Mari Bersama Gowes Sepeda Bangsa
Sudah banyak pihak di Indonesia yang membedah cara-cara meningkatkan kemampuan inovasi dan kreativitas bangsa. Berbagai lembaga dan konsep juga diusung dengan gempita, tetapi kemudian kandas sebelum berprestasi.
Banyak wajah muda mengisi kursi kementerian di Kabinet Indonesia Maju Presiden Jokowi.
Kepada kaum muda itu kita menaruh harapan besar akan munculnya gagasan segar, kreatif, dan inovatif. Ekonomi kreatif salah satu sektor yang dapat perhatian khusus Presiden. Maka, dibentuklah Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Wishnutama, sosok muda kreatif dari dunia televisi, ditunjuk sebagai menterinya.
Tantangan yang dihadapi Bung Wishnu tidaklah ringan. Sebagai orang yang terbiasa berkarya di dunia swasta, persoalan birokrasi pemerintah bisa jadi kendala bagi percepatan gerak yang hendak dilakukannya. Kepadanya kita juga berharap mampu memangkas gurita birokrasi di kementeriannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Menteri BUMN Erick Thohir.
Pembentukan birokrasi yang ringkas dan efisien agar Indonesia bisa melaju kencang adalah hal krusial. The Global Competitiveness Report yang dikeluarkan World Economic Forum mencatat, tingkat daya saing Indonesia pada 2019 di urutan ke-50 dari 130 negara. Turun dari urutan ke-45 pada 2017.
Sementara Global Innovation Index (GII) yang diterbitkan oleh The World Intellectual Property Organization (WIPO) menilai, kemampuan inovasi Indonesia berada di urutan ke-85 dari 120 negara.
Validitas ranking negara-negara ASEAN itu diperkuat dengan indikator jumlah paten internasional yang diproses melalui WIPO—di bawah perjanjian Patent Cooperation Treaty—tahun 2018, sebagai indikator nilai tambah. Singapura punya 930, Malaysia 143, Thailand 105, Vietnam 22, Filipina 18, Indonesia 7, dan Brunei Darussalam 1.
Jika merujuk standar WIPO, ada 80 faktor yang bisa kita dedahkan mengapa di tingkat ASEAN saja kita hanya bisa hasilkan tujuh paten internasional. Karena keterbatasan ruangan, saya hanya menyampaikan tiga faktor paling krusial.
Pertama, kurangnya link and match antara dunia riset dan dunia industri. Apa yang dihasilkan dunia riset tak sesuai kebutuhan dunia swasta. Lihatlah bagaimana Singapura, atas biaya sendiri, sengaja menempatkan periset A*STAR (LIPI-nya Singapura) di perusahaan-perusahaan swasta untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dibutuhkan pasar. Skema ini menghasilkan link and match yang riil.
Kedua, gairah berinovasi di dunia akademi. Filipina mengembangkan sistem franchising inkubasi hasil riset yang dipegang dan dikelola kantor hak kekayaan intelektual (HKI) Filipina dan mencari franchisees di dunia universitas. Hasilnya, saat ini lebih dari 80 sentra HKI tersebar di berbagai universitas berpacu menghasilkan paten, dan hasilnya secara nasional meningkat.
Ketiga, ketersediaan insinyur seperti dilakukan Vietnam. Negara ini sebelum bertransformasi ke sistem ekonomi pasar sudah menyediakan ratusan ribu insinyur terdidik. Begitu manufaktur digalakkan swasta, SDM sudah siap. Hasil manufaktur mereka sarat akan karya kekayaan intelektual.
Contoh-contoh itu terjadi di sekitar negara kita. Jika kita mau jeli, karya invensi anak bangsa bisa bersemi di desa-desa, di gunung-gunung. Mereka anak-anak bangsa yang bertalenta tetapi tak terdeteksi oleh sistem inovasi nasional.
Data lembaga-lembaga internasional yang kredibel itu seolah menegaskan bahwa ekonomi Indonesia belum layak disebut knowledge-based economy yang sarat inovasi dan kreativitas—dua roda besar ”digowes” guna mewujudkan pembangunan nyata.
Kita tahu bahwa inovasi menyangkut penciptaan teknologi guna memecahkan berbagai masalah umat manusia. Sementara kreativitas mengacu pada penciptaan seni. Kedua-duanya merupakan kekayaan tak benda (intangible assets) bangsa, yang di dalamnya terkandung nilai ekonomi tak terhingga.
Belajar dari pengalaman
Bekerja selama 18 tahun di WIPO—salah satu organisasi PBB—telah mencelikkan mata saya betapa inovasi dan kreativitas telah menjadi dua faktor vital dalam memecahkan masalah-masalah riil yang dialami petani, pelaut, dan rakyat lainnya. Misalnya, soal perubahan cuaca, kesehatan masyarakat, atau ketersediaan pangan.
