Menghadapi pluralitas agama di Indonesia, diperlukan kemauan dan komitmen etis-politik yang kuat dari para pemangku kekuasaan untuk menciptakan persaudaraan antarwarga negara berbasis nilai.
Oleh
Paulinus Yan Olla MSF
·4 menit baca
Wacana tentang keanekaragaman dalam hidup beragama selalu menarik sekaligus menantang, apalagi jika menyentuh isu kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
Alissa Wahid menggaungkan kembali jargon populer mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan pemimpin bangsa ini, tentang relasi antara negara dan agama. Indonesia dalam relasi itu disebut ”negara bukan-bukan” karena di satu pihak bukan negara teokratis, tetapi di pihak lain juga bukan negara sekuler yang antiagama.
Moderasi
Alissa dengan mengutip Kementerian Agama mengemukakan adanya empat ciri yang dikemas menjadi empat indikator praktik moderasi yang telah berlangsung berabad-abad di Indonesia. Keempat ciri itu adalah komitmen kebangsaan setiap agama di Indonesia, toleransi yang kuat antarkelompok, sikap antikekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi dan adat setempat (Kompas, 22 Desember 2019).
Kita dapat mengamati bahwa, dalam istilah ”negara bukan-bukan” yang dipinjam dari Gus Dur di atas, konstitusi negara tetap menjamin kebebasan penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Menariknya, dalam jaminan konstitusional itu, kebebasan beragama ditempatkan dua kali dalam bab yang berbeda.
Menariknya, dalam jaminan konstitusional itu, kebebasan beragama ditempatkan dua kali dalam bab yang berbeda.
Pada tempat pertama kebebasan beragama ada di bawah Judul Bab X A, ”Hak Asasi Manusia” (bdk, UUD 1945, Pasal 28 E,1.) dan pada Judul Bab XI, ”Agama” (bdk, UUD 1945 Pasal 29, 2). Kendati demikian, diksi ”intoleransi,” ”radikalisme” dan ”segregasi sosial” beraroma agama semakin banyak terdengar dalam kosakata harian. Hal itu mungkin mengindikasikan adanya ”ancaman” terhadap kebebasan beragama yang senyatanya dijamin konstitusi negara. Mengapa demikian?
Di balik perumusan konstitusional di atas, sebenarnya tersimpan perdebatan panjang tentang relasi agama dan negara dalam konteks HAM di tataran masyarakat global. Masalahnya, ide HAM yang diusung dalam Deklarasi Universal HAM, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dituduh mengandung bias kebudayaan Barat dan cenderung memandang hak-hak asasi manusia secara ahistoris, terpisah dari konteks sosial, politik, dan ekonominya. Lebih mendasar lagi adalah adanya penolakan terhadap konsep kebebasan beragama karena sangat dikaitkan dengan ”kesadaran nurani” untuk bebas berpindah agama (bdk, David Little, John Kelsay, Abdul Aziz A Sachedina, Human Rights and the Conflicts of Cultures:1988).
Studi di atas memperlihatkan bahwa ”kebebasan beragama” ternyata mempunyai muatan isi yang multitafsir ketika dihubungkan dengan konsep ”kesadaran nurani” untuk memilih agama. Di sana ada kendala besar yang berakar pada konsep teologis dan filosofis yang mendasari setiap agama dalam memaknai terminologi tersebut. Ada agama yang menghadapi kesulitan atau ”beban teologis” yang berat dalam memberi kebebasan untuk, misalnya, dalam pilihan ”berpindah agama” sesuai keyakinan nurani.
Dalam konteks kegalauan menempatkan tegangan relasi antara agama dan HAM di tingkat global, wacana, dan inspirasi tentang ”negara bukan-bukan” mungkin merupakan solusi yang berpijak pada kearifan lokal (baca: local wisdom) Indonesia yang patut didorong untuk dihayati. Ia menjadi terobosan mendamaikan diskursus tentang relasi antara agama dan HAM di ruang yang hampa konteks historis, sosial, budaya, ekonomis ataupun politis.
Subyek
Prinsip adil dan berimbang yang ditawarkan Alissa dalam analisisnya belum mempunyai subyek. Siapakah yang perlu adil dan berimbang? Bukankah praktik-praktik ”intoleran”, ”segregasi sosial”, dan ”ujaran kebencian” di tingkat global ataupun nasional sering dipicu terutama oleh para pemimpin, baik dalam pemerintahan, politik, maupun agama? Maka, subyek yang bertanggung jawab menjaga penerapan prinsip-prinsip itu tidak lain adalah para pemimpin, secara khusus mereka yang mempunyai wewenang mengambil kebijakan publik.
Maka, subyek yang bertanggung jawab menjaga penerapan prinsip-prinsip itu tidak lain adalah para pemimpin, secara khusus mereka yang mempunyai wewenang mengambil kebijakan publik.
Prinsip adil dan berimbang untuk menjamin kebebasan beragama yang menjadi pekerjaan rumah para pemimpin perlu diberi landasan nilai. Ide ”toleransi”, misalnya, sebenarnya tidak mencukupi jika tidak didukung nilai-nilai obyektif. Persahabatan antarwarga negara dalam suatu masyarakat sipil tidak dilakukan sekadar demi nilai kebaikan di tataran lahiriah, seperti kenyamanan makan, minuman dan seks, atau sekadar kebaikan yang menyangkut harga diri sebagai bangsa. Akan tetapi, pada tingkat lebih mendasar, ia menyangkut nilai kebaikan sejati. Formulasi dalam bahasa religiusnya adalah ”nilai cinta dan kebenaran” yang ditemukan dalam semua agama.
Menghadapi pluralitas agama di Indonesia, diperlukan kemauan dan komitmen etis-politik yang kuat dari para pemangku kekuasaan untuk menciptakan persaudaraan antarwarga negara berbasis nilai. Kebebasan dan perdamaian tidak pernah dapat dibangun atas dasar rasa aman yang palsu, ketakutan, dan ketidakpercayaan antaranak bangsa. Maka, kebebasan beragama yang diperjuangkan harusnya didirikan atas dasar nilai-nilai etis berbasis kearifan lokal dan yang menghormati HAM. Komitmen etis-politik itu ada di tangan para pemimpin bangsa.
(Paulinus Yan Olla MSF, Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualita Teresianum, Roma Uskup Tanjung Selor, Kalimantan Utara)