Defisiensi Peradaban
Dalam satu dekade terakhir, pemusatan kekayaan cenderung kian memprihatinkan. Global Wealth Report 2018 menyebutkan, 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional.
Di tengah euforia Revolusi Industri 4.0 berikut disrupsi yang menyertai, optimisme membuncah dibangun untuk menyongsong masa depan penuh kemajuan.
Namun, menyitir pepatah kuno, dunia alam dan manusia tak membuat lompatan melebihi kodratnya. Peringatan pertama datang dari Anne Booth, Guru Besar Ekonomi SOAS University of London (Kompas, 7/12/2019). Menurut Booth, Indonesia melewatkan dua kali peluang emas mendorong pertumbuhan tinggi ekonomi dan memakmurkan rakyat akibat gagal mengelola berkah kekayaan sumber daya alam.
Peluang itu yang pertama adalah melewatkan bonanza dan rezeki nomplok (windfall profit) dari melonjaknya harga migas dekade 1980-an saat menjadi salah satu negara pengekspor migas terbesar. Kedua, gagal mendulang manfaat besar dari momentum melesatnya volume ekspor dan harga produk ekstraktif di era 1990-an. Pernyataan Booth paralel dengan tesis kutukan sumber daya alam (dutch disease) yang merupakan problem laten Indonesia.
Peringatan kedua, pembangunan yang dihela utang luar negeri untuk investasi infrastruktur dasar dan beraneka ragam subsidi lewat program Revolusi Hijau dan strategi lepas landas 1967-1997 menyisakan kerusakan dan endapan marginalisasi sektor ekonomi rakyat, terutama pertanian, perikanan, dan perkebunan. Liberalisasi pesat berimpit globalisasi kapital meminggirkan kekuatan ekonomi lokal dan pengurasan sumber daya alam. Akumulasinya terlihat dari ketimpangan penguasaan aset dan struktur ekonomi kini.
Dalam satu dekade terakhir, pemusatan kekayaan cenderung kian memprihatinkan. Global Wealth Report 2018 menyebutkan, 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada 2017. Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan nasional. Posisi Indonesia pada 2018 terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India. Sekitar dua pertiga kekayaan orang terkaya Indonesia berasal dari sektor kroni. Indeks crony capitalism Indonesia di urutan ke-7 terburuk di dunia. Peringkat ini terus memburuk dari ke-18 pada 2010 dan ke-8 pada 2014.
Global Wealth Report 2018 menyebutkan, 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada 2017. Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan nasional.
Seluruh pengalaman empiris itu memberi pelajaran penting, yaitu melekatnya struktur dan kultur korup dalam bangun politik-ekonomi. Berbagai kebijakan stimulus dan afirmasi selain mengingkari realitas itu belum menjejak hakikat persoalan, terutama menyangkut pemahaman basis struktur produksi, penjaminan, pemihakan, dan pendampingan. Tak berkembangnya koperasi merupakan bagian dari kelemahan itu.
Struktur dan kultur
Apakah peluang emas ketiga berupa bonus demografi kelak bakal mengantarkan kemajuan atau kembali mengulang kegagalan? Bagaimana peta jalan menciptakan ”generasi emas” 1-2 dekade mendatang ketika jumlah penduduk usia produktif mencapai titik optimum? Sekurang-kurangnya perlu tiga prioritas untuk menyongsong ledakan penduduk usia produktif.
Pertama, merujuk hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) dari OECD 2018 yang meriset 600.000 anak usia 15 tahun di 79 negara, skor pelajar kita merosot dalam tiga kompetensi utama, yakni membaca (literasi), penguasaan matematika, dan sains.
Rata-rata skor dunia untuk literasi 487, matematika 489, dan sains 498. Skor penguasaan siswa Indonesia, literasi 371 (peringkat ke-74), matematika 379 (peringkat ke-73), dan sains 391 (peringkat ke-71).
Sejak 1947 kurikulum pendidikan dasar telah berganti 11 kali, tetapi tak cukup terdapat kemajuan berarti untuk menguasai syarat utama ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Perubahan kurikulum ditantang memastikan itu tak terulang lagi, apalagi jika mimpi besarnya melakukan ”lompatan” ke depan.
Kedua, menyemai generasi emas perlu perencanaan matang dan terukur. Faktanya, pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak tak berada dalam kontrol pemerintah, mayoritas dikelola swadaya oleh masyarakat sehingga sukar menakar kualitasnya.
Dihubungkan dengan tingginya angka kematian ibu melahirkan dan tengkes, skema perbaikan kualitas tumbuh-kembang anak balita seharusnya menggunakan pendekatan dan program terpadu.
Ketiga, puskesmas difungsikan sebagai pangkalan pertama dan utama sistem deteksi dini kualitas gizi dan kesehatan rakyat. Tiba waktunya puskesmas dilengkapi dokter spesialis penyuluhan untuk diseminasi pola hidup sehat dan mencegah aneka penyakit katastropik yang terbukti menggerus anggaran jaminan kesehatan. Perbaikan sistem dan tata kelola BPJS Kesehatan mendesak diintegrasikan dengan strategi tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, saat ini terdapat 121 juta generasi milenial berusia 15-34 tahun. Intensi terhadap golongan usia ini dan generasi yang akan datang membutuhkan langkah konkret dan segera dengan pengenalan kebutuhan secara saksama dan resep kebijakan tepat. Pentingnya menumbuhkan kecerdasan kognitif di era digital termasuk dalam kebutuhan ini.