Tugas saya di WIPO adalah memberikan bantuan teknis ke negara-negara di Asia Pasifik guna memajukan sistem HKI. Inilah alat ampuh dalam memajukan inovasi dan kreativitas. Sepanjang 18 tahun itu saya mencatat, sejumlah negara di Asia Pasifik belum juga beranjak dari kebiasaan mengandalkan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, termasuk Indonesia. Sementara tetangga kita Singapura, kita tahu, adalah contoh negara yang unggul dalam daya saing (competitive advantage) karena memperhatikan betul kecerdasan SDM.
Sebenarnya, sudah banyak pihak di Indonesia yang membedah cara-cara meningkatkan kemampuan inovasi dan kreativitas bangsa. Berbagai lembaga dan konsep juga diusung dengan gempita, tetapi kemudian kandas sebelum berprestasi. Benarkah ungkapan punching below its weight—di bawah kapasitas sesungguhnya—berlaku di sini? Itu salah pelatih atau pemain?
Saya percaya, setiap bangsa memiliki inovator dan kreator, tetapi tak semua bangsa memiliki SDA melimpah. Dalam pandangan saya, akar masalahnya adalah ladang bagi tumbuh suburnya inovasi dan kreativitas tak dikerjakan bersama-sama. Academia, business, civil society, government (ABCG) masih suka main sendiri. Padahal, kita bangsa yang suka gotong royong. Hulupis kuntul baris kata Bung Karno.
Academia, business, civil society, government (ABCG) masih suka main sendiri. Padahal, kita bangsa yang suka gotong royong. Hulupis kuntul baris kata Bung Karno.
Sepeda bangsa
Bagaimana upaya kita memecahkan masalah ini? Mari kita bayangkan sebuah ”sepeda bangsa” sebagai kendaraan yang membawa kemajuan ekonomi.
Kedua roda masing-masing ibarat gerak inovasi dan gerak kreativitas. Jeruji masing-masing rodanya merepresentasikan siklus inovasi dan siklus kreativitas yang berlandaskan karya HKI yang sarat nilai tambah ekonomi. HKI adalah ukuran bagi maju tidaknya perekonomian suatu bangsa. HKI adalah ”mesin ganda” yang membawa pembangunan untuk menggapai kesejahteraan 265 juta penduduk Indonesia.
Pertanyaan: maukah kita mengalibrasi mental untuk mewujudkan strategi pembangunan bangsa ibarat menggowes sepeda bangsa? Inilah sepeda yang setiap jeruji rodanya tangguh mewakili segenap pemangku kepentingan, dari tukang sapu hingga CEO perusahaan, dari pembuat notulen hingga rektor, dari tukang parkir hingga ibu-ibu rumah tangga. Mereka semua menggowes satu tekad yang namanya sepeda bangsa.
Semua bahu-membahu menopang mental baru untuk berperilaku inovatif dan kreatif. Setiap mata rantai (bagian-bagian untuk menggowes) saling melekat dan terhubung dengan kementerian.
Kementerian adalah ”pelayan masyarakat” yang sebaik-baiknya (enabler), termasuk di dalamnya dunia pendidikan yang menerima porsi terbesar APBN, dunia kesehatan, perbankan, dan lain-lain. Kementerian tahu kapan pemerintah bersikap proaktif (kebijakan fiskal/pengadaan public works) dan kapan bersikap di belakang swasta (kebijakan moneter/turunkan suku bunga).
Tanpa harus mengubah drastis strategi pembangunan, maukah kita memperbaiki, misalnya, sistem perbankan yang menerima karya kekayaan intelektual sebagai jaminan fidusia? Maukah negara membentuk lembaga penegakan hukum yang memberikan efek jera pada pelanggaran HKI?
Maukah kita membangun institusi administrator pendaftaran karya kekayaan intelektual yang tepercaya, efisien, dan customer oriented? Maukah kita mendukung kurikulum pendidikan yang mengutamakan kreativitas, bukan hafalan, seperti dicanangkan Menteri Nadiem Makarim?
Semua itu, dan banyak lagi, merupakan kepingan mata rantai yang erat bekerja sama. Tentu saja kita perlu pusaran (hub) penggerak yang solid, dinamis, berikut pemimpin yang fit and proper minded terhadap inovasi dan kreativitas. Pusaran atau poros ini tidak lain adalah para menko yang berperan sebagai menteri koordinator inovasi dan menteri koordinator kreativitas.
Indonesia masih sangat pantas untuk kembali memusatkan perhatiannya pada jari-jari roda inovasi dan kreativitas secara terarah, terkoordinasi, dan konsisten. Sudah saatnya kita berhenti memperdebatkan hal-hal yang bersifat ideologis atau urusan ”spiritual” yang konteksnya personal saja.
(Candra Darusman, Konsultan Kreatif; Musisi)