Kebijakan Kriminal dan UU ITE
Mengapa Undang-undang ITE yang juga mengandung pengaturan tentang “cybercrime” dituduh telah menjadi instrumen pemidanaan. Apa yang salah? Di sinilah orang harus mulai memikirkan kebijakan kriminal.
Penegakan hukum yang semata-mata bersifat represif tanpa memerhatikan pendekatan preventif akan bertentangan dengan hakikat dan kodrat kejahatan yang bersumber dari masyarakat.
Harian Kompas (23/9/2019) halaman 3, dalam rubrik "Kilas Politik dan Hukum" memberitakan, sejak berlaku pada 2008, jumlah kasus tindak pidana yang terkait dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2017 hingga 2019 saja, total 6.895 orang sudah diselidiki Polri dengan rincian 38 persen terkait dengan penghinaan terhadap tokoh, penguasa, lembaga publik; 20 persen terkait dengan penyebaran tipuan; 12 persen terkait pidato kebencian; dan sisanya tindakan lain.
Menurut Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), kelompok rentan kriminalisasi adalah jurnalis, aktivis anti korupsi, aktivis lingkungan, dan kaum minoritas, baik gender maupun agama. Data SAFEnet, terdapat 245 kasus pelanggaran UU ITE selama 2008-2018 yang berkaitan dengan tindak pidana pencemaran nama baik, menyebarkan kebencian, pencemaran nama baik dan menyebarkan kebencian, ancaman, pornografi, tuduhan fitnah dan kejahatan terhadap penguasa umum.
Ingatan kita belum hilang tentang kasus Ahmad Dhani, Prita Mulyasari, Nasril “Ariel” Irham, Baiq Nuril, Buni Yani, Muhammad Arsyad, Anindya Joediono, Ratna Sarumpaet dll, yang semua merupakan pelaku tindak pidana sekaligus korban-korban penerapan UU ITE, baik sebelum direvisi (UU No 11/2008) maupun setelah direvisi (UU No 16/2016).
Melihat data di atas orang mulai berpikir, mengapa UU yang juga mengandung pengaturan tentang “cybercrime” (vide Cybercrime Convention, 2001) tersebut dituduh telah menjadi instrumen pemidanaan. Apa yang salah? Di sinilah orang harus mulai memikirkan kebijakan kriminal (criminal policy) yang mengandung arti sebagai organisasi rasional dari reaksi masyarakat terhadap kejahatan (the rational organization of the social reactions to crime). Kebijakan kriminal ini merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), yang dimanifestasikan baik sebagai sains maupun sebagai aplikasi terapan.
Kebijakan kriminal ini merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), yang dimanifestasikan baik sebagai sains maupun sebagai aplikasi terapan.
Langkah legislatif dan penegakan hukum ini secara keseluruhan merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy) dengan target untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat (Hoefnagels, 1969).
Dari kerangka pemikiran konseptual di atas, muncul tiga pertanyaan. Pertama, apa tujuan dan hakikat kriminalisasi dalam UU ITE ? Kedua, apakah syarat kriminalisasi sebagai bagian langkah represif dan merupakan pertanda dimulainya sistem peradilan pidana sudah dipenuhi? dan Ketiga, bentuk langkah pencegahan (preventif) apa yang sudah dirumuskan? Dalam hal ini, di samping langkah represif dan preventif tanpa mendayagunakan hukum pidana, Hoefnagels juga memandang penting peran strategis media massa untuk memengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan siber (cybercrime) dan intensitas pemidanaannya.
Hakikat kriminalisasi.
Hakikat dan tujuan kriminalisasi atas serangkaian perbuatan berkaitan dengan ITE, jelas bukan untuk menciptakan “jebakan” sistem keadilan retributif dan menjadikan sistem peradilan pidana secara mudah dan sederhana dapat dioperasikan seumpama pabrik perakitan (assembly plant or line) yang berjalan secara otomatis dengan bantuan robot atau semacam ban berjalan (conveyor belt) dalam pengambilan bagasi di bandara yang lancar tanpa kendala.
Tujuannya adalah untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis, agar terwujud keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum. Kalau ternyata hasilnya banyak tersangka, terdakwa dan terpidana karena UU ITE, apakah ada kesalahan dalam proses kriminalisasi ?
