Deklarasi Djuanda di Abad 21
Terkait cita-cita mencapai kemakmuran dengan pemanfaatan SDA Indonesia yang luar biasa, nampaknya penting untuk mensosialisasikan implikasi Deklarasi Djuanda dan tantangannya pada era yang baru kepada masyarakat luas.
Pada 60 tahun lalu, terjadi peristiwa penting di Indonesia yang dicatat dalam sejarah hukum internasional.
Perdana menteri kala itu, Djuanda (yang namanya diabadikan sebagai nama jalan paling penting di Bandung), memprakarsai sebuah deklarasi yang menggegerkan dunia: ”Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.
Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
Deklarasi ini menjungkirbalikkan pemahaman masyarakat dunia mengenai kesepakatan batas laut. Dalam konteks bangsa Indonesia deklarasi Djuanda menjadi tonggak penting setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 dalam meneguhkan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Deklarasi ini menjungkirbalikkan pemahaman masyarakat dunia mengenai kesepakatan batas laut.
Kepeloporan Indonesia
Deklarasi Djuanda memberikan weltanschauung (worldview) yang sama sekali berbeda di mana konsep negara kepulauan (archipelagic state) kemudian dikenalkan untuk pertama kali.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957 menyatakan: (1) Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, (2) Bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan, (3) Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan: (1) Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat, (2) Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan, (3) Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Deklarasi Djuanda menyebut wilayah laut adalah 12 mil diukur dari garis pantai. Esensi dari deklarasi ini adalah semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tak memandang luas atau lebarnya adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.
Deklarasi ini kemudian dikuatkan menjadi UU No 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Implikasinya luas wilayah Republik Indonesia naik 2,5 kali lipat dari 2.027.087 kilometer persegi (km2) menjadi 5.193.250 km2 dengan pengecualian Irian Jaya yang walau merupakan bagian dari wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum mendapat pengakuan secara internasional.
Menarik untuk membuat catatan bahwa dunia internasional, terutama Belanda, tentu saja tidak menerima begitu saja esensi dan spirit dari deklarasi tersebut.
Indonesia perlu melakukan perjuangan diplomasi selama 25 tahun, sebelum akhirnya dunia internasional, melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) ketiga, secara resmi mengakui keberadaan negara-negara yang dikenal sebagai negara kepulauan.
Setelah perjuangan panjang, dalam hal ini Indonesia tak hanya mencapai tujuan diplomatik untuk memperoleh pengakuan internasional atas klaim kedaulatannya tetapi sekaligus juga menjadi pelopor dan inisiator dari konsep negara kepulauan yang memberi jalan bagi negara kepulauan yang lain (Filipina, Mauritania, Fiji dan lain-lain) untuk memperoleh pengakuan yang sama.
Dalam peluncuran dan diskusi buku karya Saswinadi Sasmojo Deklarasi Djuanda: Makna dan Implikasinya dalam Berteknologi dan Berindustri pada 12 Desember 2019, Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009), mencatat bahwa kepeloporan Indonesia dalam mengubah hukum laut supaya berkeadilan merupakan kelanjutan dari kepeloporan Indonesia dalam menyatakan konsep kemerdekaan pada 1945: "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Pernyataan tegas yang membuka jalan dan menginspirasi bangsa-bangsa lain di dunia untuk memerdekakan dirinya.
Tantangan abad 21
Abad 21 ditandai perubahan cepat di berbagai bidang. Dunia tidak lagi secara kaku (rigid) dikotak-kotak oleh garis batas geografi. Patut kita catat sebuah studi akhir-akhir ini yang diterbitkan majalah MIT Sloan Management Review mengenai teknologi-teknologi utama yang menjadi driving force perubahan lini kehidupan (perdagangan, healthcare, pendidikan, transportasi, dan lingkungan). Semua teknologi itu dicirikan oleh tiga hal: kecerdasan (intelligence), antar-muka alami (natural interface), dan ubikuitas (ubiquity).
Abad 21 ditandai perubahan cepat di berbagai bidang. Dunia tidak lagi secara kaku (rigid) dikotak-kotak oleh garis batas geografi.
Dunia beroperasi dengan cara yang sama sekali baru dengan ketiga ciri itu. Bagaimana implikasi perubahan ini terhadap keberhasilan diplomasi Indonesia dalam memperjuangkan kewilayahan dan kedaulatannya yang telah diperoleh dengan susah payah di masa lampau? Saat artikel ini ditulis sedang terjadi konflik antara China dan RI di kepulauan Natuna.
Pemerintah sudah tepat ketika mengisyaratkan tak ada kompromi mengenai pelanggaran wilayah RI. Indonesia juga hendaknya tak menerima ajakan China untuk menyelesaikan perselisihan secara bilateral. Hal ini karena China tak mengakui ZEE Indonesia di Natuna.
