Meremajakan Birokrasi Kita
Hakekat peremajaan birokrasi bukanlah soal teknis, melainkan cara pandang (mindset) di kalangan pegawai pemerintahan itu sendiri.
Salah satu agenda penting pemerintahan Jokowi- Ma\'ruf Amin adalah menyederhanakan regulasi dan birokrasi dalam sistem pemerintahan.
Agenda lain yang juga menjadi prioritas adalah melanjutkan pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, menarik investasi, dan transformasi ekonomi.
Dalam konteks debirokratisasi, Presiden Jokowi sudah bertekad menyederhanakan sistem eselon dalam birokrasi dengan memangkas struktur birokrasi pemerintahan menjadi dua tingkat atau eselon saja.
Rencana tersebut sudah pasti menimbulkan pro dan kontra. Seperti biasa, dalam polemik semacam ini, kebanyakan perhatian tertuju pada kontroversinya, bukan substansi persoalan. Padahal, bagi mereka yang mendalami seluk-beluk reformasi birokrasi, persoalan kuncinya adalah bagaimana mereformasi birokrasi kita.
Padahal, bagi mereka yang mendalami seluk-beluk reformasi birokrasi, persoalan kuncinya adalah bagaimana mereformasi birokrasi kita.
Saat ini, sistem pemerintahan di Indonesia dijalankan oleh sekitar 4,28 juta aparatur sipil negara (ASN) yang tersebar di seluruh pelosok negeri, baik di tingkat pusat maupun daerah. Jumlah ini masih ditopang oleh pegawai tidak tetap, pegawai honorer, pegawai kontrak, dan lain-lain, yang jumlahnya tidak terpetakan secara tepat.
Yang jadi masalah, berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), dari 4,28 juta ASN itu, hampir 40 persen tenaga administrasi. Yang membuat masalah jadi lebih rumit dalam konteks mendorong produktivitas, seperlima dari ASN kita berumur di atas 51 tahun. Umur yang barangkali tidak semua orang mudah diajak berlari atau berubah mengikuti gerak zaman.
Sementara beban biaya pegawai yang harus dikeluarkan negara untuk menghidupkan mesin birokrasi terus meningkat. Pada 2011, biaya itu baru mencapai sekitar Rp 183 triliun. Lima tahun kemudian, pada 2016 angka ini naik dua kali lipat, yakni Rp 347,5 triliun. Jika mengikuti gerak linier data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pada 2021 sekurang-kurangnya kita akan memerlukan Rp 700 triliun untuk membiayai birokrasi kita.
Ada tujuh masalah pokok dalam tubuh birokrasi kita, yaitu rendahnya kompetensi dan timpangnya distribusi pegawai; lemahnya komitmen pemda untuk melakukan reformasi birokrasi; adanya intervensi politik dalam struktur birokrasi di daerah dan pusat; serta kurangnya pengawasan internal dan penegakan hukum di lingkungan birokrasi pusat dan daerah.
Selain itu, ada tumpang tindih fungsi antara struktur birokrasi di pusat dan daerah, pusat dengan pusat, dan antardaerah; minimnya kesadaran dan keterlibatan publik dalam membangun birokrasi yang cakap; serta keruwetan aturan hukum dalam pengelolaan birokrasi.
Yang membuat masalah jadi lebih rumit dalam konteks mendorong produktivitas, seperlima dari ASN kita berumur di atas 51 tahun.
Belum efektif
Mengacu pada Indeks Efektivitas Pemerintahan (Government Effectiveness Index) yang dirilis Bank Dunia 2019, di antara negara-negara ASEAN, Indonesia tertinggal dari Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Singapura memiliki skor indeks 100 (tertinggi), sedangkan Indonesia baru berada di angka 59,1. Kita hanya unggul dari Filipina dan Vietnam dengan skor 53 dan 51.
