China sedang membutuhkan akses langsung ke Samudra Hindia, sementara Myanmar tengah memerlukan pendukung kuat di dunia internasional.
Tekanan internasional yang sangat kuat, terutama dari Barat, menghantam Myanmar setelah terjadi pengungsian besar-besaran warga Rohingya pada 2017 dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat. Lebih dari 700.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh, dipicu tindak kekerasan aparat Myanmar. Kasus tersebut disidangkan di Mahkamah Internasional (ICJ) setelah tuntutan dugaan genosida diajukan Gambia. Myanmar membantah telah melakukan upaya sistematis untuk menindas warga Rohingya. Namun, negara itu mengakui operasi keamanan dilakukan untuk memburu kelompok ekstrem di Rakhine.
Setelah menggelar pemilu pada 2015, Myanmar mendapat dukungan Barat. Namun, praktik diskriminasi, utamanya pada etnis minoritas Rohingya, menjadi sumber ketidakcocokan baru antara Barat dan Myanmar. Puncaknya terjadi pada 2017 ketika ratusan ribu warga Rohingya mengungsi.
China dikenal mendukung Myanmar saat kritik dan tekanan internasional bertubi-tubi mendera negara itu gara-gara kasus Rohingya. Pernyataan dukungan ini pun disampaikan Presiden China Xi Jinping ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke ibu kota Myanmar, Naypyidaw, Jumat-Sabtu pekan lalu. Saat itu, Xi bertemu Presiden Myanmar U Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi.
Kedatangan Xi ke Naypyidaw membawa lebih dari 30 perjanjian kerja sama. Salah satunya ialah kerja sama pengembangan koridor ekonomi China-Myanmar sepanjang 1.700 kilometer yang menghubungkan Yunan di China dengan Teluk Benggala. Jalur itu menjadi akses penting bagi China ke Samudra Hindia, dan memangkas jalur suplai gas serta minyak dari Timur Tengah, yang selama ini dibawa dengan tanker melintasi Selat Malaka dan Laut China Selatan.
Namun, upaya China mendanai besar-besaran berbagai proyek di Myanmar dilaporkan menghadapi kritik dari sebagian warga Myanmar. Salah satunya menyebutkan, investasi China tak menguntungkan rakyat kebanyakan.
Seperti kita ketahui, saat ini China juga mengklaim sebagian besar Laut China Selatan sebagai wilayahnya. Hal ini menyebabkan sengketa wilayah terjadi antara China dan empat negara ASEAN, salah satunya Filipina. Sementara itu, China pun mengklaim sebagian zona ekonomi eksklusif Indonesia sebagai area penangkapan ikan tradisional nelayannya.
Negara-negara lain tentu mencermati perkembangan kerja sama Myanmar dengan China. Keberadaan pelabuhan laut dalam di Myanmar barat, yang merupakan ujung koridor ekonomi China-Myanmar, memberikan akses langsung China ke Teluk Benggala dan selanjutnya ke Samudra Hindia. Hal ini mencerminkan wajah persaingan geopolitik yang akan berlangsung di area yang membentang dari Samudra Hindia hingga Pasifik.