Dalam hubungan ini patut dicatat bahwa sengketa di Natuna adalah bagian dari masalah antarbangsa yang kasat mata. Dalam abad ini, percepatan perkembangan teknologi menuntut kita untuk juga melihat bahwa batas-batas geografi yang sah tidak seluruhnya menjamin terlindunginya sumber daya yang ada di dalamnya.
Apakah artinya batas-batas geografi bila data, informasi dan sumber daya dengan kecanggihan teknologi negara lain bisa mengalir keluar, sering tanpa atau di luar kendali kita?
Dalam konteks kelautan, lembaga riset atmosfer dan kelautan AS, NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) meluncurkan ratusan floats (drone laut) sejak tahun 2000 di seluruh penjuru laut dunia. Per hari ini ada 3.864 floats yang beroperasi dalam program bernama Argo, di mana sebagian berada dalam perairan laut Indonesia.
Per hari ini ada 3.864 floats yang beroperasi dalam program bernama Argo, di mana sebagian berada dalam perairan laut Indonesia.
Float yang secara fisik berbentuk seperti buoy ini secara standar merekam data temperatur dan salinitas. Namun demikian juga ada beberapa tipe yang membawa sensor biogeokimia. Apakah probe yang sebagian beroperasi di laut kita melanggar hukum laut Indonesia? Bagaimana dengan negara-negara lain karena drone ini tersebar secara merata di laut dunia dengan interval setiap 3 derajat (atau setara dengan jarak 300 kilometer)?
Mengantisipasi masalah hukum, Amerika dengan sangat pintar membungkus program ini sebagai misi saintifik untuk memprediksi perilaku cuaca global dari data laut.
Selain itu telah dibentuk konsorsium global dengan anggota utama hampir semua negara maju dunia. Dalam konsorsium ini masing-masing negara bahkan menyumbang floaters yang dioperasikan di berbagai wilayah dunia: Australia (331), Perancis(276), Jepang (215), Inggris (162), India(139), Kanada (97), China (75), Korea Selatan (36).
Secara formal memang disebutkan di dalam laman web konsorsium, Argo adalah program global untuk memetakan perilaku laut untuk kemaslahatan bersama. Namun apakah murni seperti itu?
Sebagai contoh, bila migrasi ikan atau biota laut berharga merupakan fungsi dari temperatur dan salinitas bukankah program itu sekaligus memetakan potensi dan pergerakan sumber daya laut? Terlebih lagi tentu saja ada potensi teknologi fish attractor yang bisa diimplementasikan untuk menggiring ikan keluar dari wilayah Indonesia untuk kemudian secara legal ditangkap.
Data Argo jelas bisa digunakan untuk validasi model laut. Dalam konteks aplikasi militer, misalnya bisa digunakan untuk membantu memetakan jalur lintasan kapal selam. Bagaimana Indonesia menempatkan diri dalam konstelasi tantangan ini? Pelajaran apa yang bisa kita petik dari hegemoni teknologi yang beroperasi secara subtil seperti ini?
Modal manusia dan penguasaan teknologi
Abad 21 telah memberikan banyak kemudahan namun sekaligus juga tantangan dalam berbagai bidang. Pada masa tak lama sesudah Indonesia merdeka, presiden AS waktu itu menyebut Indonesia sebagai negara terkaya ketiga di dunia dari sisi sumber daya alam (SDA) yang dipunyai.
Terkait dengan cita-cita untuk mencapai kemakmuran dengan pemanfaatan SDA Indonesia yang luar biasa, nampaknya penting untuk mensosialisasikan implikasi Deklarasi Djuanda dan tantangannya pada era yang baru kepada masyarakat luas. Sosialisasi dan pengomunikasian konsep tersebut penting untuk menumbuhkan kesadaran akan permasalahan yang dihadapi.
Pencapaian diplomatis yang luar biasa bisa menjadi tak berarti bila tak dibarengi kemampuan untuk mengembangkan modal manusia dan menguasai teknologi yang bisa mengamankan sumber daya yang terkandung dalam wilayah darat, laut dan udara Indonesia. Dengan demikian saat ini diperlukan akselerasi penguasaan teknologi yang terkait dengan pemetaan potensi dan pemanfaatan SDA di Tanah Air.
Sosialisasi dan pengomunikasian konsep tersebut penting untuk menumbuhkan kesadaran akan permasalahan yang dihadapi.
Para Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers) RI telah dengan sangat visioner dan gigih memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam kancah internasional. Visi dari PM Djuanda yang kemudian diimplementasikan dengan pendekatan policy-oriented yang digunakan Moechtar Koesoemaatmadja adalah bukti autentik kecakapan dan kreativitas para tokoh terkait dalam memaknai hukum bukan sebagai sesuatu yang immutable tapi bisa diubah sesuai asas keadilan dan kebutuhan masyarakat yang dinamis.
Bangsa Indonesia perlu mewarisi sikap kepejuangan para pendahulu dan spirit inovatif dalam mencari solusi dari pelbagai masalah bangsa saat ini.
(Agus Budiyono, Alumni Department of Aeronautics and Astronautics MIT, Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie)