Gagap di Awal Periode
Matinya KPK adalah gabungan antara sistem yang berantakan akibat UU revisi serta organ internal, baik komisioner maupun Dewas KPK yang bermasalah. Satu variabel sudah terlihat jelas dan sulit terbantahkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi memasuki era baru, ditandai oleh hadirnya konstruksi KPK yang baru dan UU KPK yang telah direvisi.
Lembaga ini langsung terlihat tersendat di awal langkah. Begitulah setidaknya jika diukur dari bagaimana KPK berhadapan dengan kasus suap salah seorang komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPK).
Yang paling menarik untuk disoroti adalah berubahnya wajah sistem kerja KPK, dengan UU yang baru hasil revisi. Tentu yang dimaksud bukan sekadar bunyi UU, tetapi konstelasi kehadirannya. Dan kehadiran ini dimotori oleh semua partai secara aklamasi, baik partai pendukung penguasa maupun oposisi.
Membingungkan
Di tulisan “Politik Hukum Antikorupsi” (Kompas, 23/9/2019) sudah saya tuliskan tentang tanggung jawab politik hukum DPR dan Presiden untuk proses legislasi yang buruk tersebut. Tanggung jawab yang seharusnya hadir, sayangnya justru absen. Presiden tak bisa bersembunyi di balik “tekanan partai” atau bahasa sejenisnya, karena legislasi merupakan kerja bersama dan Presiden sudah berjanji untuk menguatkan program pemberantasan korupsi.
Oleh karena itu, lebih menarik melihat konstelasi dan konsepsi UU. Pertama, dalam dua kejadian awal operasi tangkap tangan (OTT) KPK, terlihat kerja KPK berada di wilayah transisi yang tak terjamah oleh UU No 19 Tahun 2019, yakni UU KPK yang baru hasil revisi. Sejak disahkan 17 Oktober 2019 hingga pelantikan para komisioner baru dan dewan pengawas (dewas) KPK pilihan Presiden Jokowi pada 20 Desember 2019, tidak pernah jelas kerja KPK harus menggunakan undang-undang yang mana.
Sejak disahkan 17 Oktober 2019 hingga pelantikan para komisioner baru dan dewan pengawas (dewas) KPK pilihan Presiden Jokowi pada 20 Desember 2019, tidak pernah jelas kerja KPK harus menggunakan undang-undang yang mana.
Lihat saja bunyi Pasal 69D UU KPK, “Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah”. Artinya seluruh tugas dan kewenangan yang mengiringi tugas itu harus dikerjakan dengan UU yang lama, belum menggunakan UU hasil revisi, termasuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Tetapi Pasal 70C menyatakan “Pada saat UU ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU ini”.
Ini membingungkan. Di masa antara saat UU telah berlaku, tetapi Dewas KPK belum dilantik, UU mana yang harus berlaku? Dua pasal di atas berseberangan secara diametral, karena memiliki mekanisme yang amat jauh berbeda di banyak hal. Akan tetapi, pemerintah dan DPR terkesan tenang-tenang saja dan menganggap itu bukan masalah.
Aturan transisi yang amat keliru itu diperparah dengan tidak adanya aturan yang lebih teknis untuk masa transisi itu. Seakan-akan itu hanya masalah buat KPK saja.
Itulah sebabnya KPK “berijtihad” menggunakan UU lama sampai ke proses-proses yang berimplikasi ke penanganan perkara setelah UU mulai berlaku pada 20 Desember 2019. Padahal, itu sangat berbahaya, karena tindakan pro justicia, apalagi di paradigma due process of law, amat kental dengan kewajiban untuk menjaminkan hak-hak terperiksa dan tersangka.
Kedua, setelah dewas KPK dilantik, maka problem masih jauh dari selesai. UU KPK hasil revisi memberikan corak delegatif yang cukup banyak, tetapi juga tak jelas. Misalnya, tentang bagaimana pola kerja antara komisioner KPK dan dewas KPK.
Dua pasal di atas berseberangan secara diametral, karena memiliki mekanisme yang amat jauh berbeda di banyak hal.
