Trump Menyulut Api
Apakah Donald Trump tetap akan nekat menggerakkan tentara dan mesin perangnya menyerang Iran, mengubah shadow war (perang bayangan) dan perang ekonomi AS-Iran yang sudah berlangsung empat dasawarsa, jadi perang nyata?
Ibarat “melemparkan api ke tumpukan jerami”, itulah yang dilakukan Trump dengan memerintahkan untuk menghabisi Komandan Brigade Al Quds, unit elite Garda Revolusioner Republik Islam Iran, Jenderal Qassem Soleimani.
Pesawat nirawak AS menembak iring-iringan mobil yang salah satunya dinaiki Soleimani, saat keluar dari Bandara Internasional Baghdad, Irak, Jumat lalu.
Apa yang mendorong Presiden AS Donald Trump mengambil langkah lebih nekat dibanding dua pendahulunya, George W Bush dan Barack Obama?
Kedua presiden itu pernah mempertimbangkan menyingkirkan Soleimani, namun langkah itu tak diambil karena mempertimbangkan dampak, konsekuensi yang akan membuat kawasan Timur Tengah kian tak stabil. Selain itu, juga akan kian meningkatkan keterlibatan militer AS, dengan risiko hilangnya nyawa banyak tentara AS.
Berbagai teori dimunculkan di media terkait keputusan Trump. Salah satunya berusaha menjawab mengapa baru kini ia memerintahkan membunuh Soleimani.
Setahun sebelum Obama terpilih kembali sebagai presiden (2011), Trump mengatakan, “Dalam usaha untuk terpilih kembali, Obama akan memulai perang dengan Iran.” Apakah “cara” itu yang dipilih Trump agar terpilih kembali?
Karena itu, Trump perlu menunjukkan keberanian dan ketegasannya dengan menyingkirkan Soleimani yang oleh AS disebut lebih berbahaya dibanding Osama bin Laden dan Abu Bakr al-Baghdadi pemimpin ISIS; karena Soleimani dapat dukungan kekuatan penuh negara. Soleimani, selama ini dipandang tokoh sentral dalam berbagai peristiwa di Yaman, Irak, dan Lebanon serta bertanggung jawab atas kematian banyak tentara AS di Timteng.
Teori lainnya berdasarkan skenario “wag the dog” (kibasan “ekor” anjing). Yakni istilah bagi presiden yang menciptakan krisis di luar negeri untuk mengalihkan perhatian dari rasa malu di dalam negeri. Trump, kini sedang bersiap-siap menghadapi pemakzulan karena dianggap menyalahgunaan kekuasaan.
Hal sama pernah dilakukan Bill Clinton tahun 1998, ketika tersangkut skandal seks dengan Monica Lewinsky. Agustus 1998, ketika skandal itu terbongkar, Clinton memerintahkan penyerangan pabrik obat al-Shifa di Sudan. Dan, pada Desember 1998, ketika menghadapi pemakzulan, Clinton memerintahkan serangan udara terhadap Irak.
Apa pun teorinya, tewasnya Soleimani, “jenderal paling berkuasa di Timteng saat ini,” memancing berbagai reaksi. Keputusan Trump itu memunculkan ketegangan baru di Timteng dan Teluk. Teheran segera menyatakan akan membalas tindakan AS.
Rakyat di beberapa negara Timteng, termasuk Irak, ada yang merasa lega atas tewasnya Soleimani, tapi parlemen Irak mengambil keputusan agar AS menarik pasukannya dari Irak. Negara-negara Eropa sekutu AS—juga Indonesia, meskipun bukan sekutu, menyerukan semua pihak menahan diri.
Seruan Eropa dan Indonesia itu, masuk akal. Kehilangan Soleimani bagi Iran sangat berarti. Soleimani sebagai komandan Pasukan Quds menduduki posisi sangat tinggi di Iran, hanya dikalahkan para ayatollah.
Apa yang akan terjadi setelah tewasnya Soleimani? Berbagai kemungkinan bisa terjadi, bila pihak-pihak yang berseteru tak menahan diri: perang, pembalasan terbatas, khaos, atau mungkin justru sebaliknya karena berbagai pertimbangan tak terjadi apa-apa.
Namun, kecil sekali kemungkinan tak terjadi apa-apa, mengingat arti pentingnya Soleimani bagi Iran dan dia tewas di tangan “setan besar” AS musuh utama Iran.
Perang bentuk baru
Kemungkinan, kalaupun terjadi pembalasan dari Iran, tak akan terjadi perang frontal seperti Perang Teluk 200 ketika AS menginvasi Irak. Sudah lama Iran memilih pendekatan asimetrik dalam konfrontasi dengan AS. Dalam perang seperti ini, disrupsi digital dapat jadi salah satu senjatanya.