Jika melihat peta besar ini, reformasi birokrasi yang lebih mendasar adalah keharusan. Apa itu? Peremajaan birokrasi, yakni mereformasi birokrasi agar lebih ramping, lincah, efisien, berkinerja tinggi, cepat berlari layaknya anak muda.
Peremajaan birokrasi sudah jadi keharusan. Apabila birokrasi kita dibiarkan seperti saat ini, bukan saja dalam 5-10 tahun ke depan efektivitas pemerintahan kita akan terlampaui oleh Filipina dan Vietnam, melainkan visi Indonesia Emas 2045 juga tidak akan terwujud.
Meremajakan birokrasi
Dalam Rapat Kabinet Terbatas Januari 2017, Presiden Jokowi memberikan tiga arahan kunci reformasi birokrasi: (1) Memperbaiki distribusi ASN untuk meningkatkan pemerataan dan kualitas layanan publik; (2) Meningkatkan skor Indeks Efektivitas Pemerintahan; (3) Memberantas korupsi dan memperbaiki sistem merit dalam manajemen ASN.
Sejumlah hal kunci itu memang seharusnya dilaksanakan. Pertama, kebijakan zero, atau minus, growth dalam rekrutmen ASN. Esensi kebijakan ini adalah untuk meningkatkan efisiensi belanja pegawai, menurunkan rerata usia ASN secara nasional, dan secara gradual memperbaiki komposisi ASN agar lebih sesuai kebutuhan.
Kedua, kebijakan memperbaiki rekrutmen ASN. Selain memastikan formasi kepegawaian sesuai kebutuhan, buat penerimaan ASN terkomputerisasi. Dengan cara ini, bukan hanya kecurangan bisa dicegah, melainkan juga potensi pungli, korupsi, dan praktik makelar yang jamak dalam rekrutmen sebelumnya bisa dihilangkan.
Esensi kebijakan ini adalah untuk meningkatkan efisiensi belanja pegawai, menurunkan rerata usia ASN secara nasional, dan secara gradual memperbaiki komposisi ASN agar lebih sesuai kebutuhan.
Dalam rekrutmen 2017, sebanyak 2,4 juta pelamar memperebutkan 37.000 posisi PNS. Pada 2018 sebanyak 4.4 juta pelamar memperebutkan 238.000 posisi, baik formasi reguler maupun afirmasi.
Selain kedua kebijakan ini, sudah saatnya dipikirkan lebih serius sejumlah gagasan terobosan yang sebenarnya sudah mulai dibahas meski secara terbatas. Setidaknya ada empat. Satu, golden handshake, yang memungkinkan ASN yang tidak produktif lagi atau sudah tidak mau meneruskan karya di pemerintahan, diminta secara sukarela mengundurkan diri dengan sejumlah pesangon.
Dua, sistem gaji tunggal (single salary), yang memastikan bahwa remunerasi ASN di institusi pemerintahan sama atau setara. Setidaknya, Menteri Keuangan terbuka dengan gagasan ini. Dengan demikian, dimungkinkan, bahkan bisa didorong mobilitas ASN secara horizontal lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, mengingat bahwa mobilitas semacam ini berkontribusi secara positif untuk pengembangan karier dan peningkatan kapasitas ASN, baik secara individual maupun agregat.
Tiga, penilaian kinerja ASN berbasis outcome dan merit yang lebih sesuai dengan perkembangan dan gerak zaman. Sudah saatnya ASN dinilai dari kinerja substantifnya dan bukan semata ketaatan administrasi.
Terakhir, perlunya manajemen talenta untuk ASN. Tidak hanya perlu strategi untuk merekrut anak-anak terbaik bangsa agar bergabung sebagai ASN, lebih perlu lagi mengembangkan kapasitas mereka, dan memastikan karier mereka berkembang maksimal sebagai perangkat birokrasi modern yang dibutuhkan bangsa ini ke depan.
Dua kebijakan dan keempat terobosan di atas adalah gagasan untuk mempercepat proses peremajaan birokrasi kita yang akan mengawal negeri ini memasuki era baru.
