Dewan Keamanan PBB akan membahas situasi Libya, menyusul serangan pasukan Jenderal Khalifa Haftar dan kehadiran militer Turki, yang dapat membawa krisis lebih dalam.
Oleh
·2 menit baca
Pengerahan pasukan Turki ke Libya dilakukan menyusul kesepakatan dengan Pemerintah Libya (GNA), yang dipimpin Perdana Menteri Fayez al-Sarraj. Kesepakatan keamanan dan kemaritiman itu dicapai karena di bagian timur Laut Tengah diketahui tersimpan cadangan energi berlimpah. Berkoalisi dengan GNA bisa membuat pasokan minyak dan gas ke Turki akan terjamin (Kompas, 6/1/2020).
Perjanjian maritim ini memberi Turki hak untuk mengontrol sebagian besar Laut Mediterania, tempat cadangan gas baru-baru ini ditemukan. Wajar jika kesepakatan itu membuat marah negara-negara di kawasan Mediterania lainnya, seperti Yunani dan Siprus, yang juga berupaya mengeksploitasi sumber daya energi di wilayah tersebut.
Meskipun diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintahan PM Sarraj mendapat tentangan dari Jenderal Khalifa Haftar, yang sepenuhnya mengontrol Tentara Nasional Libya (LNA), dan menguasai bagian timur wilayah Libya. Haftar yang memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat itu mendapat dukungan dari beberapa negara besar, seperti Rusia, Mesir, dan Arab Saudi.
Rusia diduga membantu Haftar dengan tentara bayaran untuk menyerang ke Tripoli, tempat pemerintahan Sarraj berkantor sejak April 2019. Bahkan, Rusia memberi Haftar persenjataan, yang membuat LNA berhasil menguasai dan mengontrol beberapa kota di selatan Tripoli.
Pengamat menyatakan, tujuan jangka pendek dari kesepakatan ini adalah mengurangi serangan pasukan Haftar menuju Tripoli. Eratnya hubungan Rusia dan Turki di Suriah memudahkan kedua negara berdialog. Mungkin Turki dan Libya bisa bersepakat untuk menawarkan peluang ekonomi kepada Rusia di wilayah Mediterania yang mereka kuasai.
Negara-negara Eropa sejak lama berupaya mendamaikan dua kekuatan di Libya, tetapi selalu gagal. Upaya terakhir yang dijadwalkan di Berlin, Jerman, gagal terlaksana. Ketika melihat pasukan LNA berhasil menguasai beberapa kota, Turki ”melaju” cepat untuk membuat kesepakatan dengan GNA.
Sebaliknya, AS meminta pihak asing mengakhiri campur tangan beracun di Libya dengan mengatakan, ”Kehadiran pejuang Suriah yang didukung Turki sama seperti kehadiran tentara bayaran Rusia ke Haftar.”
”Semua pihak di Libya memiliki tanggung jawab untuk mengakhiri keterlibatan pasukan asing yang berbahaya ini, yang berkontribusi pada korban sipil dan merusak infrastruktur sipil sehingga merugikan semua warga Libya,” demikian pernyataan pers Kedubes AS di Tripoli.
Kita sepakat dengan pernyataan itu. Persoalan Libya harus bisa diselesaikan oleh bangsa Libya sendiri. Namun, upaya penyelesaian yang selalu gagal membuat pihak asing lebih mudah masuk dan membuat kesepakatan, yang tentu hanya menguntungkan satu pihak di Libya.