Penanggalan Merah Gus Dur
Sosok Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bagi Ernest Prakasa dan bagi sebagian besar kalangan Tionghoa, identik dengan sosok pembebas. “Gus Dur jadi inspirasi kebebasan walau saya tidak pernah ketemu,” kata Ernest.
Komika dan sutradara film Ernest Prakasa (37) tak pernah ketemu Gus Dur. Tetapi sosok ini melayangkan ingatannya ke masa kecil. Setiap tahun baru Imlek, orangtuanya bersusah-payah meminta izin agar ia tidak perlu bersekolah. “Selalu izin sakit,” katanya.
Penanggalan kalender saat Imlek waktu itu belum berwarna merah. Ekspresi keagamaan yang berhubungan dengan etnis Tionghoa juga dilarang dilakukan di muka umum.
Sosok Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bagi Ernest dan kemudian bagi sebagian besar kalangan Tionghoa, identik dengan sosok pembebas. “Gus Dur jadi inspirasi kebebasan, walau saya tidak pernah ketemu,” kata Ernest saat Rembug Budaya serangkaian peringatan Haul Gus Dur ke-10, akhir tahun 2019 di kediaman keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta.
Haul Gus Dur tahun 2019 mengambil tema “Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan”, sebuah frase penting dalam pemikiran Presiden RI ke-4 itu. Bahwa kebudayaan, bukan artefak arkeologis semata, tetapi pergumulan kemanusiaan yang berujung pada martabat hidup.
Oleh sebab itu, seluruh ekspresi kebudayaan harus dipandang sejajar, karena ia akan selalu mengarah pada derterminasi nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan.
Dalam kebudayaan, menurut pemikiran Gus Dur, tidak dikenal istilah dominasi dan rasa terancam. Keduanya, berada dalam terminologi politik praktis, yang biasanya dipraktekkan oleh rezim mayoritas yang sedang berkuasa.
Pada masa Orde Baru dengan alasan sangat politis, terutama pasca peristiwa G30S, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
Baca juga: Parlemen Keindahan Rendra
Pada instruksi pertama dan kedua, terlihat bahwa pelaksanaan perayaan keagamaan dan peribadatan dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Bahkan disebut, dilakukan secara tidak menyolok di depan umum.
Inpres ini memang tidak menyebut kata “dilarang”, sebagai ungkapan yang meniadakan kebebasan berekspresi kebudayaan. Tetapi imbas pelaksanaannya, sangatlah diskriminatif: penggunaan bahasa Mandarin, pertunjukan barongsai dan wayang potehi, persembahyangan Imlek, dianggap subversif.
Banyak kasus di mana pertunjukan wayang potehi, secara politis dianggap menyebarkan ajaran komunisme. Perlahan-lahan lebih dari tiga dekade, pendukung wayang potehi dan barongsai nyaris punah.
Sesungguhnya jika mau membuka lembar sejarah, sejak masa kolonialisme Belanda, orang-orang Tionghoa telah terdiskriminasi secara struktural. Semasa Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier tahun 1740, telah terjadi pembunuhan 10.000 lebih terhadap orang-orang Tionghoa.
Peristiwa yang terjadi antara 9-22 Oktober 1740 itu, lebih dikenal dengan sebutan Tragedi Angke atau Chinezenmoord, pembunuhan orang-orang Tionghoa. Eskalasi kekerasan kemudian menyebar ke seluruh Jawa, terutama terhadap buruh-buruh pabrik gula beretnis Tionghoa.
Baca juga: Musang Berbulu Ayam
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kita masih ingat Presiden Soekarno mengeluarkan PP Nomor 10/1959 yang menetapkan semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 Desember 1959.
Peraturan ini pertama-tama ditujukan kepada kalangan Tionghoa, yang memang sebagian besar hidup dari berdagang, terutama karena ada peraturan lainnya yang melarang mereka memiliki tanah.
Imbas peraturan ini sungguh mengenaskan. Selama periode 1960-1961, lebih dari 100.000 orang Tionghoa yang tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia “diusir” kembali ke China.
Sebaliknya, pemerintah China mengirimkan kapal-kapal dagang “bobrok” untuk mengangkut mereka “pulang kampung”. Nyatanya berdasarkan banyak fakta, mereka diisolasi di daerah-daerah rawa dan hutan dan dibiarkan menjalani hidup tanpa bantuan pemerintah.
