Teman yang telah bertahun-tahun di Bangkok, kerja di negeri itu, bertanya mengapa menjelang pergantian tahun saya ke Ayutthaya. Bangkok jauh lebih meriah pada malam Tahun Baru. Dia mengatakan tidak ada apa-apa di Ayutthaya.
Ayutthaya terletak sekitar 80 kilometer sebelah utara Bangkok yang kini menjadi metropolitan dengan mal-mal terbesar di dunia. Itu salah satu menariknya antagonisme Bangkok. Di balik gemerlapnya kota, masih terdapat stasiun lama, pasar-pasar lama, dan kampung lama. Atau itukah penyebab—seperti pernah dilaporkan media setempat—banyak penulis Barat tinggal di Bangkok? Gabungan kosmopolitanisme dan tradisionalisme?
Tiket kereta ekonomi ke Ayutthaya 15 bath atau sekitar Rp 6.000. Bertampang butut tanpa pendingin udara, kelebihan kereta ini dibanding Prameks jurusan Yogya-Solo di situ tidak ada penumpang jongkok. Mungkin karena Thailand tidak pernah mengalami kolonialisasi sehingga tidak ada kebiasaan jongkok.
Bulan Desember Ayutthaya kering dan panas. Lanskap kota terbuka, tanah kosong menyerupai alun-alun luas di mana-mana. Kota ini merupakan pusaka dunia di bawah perlindungan UNESCO. Candi, kuil, menara, patung, arca, sisa-sisa bangunan kuno dilindungi dan dipelihara, tidak dibiarkan pemukiman atau bangunan baru mendesaknya.
Dalam berbagai catatan, Ayutthaya tadinya dikenal sebagai pusat kerajaan yang makmur. Pada abad ke-17, para pedagang dari sejumlah negara termasuk negara-negara Barat menyebut Ayutthaya sebagai salah satu kota terbesar dan termakmur di Timur. Berkali-kali terlibat peperangan dan mendapat serangan dari Myanmar (Burma), kota ini hancur sebelum kemudian pindah ke Thonburi, seberang Sungai Chao Phraya di Bangkok sekarang ini.
Di segenap penjuru kota, sejauh mata memandang adalah candi, kuil, dan menara. Semua candi berada di hamparan
luas. Kita menemukan keteduhan dari terik matahari di bawah pohon-pohon di sekitarnya. Dengan kata lain: pada panas terik kita menemukan teduh.
Paling praktis seperti dilakukan banyak turis, berkeliling Ayutthaya adalah dengan menyewa sepeda atau sepeda motor. Tidak perlu khawatir, orang kurang berpunya aman, tidak ada teror Harley Davidson dan Lamborghini ugal-ugalan di Ayutthaya. Apalagi tanpa disertai surat-surat.
Yang ada adalah candi, kuil, serta restoran-restoran sederhana dengan bir dan espresso. Salah satu kuil terindah Wat Ratchaburana, persis di jantung kota Ayutthaya. Di sini dulu Bon Jovi melakukan pengambilan gambar untuk video klip lagunya, ”This Ain’t a Love Song”.
Tak ada yang lebih menakjubkan dibanding senja di Wat Chaiwatthanaram di pinggir kota. Matahari mulai layu. Kuil-kuil dan sisa-sisa bangunan kuno berubah menjadi bayang- bayang hitam ditimpa remang cahaya senja.
Arca-arca membisu. Betul, tidak ada apa-apa di Ayutthaya, kecuali keheningan petang
dan simbol-simbol mengenai kekosongan dalam meditasi Buddhis. Pada ketiadaan apa-apa inilah orang dibawa mengarungi pengalaman:
yang kosong itu isi, yang isi itu kosong.
Lalu, perlahan-lahan matahari rebah di balik cakrawala, tenggelam meninggalkan tahun penuh kenangan 2019.
Candi-candi di Ayutthaya kebanyakan dibangun setelah abad ke-14, kalah tua dibanding candi-candi peninggalan Majapahit, Singasari, apa lagi candi pada zaman dibangunnya Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Dibanding candi-candi kita, candi-candi di Ayutthaya cuma lebih beruntung karena dilindungi bukan saja oleh keputusan politik, tapi sekaligus dipelihara dan dijaga oleh sistem kepercayaan yang menghormatinya.
Cerita perjalanan ke Ayutthaya kurang lengkap, kalau tidak menyertakan
bagian epilog. Pulang kembali ke Bangkok dengan
kereta ekonomi, kereta mengalami gangguan mesin. Kereta mogok di tengah persawahan jauh dari mana-mana.
Akan ada kereta pengganti. Penumpang diminta turun. Persoalannya, tanah di bawah lumayan tinggi jaraknya dari gerbong. Permukaannya berbatu-batu. Untuk menyeberang ke rel sebelah juga harus melalui got dan melompati pagar.
Penumpang tolong-menolong, membantu, terutama para manula agar tidak tergelincir di bebatuan, nyungsep di got, atau tersangkut di pagar pembatas. Lengkaplah perjalanan ke Ayutthaya: dari turis kelas ekonomi dengan pengalaman Buddhis, tiba-tiba saya merasa menjadi Indiana Jones..