Harapan di Tahun 2020
Dari empat harapan baru yang membawa optimisme terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 2020 keberadaan UU Omnibus merupakan kunci utama. Jika sukses akan memuluskan dan menuntaskan harapan-harapan berikutnya.
Pidato Presiden Jokowi dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia, Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali, menyisakan pesan moral yang sangat dalam bagi para pengambil keputusan di dunia untuk bersatu dan bersama menyelamatkan dunia dari ancaman depresi global.
Pidato yang jitu, terbukti \'winter is coming\' sudah nyata di hadapan kita semua. Musim dingin makin menusuk sampai ke tulang sumsum perekonomian dan semakin ngilu rasanya.
Tahun 2019 bukanlah tahun yang mudah bagi dunia, termasuk Indonesia. Perang dagang semakin marak dan tak menentu. Inovasi teknologi mengakibatkan banyak industri terguncang dan mengalami disrupsi. Negara-negara yang tengah tumbuh juga sedang mengalami tekanan pasar yang besar. Perlambatan ekonomi terjadi di berbagai penjuru dunia dan sudah jadi pemandangan biasa.
Tahun 2019 bukanlah tahun yang mudah bagi dunia, termasuk Indonesia.
Meningkatnya ketidakpastian
Resesi ekonomi sudah terjadi di beberapa negara (Venezeula, Turki, Argentina) dan bayang-bayang resesi lebih dahsyat makin menghantui dunia. Probabilitas resesi di negara maju meningkat tajam sekitar 1,3-2,3 kali dibanding 2018. Probabilitas resesi AS 33 persen pada November 2019 dari 20 persen tahun 2018. Sementara Jerman dan Jepang lebih tinggi lagi, 40 persen.
Ketidakpastian dunia ini menyebabkan respons kebijakan ekonomi global kian tak pasti. Hal ini tercermin dari nilai indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi global (IKKE) yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tren IKKE meningkat signifikan, setelah krisis ekonomi global 2008/2009. Ketidakpastiannya makin tinggi lagi, saat Trump jadi presiden AS tahun 2017. Secara rata-rata IKKE tahun 1997-2007 tercatat 84, terus naik hampir 1,6 kalinya, menjadi 132 pada 2008-2016. Kemudian berlanjut lagi dan semakin tidak pasti, dengan rata-rata IKKE 211 di periode 2017-2019.
Semakin sulitnya kondisi perekonomian global dalam tiga tahun terakhir ini, terutama dipicu oleh perang dagang AS-China. Kebijakan perdagangan AS sungguh sangat menyedot energi dan menggiring perekonomian dunia kian terpuruk.
Saling bahas pengenaan tarif impor AS dan China, membuat perdagangan dan produksi dunia terganggu dan anjlok. Distorsi kebijakan perdagangan dunia memicu peningkatan ketidakpastian kebijakan perdagangan.
Distorsi kebijakan perdagangan dunia memicu peningkatan ketidakpastian kebijakan perdagangan.
Hal ini terlihat dari indeks ketidakpastian kebijakan perdagangan (IKKP) AS yang melonjak sangat signifikan ke 457 (7,5 kalinya) pada 2017-2019 dari 61 tahun 1997-2016. Begitu pula, IKKP China dari 63 ke 470 (7,4 kalinya) pada periode sama. Tak heran, sekelompok ekonom terkemuka seperti Joseph Stiglitz, Michael Spence, dan pemenang hadiah Nobel ekonomi lainnya menyuarakan hal yang sama.
Kedua negara ekonomi terbesar di dunia, AS dan China, harus segera menghentikan perang dagangnya dan membuat solusi yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Pemenang dan pecundang pasti tak akan ada yang diuntungkan, akan sama-sama menderita dan sia-sia dengan eskalasi kerugian lebih dasyat dan sulit terukur.
Ekonomi dunia dalam tren melambat, kondisi ini semakin berat lagi karena dunia didominasi oleh faktor ketidapastian dari pada unsur kepastiannya. Tak heran, metode prediksi ekonomi (ekonometrika) secanggih apapun terlihat ‘uzur’ dan agak ‘dungu’ karena tidak dapat menangkap fenomena dunia akhir-akhir ini.
Tilik saja prediksi IMF, selalu saja merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, disertai koreksi yang sangat signifikan. Dalam laporan IMF Januari 2019 (World Economy Outlook), pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi 3,5 persen pada 2019.