Pasal 37B memerinci tugas dewas KPK, mulai dari mengawasi; sebagai pemberi izin atas tindakan penyadapan, penggeledahan dan/atau penyuapan; menindaklanjuti pelanggaran kode etik komisioner KPK; menyidangkan pelanggaran tersebut; hingga melakukan evaluasi.
Ada aturan agak berbau teknis di Pasal 12B dan Pasal 47 terkhusus untuk penggeledahan, penyitaan dan penyadapan, tetapi itu jauh dari kesan memadai. Ada banyak pertanyaan, misalnya apabila dewas KPK menolak permintaan izin, apakah disertai alasan atau tidak?
Jika alasan penolakan sudah diperbaiki untuk dimintakan lagi, apakah bisa? Bahkan bisa lebih dikembangkan, izin tertulis itu apakah harus dalam bentuk surat cetak? Bagaimana jika elektronik? Pengambilan keputusan untuk memberikan izin apakah harus dengan kehadiran semua anggota dewas KPK atau bisa dengan model sirkuler?
Pertanyaan itu makin bisa diperpanjang jika dikaitkan dengan kewenangan dewas KPK lainnya, selain hanya soal perizinan. UU tidak mengaturnya dan belum nampak pengaturan lanjutnya. Yang kelihatan mau digeber malah alih status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Maka, pertanyaan paling menarik adalah relasi tersebut akan diatur di mana?
UU tidak mengatur delegasinya dengan jelas. Karena jika dibaca, ketentuan lanjutan ini akan diatur dengan peraturan presiden (perpres) hanya untuk dua hal, soal organ pelaksana dewas KPK (Pasal 37C Ayat 2) dan tata cara pengangkatan ketua dan anggota dewas (Pasal 37E Ayat 11).
Yang kelihatan mau digeber malah alih status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Maka, relasi antara dewas KPK dan komisioner KPK akan diatur di mana? Logika hukum memberikan tiga kemungkinan: (1) peraturan pemerintah (PP), oleh karena merupakan produk hukum untuk mengatur berjalannya UU sebagaimana mestinya, meskipun tidak diperintahkan secara langsung oleh UU; (2) peraturan KPK, yang ini melekat ke KPK sebagai lembaga yang memiliki konsep self regulatory body; (3) peraturan dewas KPK, ini jika diasumsikan bahwa dewas KPK bisa membuat pengaturan tersendiri. Soal bisa atau tidaknya dewas KPK membuat aturan ini juga bisa mendatangkan perdebatan hukum yang tidak sederhana.
Jika PP, artinya menunggu PP itu harus diterbitkan oleh pemerintah dan ini berarti waktu menunggu akan ada. Sementara, memberikan ke dewas KPK atau dengan peraturan KPK yang dibuat oleh komisioner, bisa mengakibatkan tensi yang tidak sederhana akibat relasi Dewas dan komisioner sebagai pihak pengawas dan pihak yang diawasi.
Harus diingat, dewas KPK ini dilahirkan karena alasan pembentuk UU adalah untuk menghindari penumpukan kewenangan pada komisioner. Tetapi, dengan melakukan itu, berarti menciptakan “matahari kembar” di internal KPK. Di mana pun, logika pemisahan kekuasaan itu sering kali berujung pada pertarungan antara kuasa yang terpisah.
Tentu tak serupa, tetapi coba bayangkan jika tak ada aturan soal relasi antara presiden dan DPR dalam menjalankan fungsi pemerintahan dalam sistem presidensial? Apakah mungkin berjalan? Alih-alih berjalan, pertarunganlah yang akan terjadi. Pertarungan ini akibat ekses dari bagaimana merelasikan keduanya. Dan hebatnya, itulah yang tidak diatur di UU bagaimana konsepnya.
Petaka yang diakibatkan oleh revisi UU KPK tidak berhenti hanya sampai di situ, apalagi jika dikaitkan dengan berbagai hal lain seperti soal independensi, peralihan status kepegawaian menjadi ASN, ketiadaan status komisioner KPK sebagai penyidik dan penuntut dalam perkara korupsi dan berbagai hal lain.
Pertarungan ini akibat ekses dari bagaimana merelasikan keduanya. Dan hebatnya, itulah yang tidak diatur di UU bagaimana konsepnya.