Pengertian asli dari kriminalisasi (criminalization) adalah proses untuk menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau seorang menjadi pelaku tindak pidana. Hal ini merupakan seperangkat asas atau etika legislatif (a principle of legislative ethics) yang harus dipertimbangkan pembuat UU (Jargenson, 2004). Dalam hukum pidana terdapat asas legalitas yang dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP sebagai “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” (suatu perbuatan hanya dapat dipidana bila sebelum perbuatan tersebut dilakukan, telah ada UU atau peraturan hukum yang melarangnya disertai ancaman pidananya).
Pengertian asli dari kriminalisasi (criminalization) adalah proses untuk menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau seorang menjadi pelaku tindak pidana.
Asas legalitas ini sering diperjelas dangan istilah lex praevia (larangan pemberlakuan retroaktif), lex scripta (harus tertulis), lex stricta (larangan analogi), dan lex certa (jaminan kepastian hukum). Hal ini bertujuan untuk membatasi dua kewenangan negara agar hati-hati dalam melakukan kriminalisasi yaitu, pertama, ius poenale, yaitu hak negara yang dapat melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan nestapa kepada yang melanggar larangan itu. Kedua, ius puniendi yaitu hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan, menuntut, mengancam dan menjatuhkan pidana terhadap perbuatan tertentu atas dasar ius poenale di atas.
Dari sini tiga moralitas atau dimensi kepentingan harus dilindungi yaitu, kepentingan negara dan masyarakat, kepentingan korban, serta kepentingan pelaku yang belum tentu bersalah.
Dari berbagai kritik terhadap UU ITE nampak bahwa UU ini dalam beberapa hal masih dianggap kurang menjamin kepastian hukum, beberapa perumusan bersifat multi-tafsir (karet) sehingga mengganggu kebebasan berekspresi (opini, kritik) di era demokrasi melalui Facebook, Twitter, Youtube, messenger (SMS, WhatsApp; dan BBM).
Di samping itu UU ITE cenderung memicu perselisihan warga masyarakat yang dengan mudah melaporkan ke penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat. Beberapa pasal bahkan dianggap merupakan duplikasi dengan aturan KUHP. Selanjutnya ada kesan UU ITE di satu pihak mengandung unsur perlindungan, namun di lain pihak menggandung ancaman dan mengakibatkan keresahan masyarakat.
Dengan demikian perlu dievaluasi oleh pemerintah dan DPR, apakah standar kriminalisasi di atas sudah dipenuhi untuk menjamin trias fungsi hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. karena revisi dengan UU No 19/2016 dianggap belum memuaskan. Namun demikian terlepas dari berbagai kelemahan itu, harus terus dikembangkan peningkatan kualitas penegak hukum untuk dapat melakukan tindakan pelacakan kejahatan ITE dan menetralisasi konten-konten negatif.
Dengan demikian perlu dievaluasi oleh pemerintah dan DPR, apakah standar kriminalisasi di atas sudah dipenuhi untuk menjamin trias fungsi hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Langkah preventif
Sementara itu, ada kebutuhan agar berbagai langkah preventif harus dikembangkan, karena globalisasi dan disrupsi teknologi akibat revolusi industri 4.0 (internet of things) relatif masih baru dan masyarakat belum memahami dan menyadari etika penggunaannya yang harus menyertainya, padahal data pengguna internet terus bertambah. Data dari Polling Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dari total populasi 264 juta penduduk Indonesia tahun 2018, sebanyak 171,17 juta jiwa (64,8 persen) sudah terhubung internet.
Dengan demikian, langkah preventif yang harus dikembangkan terutama adalah program literasi digital (digital literacy) untuk meningkatkan kemampuan secara efektif dan kritis serta beretika dalam menavigasi, mengevaluasi, dan membuat informasi dengan menggunakan berbagai teknologi digital. Sasarannya adalah aparat pemerintah, keluarga, masyarakat, pers, agar dapat menggunakan medsos secara positif. Di samping itu, perlu sosialisasi bahaya internet, kejahatan siber (dalam arti luas dan sempit) dan cara-cara perlindungan pribadi untuk menghadapinya.
Untuk itu semua, peranan media masa di era demokrasi sangat strategis yaitu di samping membuat berita dan menyusun agenda sosial, juga melakukan interpretasi, sosialisasi dan pendidikan, termasuk juga persuasi serta propaganda untuk mencegah dan memberantas tindak pidana ITE dan kejahatan siber pada umumnya secara profesional.