Baca juga: Ayu tetapi Berhantu
Begitulah, kemudian banyak kampung di China yang mempraktekkan kebudayaan Indonesia sampai sekarang.
Selain Inpres Nomor 14 Tahun 1967, terdapat setidaknya tujuh produk perundang-undangan Orde Baru yang berbau diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa.
Sebut misalnya, Surat Edaran Menteri Penerangan Nomor 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina dan Instruksi Mendagri Nomor 455.2-360 tentang Penataan Klenteng.
Intinya, seluruh peraturan perundangan itu membatasi seluruh ruang gerak ekspresi kebudayaan yang pada akhirnya bertujuan membunuh martabat kemanusiaan.
Baca juga: Intuisi untuk Mati
Pada konteks inilah Gus Dur hadir dan menyadari bahwa pemusnahan secara terstruktur dan masif terhadap ekspresi kebudayaan orang-orang Tionghoa telah dilakukan oleh negara.
Rentang sejarah sejak masa kolonialisme Belanda sampai kepada pemerintahan demokrasi dengan asas Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, peminggiran dan pemusnahan seolah-olah menjadi tindakan yang sah dan legal. Maka itu, sampai kini sebutan “china” intensinya nyaris sama dengan sebutan rasis seperti “negro” terhadap orang-orang kulit hitam di dunia Barat.
Sebagai presiden, Gus Dur kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Praktis sejak dinyatakan tidak berlaku, ekspresi kebudayaan etnis Tionghoa seperti meledak di mana-mana.
Bahkan Gus Dur menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif, hanya bagi mereka yang merayakannya.
Baca juga: Perahu Pengantar Kesedihan
Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional sejak tahun 2002. Kini, setiap perayaan Imlek di Indonesia, angka pada penanggalan berwarna merah, tidak lagi hitam.
Rekomendasi penting Rembug Budaya Haul Gus Dur ke-10, di antaranya berbunyi: kebudayaan harus melestarikan kemanusiaan dengan menangkap pergumulan kemanusiaan, khususnya pengalaman hidup kelompok-kelompok rentan/lemah seperti perempuan, penghayat kepercayaan, difabel, dan lain-lain.
Selain itu, terdapat rekomendasi, bahwa negara dan masyarakat perlu membangun model praktek keberagamaan yang kontekstual dengan konstruksi budaya Indonesia.
Agama dan budaya tidak saling mengalahkan, bukan dikotomi yang kontradiktif, tetapi dialektis, keduanya saling belajar dan mengambil. Beragama yang berkebudayaan berarti praktek beragama yang membawa manfaat dan maslahat termasuk untuk alam.
Baca juga: Inkulturasi Sebatang Bambu
Rekomendasi yang ditujukan kepada para stakeholder kebudayaan ini, sejalan dengan pemikiran dan tindakan Gus Dur. Pada konteks sekarang, praktek kebudayaan oleh kelompok-kelompok rentan, termasuk kalangan Tionghoa, menjadi upaya-upaya untuk merawat rasa kemanusiaan.
Agama tak lain adalah bagian dari praktek berkebudayaan, yang secara tradisional telah berlangsung berabad-abad di pelosok Nusantara. Praktek-praktek penghayat kepercayaan serta ekspresi kelompok rentan, adalah bagian dari pelaksanaan ekspresi keberagamaan, yang harus dilindungi oleh negara.
Agama dan budaya, dua hal dialektis yang saling memberi dan menghargai dalam rangka mewujudkan kemanusiaan yang beradab.
Tindakan Gus Dur dengan menerbitkan Instruksi Presiden dan kemudian mencabut Instruksi Presiden sebelumnya, dilakukan sebagai wujud pemihakan negara terhadap kebebasan ekspresi kebudayaan minoritas yang telah berlangsung selama lebih dari setengah abad di negara kita.
Baca juga: Cintalah yang Membuat Diri Bertahan
Penggantian warna hitam menjadi merah pada kalender di setiap hari raya Imlek, adalah perayaan kemenangan terhadap perlakuan diskriminatif serta peninggian harkat dan martabat manusia.
Di situ, Indonesia sejajar dengan negara-negara Barat dalam upaya penegakan hak asasi manusia, dan Gus Dur berada di garis depan…
Semoga kita tidak bergerak mundur dalam menghadapi ultrakonservatisme yang kini terjadi dalam cara kita menjalankan dan menghayati agama.