Ketiga, mengapa meski memiliki komisioner yang bermasalah, KPK selama ini terlihat tetap bekerja dengan relatif lebih baik? Hal itu karena sistem pengawasan internal yang bekerja dengan baik terhadap komisioner tersebut. Pengawasan internal bekerja baik karena ia terhindar dari kungkungan birokrasi kaku ala ASN. Dan kali ini, UU KPK mengubahnya menjadi ASN secara keseluruhan.
Pengawasan model yang dulu berlaku tentu tak bisa dengan mudah berjalan dalam sistem yang rigid seperti model ASN. Yang tersedia adalah model pengawasan dewas KPK yang seperti disebutkan di atas, belum terlihat jelas aturan relasinya. Itulah petaka yang dibuat oleh UU KPK hasil revisi.
Menghadapi petaka revisi
Revisi ini sesungguhnya bisa dihadapi dengan sikap dan kesiapan. Dan pada titik itulah KPK kelihatannya tidak memiliki sikap dan kesiapan memadai. Dalam kasus OTT Wahyu Setiawan, ada banyak wilayah yang tidak terjelaskan tetapi kemudian dibiarkan terus menganga tanpa tambalan. Dari kasus awal yang ada, KPK membiarkan dirinya tersandera paling tidak di beberapa hal.
Pertama, membiarkan ada wilayah tak terjawab. Semisal “penyekapan” penyelidik KPK di suatu tempat, bahkan hingga paksaan tes urine. KPK terdahulu biasanya lebih terbuka dan menjelaskan detail dengan paradigma perlindungan terhadap pekerja KPK. Komisioner akan tampil untuk hal itu. Tapi kali ini tidak.
Belum lagi dualisme keterangan yang berbeda di KPK. Soal penggeledahan, misalnya, versi dewas KPK dan komisioner masih berbeda ketika berbicara tentang permintaan izin sudah terjadi atau belum. Begitu pun soal tindakan KPK yang berbeda dari biasanya dalam memperlakukan OTT. Penangkapan, lalu disusul penyegelan tempat yang diduga ada bukti, hingga proses 1x24 jam selesai dan dimulailah penyidikan.
Harusnya KPK lebih detail saja menjelaskan ketimbang bersembunyi di balik kalimat yang semakin membuat rancu cara pandang publik. Andai KPK masih tampil dengan penampilan dan logika seperti biasanya, akan mudah membangun kepercayaan publik pada KPK. Tapi kali ini, KPK lah yang membangun kecurigaan publik itu. Sehingga, ada sinyalemen bahwa KPK telah mati atau KPK sudah tanpa nyali atau taji.
Tapi kali ini, KPK lah yang membangun kecurigaan publik itu. Sehingga, ada sinyalemen bahwa KPK telah mati atau KPK sudah tanpa nyali atau taji.
Sebenarnya sederhana untuk mengukur mati tidaknya KPK. Matinya KPK adalah gabungan antara sistem yang berantakan akibat UU revisi serta organ internal, baik komisioner maupun Dewas KPK yang bermasalah. Satu variabel sudah terlihat jelas dan sulit terbantahkan. Sayangnya, di variabel yang menentukan selanjutnya KPK masih belum menunjukkan kepercayaan yang meyakinkan.
Untuk itu, KPK seharusnya tampil dengan penampilan meyakinkan bahwa para komisioner dan dewas tak bermasalah. Dan penampilan itu adalah penjelasan yang memadai oleh karena publik membutuhkan penjelasan yang detail dengan pemihakan yang jelas. Tanpa itu, publik akan mencurigai ada masalah juga di tingkat komisioner dan dewas.
Oleh karena itu, jika pertanyaan adalah apakah KPK sudah mati, tentu masih terlalu jauh untuk mengatakan itu. Tetapi apakah KPK mengalami kemunduran, ini sudah jelas terlihat secara konsep UU. Waktu selanjutnya akan menjawab apakah kemunduran ini akan menuju kematian atau tidak.
Jika penampilan KPK terus diwarnai oleh kegagapan model seperti ini, maka hal itu mungkin akan menjadi indikasi bahwa memang komisioner KPK dan dewas bermasalah, dan karenanya KPK memang telah mati. Semoga tidak!
(Zainal Arifin MochtarPengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Peneliti PuKAT Korupsi FH UGM)