Namun, tiga kali berturut-turut pertumbuhan ekonomi dunia di revisi ke bawah pada laporan April menjadi 3,3 persen, Juli menjadi 3,2 persen, dan terakhir Oktober 2019 hanya tumbuh 3,0 persen. Ini berarti penurunan yang signifikan dibandingkan prediksi awal tahun.
Tak heran, metode prediksi ekonomi (ekonometrika) secanggih apapun terlihat ‘uzur’ dan agak ‘dungu’ karena tidak dapat menangkap fenomena dunia akhir-akhir ini.
Tekanan kian melambatnya perekonomian global 2019 direspons dengan turunnya suku bunga acuan di berbagai negara. Kondisi yang kontras dibandingkan 2018 yang cenderung menerapkan kebijakan moneter ketat, dimotori AS.
Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya secara agresif 1,00 persen dari 1,50 persen ke 2,50 persen tahun 2018. Ini terpaksa diikuti negara lain untuk mengimbangi kenaikan suku bunga AS, agar tak terjadi arus modal keluar dari negara berkembang ke negara maju (terutama AS).
Era suku bunga rendah di 2019 mengonfirmasi bahwa perekonomian dunia memang berada dalam zona sulit. Dunia membutuhkan kembali stimulus moneter dan fiskal untuk menggairahkan ekonomi yang sedang lesu.
Dengan kondisi 2019 ini, akankah perlambatan ekonomi global berlanjut melambat atau sebaliknya membaik tahun depan? Prediksi IMF menunjukkan bahwa perekonomian dunia pulih, pertumbuhan 2020 akan lebih baik dibandingkan 2019.
Pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan sekitar 3,4 persen dari 3,0 persen 2019, didukung oleh Uni Eropa (UE), ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam), dan India. Sebaliknya AS, Jepang, dan China terus mengalami perlambatan dan terus tertekan perekonomiannya.
Era suku bunga rendah di 2019 mengonfirmasi bahwa perekonomian dunia berada dalam zona sulit.
Rasanya prediksi ekonomi 2020 oleh IMF sulit tercapai karena negara yang biasa jadi langganan motor penggerak perekonomian dunia (China) sedang lesu dan tak bertenaga, termasuk AS. Dua negara ini menyumbang 40 persen terhadap perekonomian dunia 2018: AS sekitar 24 persen dan China 16 persen. Kalau ditambah Jepang 6 persen, maka ketiga negara ini hampir menyumbang separuh roda perekonomian dunia.
Prediksi IMF semakin kurang rasional karena beberapa negara di Eropa seperti Jerman dan Italia mengalami perlambatan signifikan dan terancam resesi. Belum lagi masalah Brexit yang terus mengganjal keluarnya Inggris dari UE.
Oleh karena itu, probabilitas pertumbuhan ekonomi dunia 2020 direvisi ke bawah kembali akan sangat besar, seperti halnya 2019.
Tantangan global masih banyak dan bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu: (1) prospek dicapainya kesepakatan dagang AS-China, (2) pemanfaatan trade diversion, (3) efektivitas stimulus fiskal dan moneter, (4) disrupsi ekonomi, (5) kondisi geopolitik yang tak menentu.
Melihat kondisi ini, kita sebaiknya waspada pertumbuhan ekonomi global akan berlanjut mengalami perlambatan seperti 2019. Tren penurunan suku bunga acuan diperkirakan akan terus berlangsung, walaupun dalam besaran dan kecepatan lebih rendah dibandingkan 2019.
Bukan hanya suku bunga turun, bank sentral di berbagai negara, seperti: AS, UE, dan Jepang juga terus melakukan ekspansi aset neraca bank sentralnya melalui program Quantitative Easing (QE) untuk melawan perlambatan ekonomi yang terjadi.
Suku bunga turun plus QE berarti potensi masuknya arus modal asing dari negara maju ke negara berkembang (termasuk Indonesia) semakin terbuka lebar di 2020. Indonesia sudah merasakan dampak positif hal ini di 2019. Masuknya arus modal asing melalui obligasi dan saham mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia, tercatat Rp 213 triliun per 23 Desember 2019, jauh melebihi tahun 2014 sekitar Rp 179 triliun.
Masuknya arus modal asing melalui obligasi dan saham mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia, tercatat Rp 213 triliun per 23 Desember 2019, jauh melebihi tahun 2014 sekitar Rp 179 triliun.