Menuju pemerintahan 4.0
Ada empat prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang sebenarnya tecermin dalam parameter Indeks Efektivitas Pemerintahan, yaitu akuntabilitas, partisipasi, aturan hukum, dan transparansi (Rogers et al, 2007)–semuanya dalam konteks pembuatan kebijakan publik.
Empat prinsip inilah yang harus diwujudkan dalam transformasi birokrasi. Pada zaman digital ini penting untuk mengimplementasikannya dalam konteks membangun dan memperkuat sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) atau e-government (e-gov).
Pada zaman digital ini penting untuk mengimplementasikannya dalam konteks membangun dan memperkuat sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) atau e-government (e-gov).
Transformasi digital di pemerintahan bisa menjadi landasan, sekaligus kendaraan besar, untuk melakukan reformasi birokrasi tersebut. Tujuannya agar negara punya kapasitas (state capacity) agar pembuatan kebijakan pembangunan berbasis pada data dan fakta (evidence-based policies) dan agar kualitas layanan publik lebih baik, lebih cepat, lebih murah.
Inilah janji Presiden Jokowi, yaitu membentuk "Pemerintahan Dilan"—pemerintahan digital dan melayani. Inilah jantung peremajaan birokrasi.
Pemerintahan Dilan dengan birokrasi yang lebih luwes dan lincah bisa diwujudkan melalui lima pilar penting sebagai proses bisnis inti dalam pemerintahan: perencanaan (e-planning), penganggaran (e-budgeting), pengadaan barang dan jasa (e-procurement), pembayaran (e-payment), dan pelayanan publik lainnya (e-services).
Kelimanya bertumpu pada landasan terpenting yakni data dan peta tunggal, tepercaya, dan mampu dibagi-pakai lewat kebijakan Satu Data Indonesia dan Satu Peta.
Di sinilah kita bisa melihat bagaimana negeri ini, setidaknya dalam lima tahun terakhir, sudah menyiapkan kerangka transformasi birokrasi melalui digitalisasi. Sekarang tinggal bagaimana melaksanakannya.
Di beberapa negara, langkah untuk mengelola birokrasi sehingga sejalan dengan tujuan atau visi pemimpinnya barangkali dapat menjadi contoh.
Pemerintah Australia dan Selandia Baru menggunakan pendekatan Whole of Government (WoG) dalam pelayanan pemerintahan sehingga seluruh kebijakan dan program bisa diarahkan untuk mengefektifkan sumber daya lingkungan yang terbatas di negara tersebut.
Hasilnya, sistem birokrasi berjalan mengikuti misi, dan bukan bekerja berdasarkan tugas dan fungsi semata-mata. Tugas dan fungsi adalah sarana belaka, yang terpenting adalah visi-misi pemimpinnya.
Di Inggris, transformasi birokrasi di zaman modern ini dilakukan dengan membangun Government Digital Service (GDS) yang mendigitalisasi seluruh layanan untuk warga dan proses dukungan pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan pemerintah.
Hasilnya, warga mendapatkan layanan publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah, serta pemerintah menghasilkan kebijakan dan keputusan terkait pembangunan yang makin akurat dan tepat menyasar kebutuhan warga serta menjawab tantangan yang dihadapi.
Pendekatan apa pun yang akan kita pakai, inti peremajaan birokrasi adalah mengubah paradigma pegawai pemerintah: dari birokrat yang melayani pejabat di atas mereka, menjadi pelayan publik. Hakikatnya peremajaan birokrasi bukanlah soal teknis, melainkan cara pandang (mindset) di kalangan pegawai pemerintahan itu sendiri.
Pendekatan apa pun yang akan kita pakai, inti peremajaan birokrasi adalah mengubah paradigma pegawai pemerintah: dari birokrat yang melayani pejabat di atas mereka menjadi pelayan publik.
(Yanuar Nugroho, Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019)