Data Badan Pusat Statistik, saat ini terdapat 121 juta generasi milenial berusia 15-34 tahun. Intensi terhadap golongan usia ini dan generasi yang akan datang membutuhkan langkah konkret dan segera dengan pengenalan kebutuhan secara saksama dan resep kebijakan tepat.
Restorasi struktur dan kultur dalam bangun ekonomi-politik mensyaratkan kejujuran, keterbukaan, dan kehendak politik kuat. Ketimpangan dan ketertinggalan sebagai konsekuensi dan kontinum praktik politik-ekonomi tak sehat membutuhkan lebih dari sejumlah instrumen penggerak pertumbuhan, seperti deregulasi, peningkatan investasi, pengadaan infrastruktur, dan reformasi birokrasi. Kesempatan memanfaatkan peluang secara adil hanya berlaku dalam kondisi relatif setara.
Ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang berasal dari kesenjangan kepemilikan aset fisik, akses modal, dan sumber daya manusia jelas tidak tepat guna dipecahkan lewat afirmasi ekonomi dan subsidi belaka. Apalagi, indeks kemiskinan multidimensi tahun 2019 tercatat 7,0 persen. Artinya, masih ada 16,6 juta rakyat yang tergolong dalam kategori kemiskinan multidimensi.
Struktur pendapatan domestik bruto yang didominasi sektor non-tradable (jasa-jasa) masih dibayangi keterbatasan serapan tenaga kerja karena kekurangan kualifikasi sumber daya manusia unggul dan mayoritas bersifat informal. Sektor informal tak dapat diandalkan untuk menggenjot penerimaan negara dari pajak. Penyerapan dan distribusi tenaga kerja yang tak sejajar dengan peningkatan pajak dan rawan guncangan krisis butuh kebijakan dan antisipasi tepat.
Seturut itu, reformasi birokrasi tak cukup berkutat di perampingan struktur dan memperbanyak penugasan fungsional. Jauh lebih penting mentransformasikan basis kinerja yang bertumpu pada serapan anggaran dan realisasi program ke aspek manfaat yang benar-benar memberi efek stimulan bagi tumbuhnya aneka kegiatan ekonomi masyarakat. Penajaman fokus alokasi APBN dan reformasi birokrasi semestinya mengejawantah pada sistem audit outcome yang kompatibel satu sama lain.
Defisiensi peradaban
Oligarki ekonomi-politik yang kian mewarnai lanskap demokrasi dapat menghambat kemajuan. Sirkulasi elite kian diwarnai irisan penguasa-pengusaha. Sebanyak 262 anggota DPR 2019-2024 berlatar belakang politikus pebisnis yang berafiliasi dengan 1.016 korporasi (Tempo, 2/10). Sebagian lain merupakan kerabat elite partai dan kepala daerah. Ratusan kepala daerah dan wakil rakyat yang terjerat korupsi pada umumnya ”bermain” dalam pengadaan barang dan jasa bersama kroninya.
Oligarki ekonomi-politik yang kian mewarnai lanskap demokrasi dapat menghambat kemajuan. Sirkulasi elite kian diwarnai irisan penguasa-pengusaha.
Krisis demokrasi dapat dikenali dari empat hal, yaitu partai menjamur, tetapi produksi pemimpin gersang; wakil rakyat krisis legitimasi, perselingkuhan parpol marak, dan oligarki mewabah. Riset Litbang Kompas (23/9) menyoroti penilaian publik terhadap DPR dengan kesimpulan: mayoritas tak aspiratif, citra buruk, tak menggubris masukan rakyat dalam membuat UU, dan lebih memihak kepentingan parpol. Demokrasi sebagai representasi kedaulatan rakyat menjamin kehendak warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan melalui pemilu dan relasi setara dengan parpol dan institusi demokrasi. Ia juga harus memastikan aspirasi publik tersalur untuk mengontrol penyelenggaraan negara sebagai wujud tegaknya kebebasan sipil dan deliberasi publik.
Sistem yang tak adaptif dan responsif menyambut denyut perubahan akibat berjangkitnya kultur permisif dan bekerjanya tentakel oligarki berpotensi mengacaukan semua ekspektasi kemajuan. Tahun 1966, Bung Hatta mengingatkan, partai berfungsi mendidik rakyat untuk menginsafi tanggung jawabnya atas keselamatan bersama sebagai bangsa.
Hari ini kita menyaksikan partai alpa atas peran esensialnya itu dan lebih sibuk berebut kekuasaan, bahkan dengan memperdagangkan isu identitas eksklusif. Kita perlu mengakui adanya defisiensi peradaban karena defisit tata kelola bernegara yang bersendikan etika, nilai-nilai, dan integritas. Hulu semuanya adalah pendidikan yang tak menumbuhkan kecerdasan akal budi, sistem politik yang permisif terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kelemahan merawat tenunan persatuan dan kebangsaan. Revolusi Industri 4.0 jelas bukan sejenis panasea untuk mengatasi defisiensi peradaban sekaligus menawarkan masa depan gemilang. Ia tak berada dalam ruang vakum dialektika sejarah. Ia membawa hanya pada dua kemungkinan, yakni melenting ke era kemajuan pesat atau sebaliknya membuat kerusakan lebih dalam.
Krisis demokrasi dapat dikenali dari empat hal, yaitu partai menjamur, tetapi produksi pemimpin gersang; wakil rakyat krisis legitimasi, perselingkuhan parpol marak, dan oligarki mewabah.
(SUWIDI TONO, Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”)