perlu peraturan untuk menjaring pajak pedagang daring dari luar negeri. Ini akan memberikan angin segar bagi penerimaan pajak. Berdasarkan studi Polling Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pengguna internet di Indonesia pada 2019 mencapai 171 juta. Angka ini akan terus meningkat dan tentunya akan bersanding lurus dengan pelaku bisnis di internet. Perusahaan riset pemasaran dan bisnis E-Marketer (New York) memprediksi pertumbuhan bisnis e-dagang kita akan mencapai 71 persen. Ini melampaui China yang 61 persen. Angka penjualannya, menurut laporan per Juni 2018, diperkirakan 1,8 miliar dollar AS (sekitar Rp 18 triliun). Jelas bahwa potensi pajak e-dagang sangat besar.
Kebaruan
Apa kaitannya dengan omnibus law? Saat ini subyek pajak luar negeri harus badan usaha tetap (BUT), yang hadir secara fisik dan memiliki kantor cabang sebagai perwakilan dagang di Indonesia sesuai Pasal 2 Ayat 1a UU Pajak Penghasilan (PPh). Namun RUU omnibus law, selama perusahaan itu beroperasi atau mendapatkan nilai ekonomi di Indonesia atau sumber berpenghasilan di Indonesia, ia wajib bayar pajak di Indonesia.
Upaya menjaring pajak dari bisnis via internet perlu didukung sebab selama ini otoritas pajak sulit menjangkau karena terbentur keberadaan pedagang daring yang tak berada di wilayah pabean Indonesia sehingga sulit dipajaki. Sulitnya memajaki transaksi perdagangan melalui internet akibat kendala terkait BUT atau menentukan apakah server atau situs web merupakan tempat bisnis tetap, telah menimbulkan kekhawatiran di beberapa negara.
Berdasarkan Konvensi Pajak OECD; model, keagenan dan aktivitas bisnis yang hadir secara fisik, yang digunakan untuk menentukan apakah BUT itu berdomisili di negara yang memiliki hak pemajakan atas suatu BUT. Argumen ini diperkuat penelitian Lacharite R Jason dari University of Northern British Columbia, bahwa sistem perpajakan internasional OECD mengatur bahwa hak pemajakan atas perusahaan e-dagang ditentukan oleh di mana letak servernya berada. Dengan demikian, ini akan memberikan masalah bagi negara bertarif pajak tinggi karena perusahaan e-dagang akan meletakkan servernya di negara dengan tarif pajak lebih rendah. Maka, perlu sebuah aturan kuat untuk mengatasi masalah ini.
Argumen ini diperkuat penelitian Lacharite R Jason dari University of Northern British Columbia, bahwa sistem perpajakan internasional OECD mengatur bahwa hak pemajakan atas perusahaan e-dagang ditentukan oleh di mana letak servernya berada.
Jika omnibus law diterapkan, masalah pemajakan atas transaksi bisnis ini dapat diatasi karena aturan dan payung hukumnya jadi terang-benderang untuk menjaring pajak e-dagang perusahaan yang berada di luar negeri, tetapi melakukan transaksi bisnis digital di wilayah pabean Indonesia. Setelah ada payung hukumnya, perlu dipikirkan mekanisme dan cara pemajakannya. Semoga omnibus law membawa perubahan dan kebaruan agar persoalan pajak
(Irwan Wisanggeni Dosen Trisakti Schools of Management)