Kinerja rupiah berbuah manis di akhir 2019, walau ketidakpastian masih menghantui perekonomian global. Akhir 2019, rupiah bisa ditutup di sekitar Rp 14.000/dollar AS, bahkan berpotensi bisa sedikit di bawah Rp 14.000. Ini artinya rupiah mengalami apresiasi dibandingkan Desember 2018 yang tercatat Rp 14.390/dollar AS.
Optimistis
Melihat ini, perekonomian Indonesia di 2020 seharusnya memiliki tambahan oksigen di pasar valasnya. Kalaupun ada tekanan terhadap rupiah, nampaknya relatif terbatas karena rupiah masih akan di dukung oleh masuknya arus modal asing melalui investasi portofolio (obligasi dan saham). Rasanya kita perlu lebih optimistis menyongsong 2020, kita akan merasakan dimensi dan harapan baru dalam perekonomian Indonesia.
Harapan pertama dan terbesar adalah UU Omnibus. Pemerintah menyadari hambatan investasi harus dihilangkan segera di berbagai kementerian dan pemerintah daerah. UU Omnibus terkait penciptaan lapangan kerja dan perpajakan pasti akan membuka kotak pandora yang selama ini menghambat investasi jangka panjang di Indonesia.
Jika ini berhasil disetujui dan disahkan di DPR tahun 2020, peluang masuknya investasi asing melalui FDI (foreign direct investment) akan meningkat signifikan.
Rasanya kita perlu lebih optimistis menyongsong 2020, kita akan merasakan dimensi dan harapan baru dalam perekonomian Indonesia.
Perekonomian Indonesia bisa terlepas secara bertahap dari jerat investasi portofolio, yang biasanya jadi sumber gejolak utama pasar finansial Indonesia ketika ada sentimen negatif di perekonomian global. Dengan UU Omnibus ini seharusnya reformasi struktural perekonomian Indonesia benar-benar terealisasi.
Masalah defisit neraca transaksi berjalan (NTB) yang terjadi sejak kuartal IV-2011, yang menyebabkan rupiah rentan gejolak mendapatkan obat yang manjur yang sifatnya jangka panjang. Bukan dengan cara jangka pendek dan sesaat melalui kenaikan suku bunga acuan BI (BI7DRR) untuk menekan/turunkan defisit NTB.
Harapan kedua, berlanjutnya pembangunan infrastruktur tahap dua yang menyambungkan aktivitas perekonomian pinggiran yang sebelumnya mendapat dampak negatif dari pembangunan infrastruktur tahap pertama. Pembangunan infrastruktur kali ini diharapkan lebih efektif menyambungkan sentra bahan baku dan produksi, serta pemasaran produknya.
Harapan ketiga, program B20 atau B30 benar-benar berjalan efektif, agar mampu menekan defisit minyak yang selama ini menjadi momok bagi neraca transaksi berjalan. Percepatan pemakaian B30 bakal berdampak positif terhadap kemandirian energi nasional dan perkebunan kelapa sawit.
Harapan keempat, mendorong produk industri berorientasi ekspor yang berfokus pada industri prioritas pada peta jalan (roadmap) industri 4.0, yaitu: (1) makanan dan minuman, (2) tekstil dan pakaian, (3) elektronik, (4) otomotif, dan (5) kimia. Kemudian industri lainnya, berbasis SDA dan pariwisata.
Dari keempat harapan itu, kunci utama suksesnya perekonomian Indonesia ada di UU Omnibus. Jika ini sukses maka akan memuluskan dan menuntaskan harapan kedua sampai keempat.
Dari keempat harapan itu, kunci utama suksesnya perekonomian Indonesia ada di UU Omnibus.
Pengalaman, setiap pemerintah dalam meloloskan suatu UU selalu melalui proses politik yang panjang dan menghabiskan energi yang banyak. Oleh karena itu, kita butuh kesadaran nasional tingkat dewa dan hapus ego masing-masing, demi Indonesia yang jauh lebih baik ke depan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terakselerasi sehingga mampu menyerap tambahan tenaga kerja setiap tahun, inflasi akan rendah dan stabil, dan rupiah akan stabil dan menguat ke depannya. Pengusaha Indonesia juga harus siap menyambut ini dengan menyiapkan produk berkualitas dan berdaya saing, serta mandiri secara natural tanpa harus selalu diproteksi oleh pemerintah.
(Anton Hendranata, Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk.)