Impor Migas
Pidato Presiden tentang impor migas yang disampaikan dalam suatu perhelatan partai mengingatkan siapa saja, terutama para politisi, bahwa migas adalah komoditas yang diindungi oleh konstitusi.
Saat memperkenalkan Menteri ESDM baru, Arifin Tasrif, Presiden Jokowi berpesan agar menteri fokus bekerja mengurangi impor migas. Pesan sama diulang kembali saat Presiden memberikan sambutan di acara penutupan kongres Nasdem di JIExpo Kemayoran, bahkan disertai ancaman keras, "Jangan ada yang coba-coba menghalangi saya dalam menyelesaikan masalah yang tadi saya sampaikan, pasti saya akan gigit, dengan cara saya.”
Target reserve replacement ratio (RRR—perbandingan penambahan cadangan terbukti terhadap produksi secara keseluruhan) yang ditetapkan pemerintah sebesar 100 persen hampir selalu meleset. Dengan jumlah kebutuhan yang terus meningkat dengan rasio yang lebih tinggi dari jumlah produksi membuat Indonesia susah keluar dari impor migas.
Gejala kekurangan migas sesungguhnya sudah disadari semenjak Indonesia melewati zaman keemasan migas pada 1990-an.
Sejak 2014 hingga saat ini jumlah produksi minyak bumi 700.000-an barel per hari (bph). Namun, jumlah kebutuhan telah mencapai 1,5 juta bph sehingga masih dibutuhkan impor sekitar 800.000 bph untuk menutup kebutuhan itu.
Defisit transaksi berjalan
Defisit produksi ini akan semakin menekan neraca berjalan, terlebih saat harga migas internasional mengalami kenaikan seperti sekarang ini. Migas adalah komoditas internasional karena semua negara di muka bumi ini membutuhkan pasokan migas.
Transaksi lintas negara itu kemudian menimbulkan saling ketergantungan yang mengakibatkan harga migas juga mengalami fluktuasi sesuai dinamika industri migas global. Akibatnya, tidak ada satu negara pun yang mampu menentukan harga migas sendirian. Pada saat harga tinggi, jumlah yang harus dibayar juga semakin tinggi.
Dari BPS diketahui neraca dagang Indonesia pada April 2019 defisit 2,50 miliar dollar AS. Angka ini berasal dari ekspor pada April 2019 sebesar 12,6 miliar dollar AS dan impor 15,1 miliar dollar AS, terutama impor migas. Karena migas menjadi penyumbang tertinggi defisit transaksi berjalan, sebagai jalan keluar mengatasi masalah pemerintah berniat membatasi impor migas.
Namun, sejatinya impor migas bukanlah faktor yang berdiri sendiri. Mengurangi impor migas tidak mudah pada saat negara sedang giat-giatnya bergerak membangun dan memerlukan pasokan energi yang cukup. Ditambah lagi kegiatan produksi migas adalah kegiatan yang masih bergantung aktor dan faktor luar negeri.
Karena migas menjadi penyumbang tertinggi defisit transaksi berjalan, sebagai jalan keluar mengatasi masalah pemerintah berniat membatasi impor migas.
Membatasi impor migas hanyalah salah satu langkah praktis. Dari dahulu kita sudah mencanangkan slogan “kemandirian energi”, tetapi masih sebatas slogan, belum diikuti langkah-langkah konkret yang konsisten, dilandasi regulasi dan kebijakan yang jelas dan terarah.
Ada beberapa kenyataan yang sedang dihadapi Indonesia dan membutuhkan penanganan yang serius menyangkut sumber energi migas. Pertama, produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan alamiah (natural decline period) mengingat minyak adalah sumber energi yang tak terbarukan.
Jika kita abai mengantisipasi situasi itu dengan penemuan sumur-sumur minyak baru atau beralih ke sumber-sumber energi baru, seperti nuklir, panas bumi, air, angin, surya, biogas, dan sampah, suatu saat yang bisa diperkirakan waktunya, kita akan menghadapi masalah serius berupa krisis energi.
Kedua, permintaan akan minyak dan BBM cenderung terus meningkat seiring peningkatan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Namun, sebaliknya produksi energi terus mengalami penurunan.
Maka, kemandirian energi negara sedang terancam karena Indonesia akan semakin tergantung dari impor sumber energi primer. Untuk menutup kekurangan BBM saat ini Indonesia harus impor dari Singapura, negeri yang tidak memiliki sumber daya alam migas, tetapi mampu menjadi produsen BBM terbesar dunia.
Pesan moralnya, menyedot minyak tanpa ditunjang dengan infrastruktur pengolahan yang memadai akan menimbulkan biaya tinggi dan ketergantungan asing. Seandainya Indonesia sejak semula mampu menggunakan biaya pengembangan secara optimal untuk penemuan sumur-sumur baru dan membangun kilang, masalah impor bisa teratasi.
Ketiga, Indonesia masih memiliki potensi produksi gas alam yang cukup besar. Namun, Indonesia lebih suka mengekspor gas daripada mengonsumsi sendiri. Masalah yang dihadapi masih seputar keterbatasan infrastruktur jaringan gas dan pola pikir masyarakat dan spesifikasi alat-alat produksi yang masih berorientasi BBM. Maka, perlu mendorong penggunaan gas menggantikan BBM untuk kebutuhan energi dalam negeri.
Masalah impor migas bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Untuk mengatasinya harus dimulai dengan membangun tata kelola migas yang kokoh berdasarkan UU Migas baru sebagai acuan.
Pemerintah pernah membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas dan berhasil merumuskan 12 rekomendasi yang mengarah pada terwujudnya kemandirian energi. Setelah sekian lama, pemerintah perlu mengevaluasi apakah rekomendasi tim bentukan Presiden itu sudah dijalankan oleh pihak-pihak terkait secara benar atau hanya dianggap sekadar angin lalu.
Masalah yang dihadapi masih seputar keterbatasan infrastruktur jaringan gas dan pola pikir masyarakat dan spesifikasi alat-alat produksi yang masih berorientasi BBM.
Komoditas konstitusi
Bisnis migas adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan sangat besar sehingga wajar jika migas menjadi incaran para pemburu rente. Mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan keuntungan, termasuk di antaranya melalui kekuatan parpol untuk memengaruhi kebijakan migas.
Dalam suatu kesempatan diskusi di Universitas Indonesia, seorang politisi senior mengungkapkan sinyalemennya bahwa sistem bernegara di Indonesia kian kompetitif karena setiap urusan bergantung pada uang. Money is power, bukan akhlak, bukan kepribadian, bukan attitude, bukan juga ilmu pengetahuan. Above all, money is power (Kompas, 4/8/2019).
Maka, pidato Presiden tentang impor migas yang disampaikan dalam suatu perhelatan partai tepat untuk menjawab sinyalemen itu, sekaligus mengingatkan siapa saja, terutama para politisi, bahwa migas adalah komoditas yang dilindungi oleh konstitusi. Di dalam migas terkandung hajat hidup rakyat, ketahahan energi, dan kedaulatan negara. Karena itu, jangan pernah bermain-main dengan impor migas.
Di dalam migas terkandung hajat hidup rakyat, ketahahan energi, dan kedaulatan negara. Karenanya jangan pernah bermain-main dengan impor migas.
(Junaidi Albab Setiawan, Pemerhati Migas; Advokat)