BRIN dan Pembangunan Berkelanjutan
Keberhasilan pengembangan Iptekin untuk SDGs ditentukan oleh seberapa jauh kebijakan Iptekin, pengaturan kelembagaan, dan tata kelola riset didorong oleh ekologi sosial dan perlindungan lingkungan.
Pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi (Iptekin) yang berperspektif pembangunan berkelanjutan (SDGs) tidak hanya menyeimbangkan tiga dimensi: lingkungan, sosial dan ekonomi, juga untuk menyelamatkan bumi dengan melestarikan sumber kehidupan melalui pertumbuhan ekonomi.
Berbeda terbalik dengan perspektif lama, dimana pengembangan Iptekin ditujukan bagi pertumbuhan ekonomi dengan mengolah dan bahkan menguras sumber kehidupan yang dapat merusak bumi.
Iptekin untuk pertumbuhan ekonomi telah dimulai sejak Revolusi Industri yang digerakan tenaga uap dan mekanik pada tahun 1780-an (industri-1). Berlanjut ke produksi massal dan listrik pada tahun 1870-an (industri-2) lalu bergerak lebih jauh ke elektronik dan otomatisasi pada tahun 1970-an (industri-3), dan diteruskan hari ini ke sistem fisik-siber (industri-4).
Kebijakan berbasis bukti
Selama periode industri-1 dan 2, kebijakan Iptekin yang berorientasi untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi telah terbukti berhasil. Akan tetapi keberhasilan Iptekin untuk pertumbuhan ekonomi itu berdampak pada kerusakan lingkungan dan berbalik membatasi pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Di era industri ke-3 dari tahun 1970-an hingga 2000, meskipun pengembangan Iptekin masih berfokus untuk pembangunan ekonomi, namun muncul keprihatinan terhadap data kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial. Sejak tahun 2000, pengembangan Iptekin diarahkan untuk menyumbang pada pertumbuhan ekonomi dan inklusi sosial dalam perspektif pembangunan milenium (MDGs).
Berbasis data kerusakan lingkungan dan kesejangan sosial, sejak tahun 2015 muncul kesepakatan/kebijakan global pentingnya pembangunan berkelanjutan atau SDGs, di mana keberlanjutan lingkungan, inklusi sosial, dan pertumbuhan ekonomi sama-sama dihargai. Peran Iptekin untuk SDGs adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tanpa membawa beban sosial dan lingkungan.
Peran Iptekin untuk SDGs adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tanpa membawa beban sosial dan lingkungan.
Keberhasilan pengembangan Iptekin untuk SDGs ditentukan oleh seberapa jauh kebijakan Iptekin, pengaturan kelembagaan, sampai ke tatakelola riset dan inovasi didorong oleh ekologi sosial dan perlindungan lingkungan. Pengembangan Iptekin ke depan adalah untuk tiga dimensi:lingkungan, sosial dan ekonomi.
Kebijakan Iptekin untuk pencapaian SDGs di Indonesia ke depan perlu berbasis data ”indikator Iptekin untuk SDGs”. Pada tahun 2020, UIS-UNESCO akan meluncurkan indikator SDGs 9.5 di bidang Iptekin. Metode pengukuran dan survei untuk penyusunan indikator ini dapat diterapkan Indonesia, sehingga angkanya dapat diperbandingkan secara internasional.
Semua negara sepakat mewujudkan target SDGs 9.5 yaitu: kesepakatan untuk meningkatkan riset ilmiah, meningkatkan kemampuan teknologi sektor industri di semua negara, mendorong inovasi dan secara substansial, meningkatkan jumlah peneliti dalam litbang persejuta penduduk serta belanja riset pemerintah dan swasta pada tahun 2030.
KemRistek/BRIN dengan dukungan Biro Pusat Statistik/BPS perlu melakukan kembali sensus/survei untuk penyusunan indikator iptek secara berkala, khususnya sensus belanja riset dan survei inovasi, seperti yang pernah dilakukan Pappiptek-LIPI sejak tahun 1990-an sampai 2010. Hal ini penting untuk mendukung “kebijakan berbasis bukti” di KemRistek/BRIN ke depan.
Hasil sensus belanja riset dan survei inovasi perlu untuk mengoreksi data sebelumnya yang tidak dapat diperbandingkan secara internasional, akibat dua proses. Pertama, perolehan angka belanja riset (GERD) tidak melalui sensus/survei belanja riset. Kedua, perolehan angka jumlah peneliti dalam litbang persejuta penduduk (RIRD) tidak berdasarkan survei waktu penuh ekuivalen (FTE) peneliti dalam litbang.
Angka tersebut adalah dugaan GERD sektor pemerintah yang dihitung sama dengan anggaran iptek (padahal anggaran riset hanya sekitar 45%, sisanya adalah jasa iptek, belanja modal, pendidikan dan pelatihan). Hasilnya GERD buatan Indonesia naik luar biasa 300% dalam periode 2013-2017.
Kenyataannya, tidak ada program riset nasional “dorongan besar” menyerap kenaikan anggaran terduga puluhan triliun dalam periode ini. Demikian juga, angka jumlah peneliti dalam litbang persejuta penduduk, karena dihitung dengan definisi tidak baku, hasilnya RIRD buatan Indonesia naik ajaib 1200% dalam periode 2009-2017. Kenyataannya, jumlah peneliti di litbang K/L dan LPNK justru turun dari sekitar 9000 ke sekitar 8000 orang dalam periode yang sama.
