Diinformasikan bahwa masyarakat yang ingin mendapatkan layanan propetis harus menghafalkan Surat Ar-Rahman, bisa dicicil per-10 ayat setiap pertemuan.
Muncul pertanyaan, bagaimana dengan masyarakat non-Muslim yang ingin mendapat layanan tersebut?
Yang terhormat Bapak Kapolri Idham Azis, kiranya berkenan menerima masukan saya, rakyat biasa. Polri adalah institusi negara, sebagaimana diatur dalam UU Polri tahun 2002 dengan tugas pokok memberikan pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat, bukan kepada golongan dan atau agama tertentu.
Alangkah baiknya apabila Polri menghapuskan prasyarat yang, menurut saya, mengarah pada diskriminasi/SARA. Polri adalah milik seluruh rakyat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Semoga rasa cinta dan memiliki masyarakat terhadap Polri semakin terbangun.
Nico, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Pembiaran Pelanggaran
Saya membantu keluarga di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, secara pro-bono. Di depan rumahnya tiba-tiba didirikan bangunan serbaguna. Bangunan dua lantai itu dibangun persis di depan rumah sepanjang dan menempel pagar. Bagian bawah untuk parkir warga yang tidak punya garasi sehingga menutup akses masuk rumah.
Saya guru besar perencanaan kota. Disertasi S-3 saya tentang perizinan dari University of Queensland, Australia. Saya anggota tim di Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB yang memberikan pelatihan peraturan zonasi (pengendalian pembangunan) di seluruh Indonesia.
Rumah itu warisan almarhum kakek saya, ditinggali oleh tante (adik ibu) yang saat ini berusia sekitar 85 tahun dan tidak dalam kondisi sehat. Ia janda cerai mati tanpa anak, sering berobat ke Jakarta.
Upaya dialog sudah berlangsung lebih dari dua tahun, termasuk mengirim pesan singkat (SMS) ke Wali Kota Bukittingi dan Wakilnya. Karena tidak direspons, saya menulis di situs lapor.go.id yang katanya dalam pengawasan kantor presiden, 4 September 2017, tracking ID #1856944, berjudul ”Bangunan Tanpa IMB di Kota Bukittinggi”.
Karena tidak juga ada respons—kronologis bisa dibaca dan saya terus mengirim up date di situs itu—saya akhirnya melaporkan ke Ombudsman Pusat, 12 Februari 2018. Respons sangat cepat.
Hari itu juga saya dimintai kelengkapan administrasi (fotokopi KTP dan sebagainya). Kelengkapan saya kirim 13 Februari 2018. Kemudian dijawab, laporan saya akan diproses oleh Ombudsman Sumbar (karena lokasi di Bukittinggi). Dua komisioner Ombudsman Pusat ditugasi mengawal itu. Apresiasi saya yang luar biasa karena laporan saya ditindaklanjuti sangat cepat tanpa harus ke Jakarta.
Proses kemudian berjalan dengan beberapa surat dari Ombudsman Sumbar, termasuk memfasilitasi diskusi bersama Wali Kota Bukittinggi dan kepala dinas terkait pada 4 Oktober 2018. Namun, Wali Kota Bukittinggi tidak hadir sehingga tidak ada titik temu.
Survei lapangan dan pengukuran bersama Ombudsman Sumbar jelas sekali menunjukkan pelanggaran izin merapat (istilah dalam perda IMB). Garis lurus tegak dari atap terluar, jatuh pada pagar rumah tersebut. Menurut ketentuan perda IMB, izin merapat tidak diperlukan jika jarak bangunan dari pagar lebih dari 1,5 meter.
Surat terakhir dari Ombudsman Sumbar, 17 Juni 2019, dengan tembusan ke Ketua Ombudsman RI di Jakarta, menyatakan dari 3 item yang mereka analisis, ada 2 item yang mala-administrasi, yaitu tidak memberikan pelayanan pada tahap pengawasan awal dan pada tahap pengawasan lanjutan pembangunan. Tahap penerbitan IMB gedung serbaguna di Jalan Merapi, Kompleks PU, Kelurahan Puhun Tembok, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, Kota Bukitinggi, tidak ada masalah.
Saya keberatan dan protes keras karena proses penerbitan IMB dianggap tak mala-administrasi. Proses penerbitan IMB adalah prosedur administrasi yang harus memenuhi kelengkapan dan syarat yang sudah ditetapkan, dalam hal ini Perda Kota Bukittinggi. Di situ diatur mulai persyaratan, izin tetangga, dan sebagainya. Semua itu tidak dilakukan.
Prof Roos Akbar PhD
ITB, Bandung