Para ahli mengatakan itu kemungkinan akan menjadi semacam konflik tersembunyi yang tersebar di wilayah dan dunia, di mana Iran berusaha mengejutkan dan menyerang dengan cepat musuh, melalui peretas, milisi proksi, atau cara tidak langsung lainnya (The Christian Science Monitor, 6/1/2020).
Kemungkinan, kalaupun terjadi pembalasan dari Iran, tak akan terjadi perang frontal seperti Perang Teluk 200 ketika AS menginvasi Irak. Sudah lama Iran memilih pendekatan asimetrik dalam konfrontasi dengan AS.
Perang siber telah terbukti sangat menarik bagi Iran, sejak embargo senjata selama empat dekade membuat militer konvensionalnya tak mampu mengikuti perkembangan kekuatan negara lain di Timteng dan Teluk. Meski belum sebanding dengan Rusia dan China dalam kemampuan siber, Iran telah menunjukkan peningkatan kemampuan dan kemauan untuk menggunakan cara digital.
Menurut International Institute for Strategic Studies (IISS) November 2019, "Antara 2009-2010 dan 2019, dan sering kali melalui proksi non-negara seperti Tentara Siber Iran, Iran telah banyak berinvestasi dalam mengembangkan dan menggunakan kemampuan siber, untuk propaganda, eksploitasi intelijen dan gangguan."
Namun, tak hanya dalam peperangan konvensional, AS juga memiliki keunggulan di dunia maya. Virus Stuxnet, yang diyakini dikembangkan AS dan Israel, sangat berkemampuan merusak program nuklir Iran. Tentu, ini jadi pertimbangan Iran bila memilih perang siber, meski Iran punya pengalaman pada 2012 berhasil menghancurkan data paling tidak di 30.0000 komputer personal milik Aramco, perusahaan minyak Saudi.
Andaikan Iran memilih pembalasan terbatas, bentuknya pun bisa macam-macam. Misalnya, penyerangan terhadap fasilitas AS di Timteng: bisa kedutaan besar, staf kedutaan, orang AS, atau pangkalan angkatan udara AS al-Udeid di Qatar, markas besar Armada Kelima AS di Bahrain, pangkalan pasukan AS di Kuwait.
Bisa juga berupa penutupan Selat Hormuz, satu-satunya pintu masuk ke Teluk Persia, perairan yang merupakan halaman depan Iran, Irak, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Oman. Teluk itu meliputi area sekitar 87.000 mil persegi dengan kedalaman maksimum 100 meter, dan titik tersempit selat 34 km.
Bila ini dilakukan akan mengganggu pasokan minyak dunia. Lebih sepertiga ekspor minyak mentah, sekitar 21 juta barrel setiap hari, diangkut kapal tanker lewat selat ini. Lewat selat ini pula dikapalkan gas alam cair lebih dari seperempat pasokan dunia, terutama dari Qatar.
Penutupan Selat Hormuz juga akan merugikan Iran sendiri, sebab mereka tak bisa ekspor minyak, yang 90 persen lewat selat ini. Kuwait, Qatar, dan Bahrain juga menggunakan selat ini untuk ekspor minyaknya. Penutupan Hormuz akan berdampak luas.
Bila tak menutup Hormuz, Iran juga bisa memanfaatkan proksinya di Lebanon yakni Hezbollah membalas tindakan AS dengan menyerang Israel; Iran juga bisa menyerang tentara AS di Afganistan, dan menyerang pangkalan militer AS di Saudi atau UEA, perang siber. Apa pun bentuk balasan yang mungkin dilakukan Iran, akan menambah ketidakamanan dunia, gara-gara ulah Trump.
Jaringan proksi
Menurut peringkat kekuatan militer dunia yang dibuat Global Firepower, peringkat pertama diduduki AS, dan Iran urutan ke-14, di antara Brasil dan Pakistan. Iran memiliki program nuklir, tetapi belum memiliki senjata nuklir. Mereka memiliki program rudal balistik, tetapi tak memiliki rudal balistik yang jangkaunnya mencapai AS. Iran memiliki hubungan baik dengan Rusia dan China, tapi apakah kedua negara mau terlibat dalam konflik dengan AS, andaikan terjadi.
Meski kalah dalam kekuatan militer dari AS, menurut studi think-tank militer (The Guardian, 7/11/2019), Iran kini memiliki keunggulan militer yang efektif atas AS dan sekutunya di Timteng. Ini karena kemampuan Iran untuk berperang menggunakan pihak ketiga seperti milisi Shiah dan kelompok pemberontak.