Angka-angka mitos GERD dan RIRD diatas sudah menjadi konsumsi publik dan elit. Presiden Jokowi menyatakan: “anggaran riset kita Rp 26 trilun sudah gede” (Kompas.com 16/2/2019). Bila Presiden Jokowi kembali mengajukan pertanyaan yang sama terkait anggaran riset sudah gede: “apa hasilnya?” (Detik finance, 9/4/2018), maka KemRistek/BRIN tentu akan memegang kuat pentingnya kebijakan berbasis bukti bukan mitos.
Kebijakan inovasi transformatif
Terlepas dari keadaan angka indikator iptek yang diperoleh tidak berdasarkan sensus/survei pada masa lampau. KemRistek/BRIN ke depan perlu meluncurkan data iptek, khususnya data GERD dan jumlah peneliti di sektor industri, yang dapat diperbandingkan secara internasional.
Target SDGs 9.5 di bidang Iptekin bagi semua negara adalah industrialisasi berkelanjutan dengan meningkatkan kemampuan teknologi sektor industri. Berdasarkan data World Bank, nilai tambah per pekerja di sektor industri (2000-2018) stagnan sekitar US$ 15 ribu dan nilainya hanya lebih tinggi dari Vietnam.
Selanjutnya, ekspor produk teknologi tinggi sebagai persentase ekspor industri, Indonesia menempati posisi terendah di antara lima negara (Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Indonesia).
Ekspor produk teknologi tinggi Indonesia terus menurun sejak tahun 2000, sementara Vietnam telah menunjukkan peningkatan pesat dalam ekspor teknologi tinggi sejak 2010. Tren ini mencerminkan kemampuan teknologi sektor industri Indonesia masih terbatas untuk menghasilkan produk teknologi rendah dan menengah.
Tren ini mencerminkan kemampuan teknologi sektor industri Indonesia masih terbatas untuk menghasilkan produk teknologi rendah dan menengah.
Meskipun Indonesia memiliki Rencana Induk Riset Nasional (RIRN), dimana prioritas riset nasional untuk memajukan sektor industri berbasis riset, yang mencakup: (1) energi, transportasi, maritim dan lingkungan hidup, (2) pangan, kesehatan, obat dan sumberdaya hayati, (3) rekayasa keteknikan, bahan baku, dan bahan baku material baru, (4) TIK, Hankam dan kebencanaan, (5) sosial, humaniora, senibudaya, pendidikan dan olahraga. Diantara sekian banyak prioritas tersebut apa sebaiknya yang menjadi fokus Indonesia ke depan?
Berdasarkan tren dan akumulasi publikasi riset dan kolaborasi riset internasional, Indonesia relatif lebih maju di bidang sumberdaya alam dan ilmu hayati (Pappiptek LIPI, 2014), maka lebih beralasan Indonesia fokus ke pengembangan teknologi industri spesifik berbasis sumber daya alam (digerakkan ilmu material baru) dan berbasis ilmu hayati.
Pemacuan intensitas riset di dibidang ini, disamping menciptakan industri baru masa depan, juga penting untuk meningkatkan kemampuan teknologi industri industri sudah ada, seperti baja, material baru, obat dan bahan kimia berbasis bio, industri biomedis dan bioteknologi, dll.
Bila program BRIN berfokus pada promosi riset di sektor teknologi industri spesifik diatas, berarti BRIN menerapkan “kebijakan inovasi transformatif”, yaitu mengubah lanskap (keragaman hayati, sumberdaya alam dan kekayaan alam) beciri keunggulan komparatif menjadi konfigurasi (industri padat inovasi teknologi berbasis ilmu material baru dan ilmu hayat) berciri keunggulan kompetitif.
Bila fokus ini diperkuat dengan “instrumen pelengkap super tax deduction” (dari Prof. Carunia M. F., Kompas 14/12/2019), maka belanja riset di sektor swasta, khususnya di industri spesifik di atas, akan tumbuh pesat.
Hasil simulasi model menunjukkan, bila belanja riset industri swasta tumbuh progresif 20-30%, sedangkan belanja riset rutin pemerintah tumbuh konservatif 10-15% per tahun, seiring dengan harapan penambahan ASN peneliti di litbang K/L dan LPNK ke depan, maka pertumbuhan ini akan mengubah pangsa intensitas riset industri melampai pemerintah sebelum tahun 2030.
Singkatnya, dengan menerapkan kebijakan pemacuan riset di sektor teknologi industri spesifik, maka kita dapat membayangkan Indonesia masa depan dengan fungsi kelembagaan baru dari BRIN, yaitu Indonesia diharapkan akan keluar dari negara berpendapatan menengah pada tahun 2030.
Keberhasilan pengembangan Iptekin untuk SDGs ditentukan oleh seberapa jauh kebijakan Iptekin, pengaturan kelembagaan, dan tata kelola riset didorong oleh ekologi sosial dan perlindungan lingkungan.
Memperkuat kapasitas Iptekin untuk SDGs memiliki kekuatan memberikan solusi memberantas kemiskinan, meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi, meningkatkan ketahanan terhadap bahaya/bencana alam, dan melestarikan sumber daya alam untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Semoga.
(Erman Aminullah, Profesor riset bidang Kebijakan Iptek, LIPI)