Ia mengacu pada laporan Bank Dunia bahwa 33 perusahaan yang keluar dari China berinvestasi ke negara tetangga: 23 ke Vietnam, sisanya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Tidak satu pun yang ke Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah pengurusan perizinan hanya dua bulan di Vietnam dan bertahun-tahun di Indonesia.
Mungkin saja pernyataan itu benar. Namun, itu hanyalah puncak gunung es. Hal yang lebih mendasar sebenarnya lebih luas dan rumit. Kalau kita perhatikan dengan saksama, dalam berbagai pidato Presiden tidak pernah diucapkan kata ”korupsi” secara eksplisit. Paling banter hanya ”pungli”. Padahal, akar permasalahan kita justru berada dalam pusaran korupsi. Pemeo ”kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah” mencerminkan cara pandang yang koruptif, disadari atau tidak.
Indeks Persepsi Korupsi Tahunan, meskipun ada peningkatan, tidak bermakna dan menempatkan Indonesia di peringkat ke-88 dari 175 negara yang disurvei.
Perusahaan-perusahaan itu meninggalkan China karena China lebih fokus pada jenis-jenis yang lebih bernilai tinggi, seperti elektronik. Industri ini memerlukan tenaga kerja berketerampilan tinggi dengan bayaran yang juga tinggi. Pakaian, alas kaki, dan tekstil dibiarkan pergi ke negara-negara yang upahnya relatif rendah. Yang dirisaukan Presiden Jokowi, untuk jenis industri ini pun, kita tidak menjadi tujuan investasi.
United States Fashion Industry Association pada survei 2017 menyebutkan, sumber daya eksekutif untuk industri pakaian 30-50 persen dari China dan 11-30 persen dari Vietnam. Sisanya dari sejumlah negara lain.
Untuk alas kaki, Indonesia sumber terbesar kedua setelah Vietnam. Vietnam menjadi nomor satu setelah 10 tahun lalu Adidas mengurangi produksi di China menjadi separuhnya. Demikian pula halnya dengan Nike.
Keluhan Presiden Jokowi akan terus berlangsung jika budaya korupsi dibiarkan menggerogoti. Semua janji dan cita-cita besar hampir dapat dipastikan tinggal retorika.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Setiabudi,
Jakarta Selatan 12970
Ancaman Taspen
Saya menerima surat pemberitahuan dari bank pensiun saya bahwa dana pensiun akan diblokir, dan apabila selama empat bulan tidak melakukan otentifikasi, maka dana pensiun akan kembali ke Taspen dan saya harus mengurus dari awal lagi.
Bagi saya, aplikasi e-Dapem dan New e-Dapem hanya pemborosan. Laiknya suatu ”proyek”, hal ini tidak akan terlepas dari kepentingan para pemangku birokrasi, bukan kepentingan kami para penerima pensiun.
Bagi saya pribadi, saya hanya menginginkan menerima pensiun setiap bulannya. Uang masuk ke tabungan saya di bank dan diambil manakala dibutuhkan. Tolong, jangan bebani dengan administrasi macam-macam lagi. Data yang dulu direkam saat saya mulai pensiun sangat lengkap.
Seharusnya fungsi dari Taspen sesuai dengan misinya adalah misi sosial, yaitu mendistribusikan uang pensiun kepada penerima yang berhak tanpa dibebani birokrasi dan misi bisnis yang menjerat.
Taspen harus mengelola potongan gaji PNS/ASN secara prudent dan bertanggung jawab kepada kami pemilik dana pensiun. Untuk misi yang sosial, tidak perlu program/proyek yang hanya menyusahkan para penerima pensiun yang sudah tua dan gaptek.
Ujung-ujungnya persyaratan itu menambah beban finansial bagi kami karena harus menggunakan proxy. Harapan kami—di pengujung usia kami—adalah bebaskan kami dari birokrasi yang menyusahkan dan upayakan delivery on time and on site.
Stefanus Lawuyan
Sidosermo Indah XI,
Surabaya 60239