Dalam salah satu penilaian paling rinci tentang strategi dan doktrin Iran di seluruh Lebanon, Suriah, Irak dan Yaman, IISS menyimpulkan "kemampuan pihak ketiga" Iran telah jadi senjata pilihan Teheran. Ini yang tak dimiliki negara lain di kawasan.
Diungkapkan, jaringan pengaruh Iran lebih penting bagi kekuatan Iran daripada program misil balistiknya, program nuklir atau pasukan militer konvensionalnya (Iran memiliki 523.000 personel militer aktif dan 350.000 personel cadangan). Secara keseluruhan, keseimbangan militer konvensional masih berpihak ke AS dan sekutu-sekutu di kawasan itu. Tetapi, keseimbangan kekuatan efektif kini mendukung Iran.
Meski kalah dalam kekuatan militer dari AS, menurut studi think-tank militer (The Guardian, 7/11/2019), Iran kini memiliki keunggulan militer yang efektif atas AS dan sekutunya di Timteng.
Jaringan kekuatan proksi itu menghilangkan kendala geografis bagi Iran. Misalnya, Iran “hadir” lewat Pasukan Mobilisasi Rakyat Irak, Hezbollah di Lebanon, Ansarullah di Yaman, Front Nasional Suriah, Jihad Islam Palestina dan Hamas. Suatu ketika pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah menyatakan perlawanan di kawasan itu memiliki satu pemimpin dan pemimpin itu pemimpin tertinggi Revolusi Islam Iran.
Dari sini tergambar jelas jaringan proksi itu menyebar di berbagai negara di Timteng dan sudah mulai dibangun Iran setelah Revolusi Iran 1979. Setelah revolusi, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini mulai membangun jaringan rezim non-negara. Ia menyerukan kepada “orang-orang tertindas” di dunia untuk bersatu, mendorong kaum Shiah di kawasan untuk bangun melawan para penguasa dukungan Barat, dan memimpin rezimnya untuk bekerja sama dengan mitra-mitra non-negara, terutama kelompok Shiah di Lebanon dan Irak (Becca Wasser dan Ariane M Tabatabai, Mei 2019).
Iran memperkuat ikatannya dengan kelompok-kelompok ini pada 1990-an melalui penyediaan pelatihan, senjata, dan uang. Taktik untuk dapat pengaruh berbeda-beda di tiap negara.
Di Irak, Teheran menggunakan para pemberontak untuk menyerang tentara AS. Di Suriah, pasukan al-Quds di bawah Soleimani, mendukung pasukan reguler Suriah untuk menghadapi pemberontak multinasional dukungan AS.
Di Lebanon, hubungan Iran dengan Hezbollah terus berkembang. Iran memasok roket, senjata anti-tank, dan juga peluru kendali ke Hezbollah. Selain itu, juga memperkuat Hezbollah dengan mengerahkan 25.000 personal pasukan cadangan.
Menurut IISS, tak ada negara seaktif atau seefektif Iran dalam konflik regional di zaman modern. Total biaya yang dikeluarkan Iran dari kegiatannya di Suriah, Irak, dan Yaman 16 miliar dollar AS. Sementara, Hezbollah menerima 700 juta dollar AS setiap tahun dari Iran.
Setelah peristiwa 9/11 dan invasi AS ke Afganistan, Teheran mulai memaksimalkan penggunaan proksi-proksinya. Tujuannya, melemahkan pengaruh AS di wilayah itu. Sepanjang 2000-an, pasukan yang didukung Iran memperluas pengaruhnya di negara-negara utama di kawasan dan, kadang-kadang, menargetkan pasukan AS.
Menurut IISS, tak ada negara seaktif atau seefektif Iran dalam konflik regional di zaman modern.
Dengan kenyataan ini, apakah Trump tetap akan nekat menggerakkan tentara dan mesin perangnya menyerang Iran, mengubah shadow war (perang bayangan) dan perang ekonomi AS-Iran yang sudah berlangsung empat dasawarsa, jadi perang nyata? Siapa pun yang masih cinta perdamaian dunia tak menginginkan pecahnya perang. Perang tak bisa menciptakan apapun kecuali penderitaan. Senjata tak menghasilkan apapun kecuali kematian. Perang juga tak menghasilkan perdamaian. Kecuali, memang Trump ingin tercatat dalam sejarah sebagai pencetus Perang Dunia III.
(Trias Kuncahyono Peminat Masalah-masalah Internasional dari Middle East Institute, Jakarta)