Dalam dunia komik Indonesia, Merebut Kota Perjuangan (1985) dapat dikatakan istimewa sebagai proyek: diberi sambutan oleh Soeharto, presiden waktu itu, dan Sultan Hamengkubuwono IX; formasi kerjanya terdiri dari tim pengarang, tim skenario, tim ilustrator, seorang juru foto, seorang koordinator. Sebagai komik pembagian kerjanya adalah sketsa oleh Wid NS, pewarnaan oleh Hasyim Katamsi, Djoni Andrean, Hasmi, Wid NS, dengan penyelesaian akhir oleh Wid NS. Maka dapat disaksikan bahwa Wid NS, komikus tenar penggubah superhero lokal Godam, berperan penting. Namun, jangan dilupakan ”tim pengarang”, disebut sebagai Marsoedi dan kawan-kawan, yang saya kira maksudnya adalah pihak pemesan.
Berbagai sambutan menunjukkan kepentingannya: yang tersurat adalah argumen fakta sejarah, yang tersirat adalah eksistensi pelaku sejarah. Perhatikan kalimat dalam tulisan tangan Soeharto berikut: ”… cergam tersebut bukan bermaksud menonjolkan jasa seorang atau golongan, melainkan bertujuan mengungkap fakta sejarah bahwa Republik Proklamasi ini diperjoangkan dengan penuh kepahlawanan dan pengorbanan. Semoga jiwa dan semangat itu dapet diwarisi oleh generasi penerus dalam mempertahankannya.” Ditulis 29 Juni 1983, tentulah belum terbayang betapa 15 tahun kemudian, jiwa dan semangat generasi penerus itu mempertahankan Republik dengan cara yang membuat dirinya menyatakan berhenti sebagai presiden. Padahal, komik atawa cerita gambar itu dibuat agar oleh generasi penerus ”dapet diwarisi”.
Memberi makna dalam konteks
Apa yang bisa didapat dari ”warisan” ini? Tentu saja generasi mana pun, dari masa pra-Orde Baru, Orde Baru, Reformasi, pasca-Reformasi, dan masa yang lebih jauh lagi di masa depan, akan mewarisi (baca: memberi makna) dalam konteksnya masing-masing, dan setiap konteks itu dalam proses hegemonisasi akan menjadi sumber penyebab pergulatan antarwacana, ketika terdominasi, bernegosiasi, ataupun melawan dominasi wacana itu. Dengan demikian, kontribusi teks semacam Merebut Kota Perjuangan ini bukan sekadar ”mengungkap fakta” yang sudah terlalu sering diungkapkan, melainkan bagaimana cara pengungkapannya bisa dibongkar dalam pemeriksaan sehingga terlacak kepentingan yang justru—sadar ataupun tidak—tak akan pernah diungkapkan.
Dalam konteks 1980-an, komik ini berfasilitas mewah: tata warna, tim riset, ataupun kecakapan para penggarap komiknya. Hasilnya adalah sebuah cerita gambar seru, asyik diikuti dalam ketegangan menyusul proklamasi kemerdekaan, dengan bonus data sejarah. Mewajibkan diri untuk menjadikan proses peristiwa lengkap, dalam lembaran terbatas, sering membuat panil komik berdesakan—banyak gambar terlihat akan lebih spektakuler jika terbentang lebih luas. Artinya, materi sejarah komik ini membutuhkan ukuran yang lebih besar dan jumlah halaman yang lebih banyak. Dicetak dua versi, yang besar pun belum cukup. Untungnya dalam keberjejalan data, alur dramatiknya tetap menjamin keasyikan, juga menularkan kesadaran atas perjuangan dan patriotisme, tetapi hanya pembacaan kritis akan membuatnya bermanfaat.
Dengan kepercayaan atas dasar fakta dalam susunan naratif, justru terbukti bahwa sudut pandang penceritaannya terbatas pada apa yang telah dikumpulkan tim ”pengarang”, yang sudah diseleksi pula demi efisiensi alur penceritaan. Serangan Umum 1 Maret 1949 memang dikomandani Letkol Soeharto, tetapi hanya bisa menjadi sukses 6 jam yang monumental sebagai gerakan bersama—misalnya sirkulasi jurnalisme macam apa yang berlangsung sehingga aksi militer ini bisa tertayang ke dunia luar dengan dampak seperti diharapkan, yakni menjadi amunisi RI dalam diplomasi internasional? Tidak perlu dicurigai terdapatnya klaim sepihak sebab kenyataan bahwa konstruksi sudut pandang dalam komik itu berat pada pengetahuan tim periset semasa kekuasaan Soeharto saja, berkonsekuensi bisa diterima sebagai salah satu sudut pandang.
Sudut pandang yang menentukan
Memang ada adegan Ibu Sudirman menawarkan perhiasan untuk dibawa suaminya, tetapi fakta tentang istri Soeharto yang terlacak sampai pada balon renungan, selain adegan pindah rumah, dan melahirkan putri pertama, jelas sudut pandang berdasarkan peran Letkol Soeharto lebih dominan daripada Jenderal Sudirman. Fakta, sudah ataupun akan terungkap, tidak akan pernah berubah, kecuali datanya keliru—tetapi sudut pandang berbeda terhadap data yang sama membuat makna suatu fakta berubah. Ini membuat komik Merebut
Kota Perjuangan sahih menjadi artefak dalam representasi kepentingan Orde Baru, atau setidaknya Soeharto. Menurut Hasmi dalam Ismono (2019: 130), hasil risetnya menemukan bahwa ide perebutan Yogyakarta datang dari Sultan, yang mendengar jadwal sidang PBB dari radio, tetapi pemesan memberi versi lain.