Buku, antara Pembajakan dan Pemajakan
Saat ini tak sedikit penerbit yang gulung tikar. Jika gejala ini makin meluas, kita akan merasa amat menyesal mendapati generasi anak bangsa ini menjadi kelompok manusia yang memiliki tingkat literasi makin rendah.
Ada kabar kurang sedap bagi Presiden Joko Widodo yang tak henti mencanangkan urgennya upaya peningkatan sumber daya manusia bangsa kita. Indonesia bermasalah besar dalam membaca! Begitu hasil temuan Head Foundation pada 2017.
Mengutip data Programme for International Student Assesment (PISA) pada 2015 (dan diperkuat oleh hasil-hasil PISA pada tahun-tahun yang menyusulnya, hingga hasil PISA 2019 yang diumumkan belum lama ini), kemampuan menemukan dan mengenali keterhubungan informasi di dalam teks—yang merupakan keterampilan membaca level 3—sangat lemah, bahkan untuk orang dewasa sekalipun. Tak mengherankan kalau keterampilan membaca kita hanya berhenti di level 2, yaitu level dasar.
Selain itu, data terbaru sebuah survei yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di Amerika Serikat menunjukkan hasil tingkat keberaksaraan yang sama lemahnya, dari 62 negara Indonesia hanya unggul atas Botswana di urutan ke-61.
Singkatnya, bangsa kita secara umum baru melek aksara tetapi kerap gagap memahami tautan maknanya. Dengan kemampuan memahami bacaan yang rendah ini, ditambah derasnya penetrasi teknologi digital—yang menyubversi minat baca buku dan menggantikannya dengan membaca sambil lalu bahan-bahan bacaan penggalan dan tak mendalam yang biasa disebut sebagai nonbuku—tampaknya masa depan membaca akan cukup mengkhawatirkan.
Singkatnya, bangsa kita secara umum baru melek aksara tetapi kerap gagap memahami tautan maknanya.
Dan, ini berarti ancaman bukan hanya atas buku cetak, melainkan juga buku elektronik (untuk pembahasan lebih mendalam tentang hal ini baca: Haidar Bagir, ”Amnesia Buku”, Kompas, 28 April 2016).
Dengan latar belakang yang begitu memprihatinkan ini, menimpa lagi pukulan atas industri perbukuan di negeri kita dalam bentuk derasnya kejahatan pembajakan buku. Pembajakan telah menyabotase nasib banyak pihak yang terkoneksi dengan industri buku: menurunkan penghasilan penulis dan melemahkan semangat penerbit untuk terus menerbitkan buku bermutu.
Sebuah studi menarik medio Juli 2018 yang dilakukan oleh Institut for Information Law dari Universitas Amsterdam mendedahkan laporan menarik setebal 84 halaman dengan fokus penelitian pada tiga hal penting; menyediakan informasi faktual tentang akuisisi sekaligus konsumsi konten yang legal ataupun ilegal, menilai motif serta mekanisme menikmati konten dan hubungannya dengan ukuran-ukuran penegakan hukum serta ketersediaan konten yang legal, dan mengukur dampak pembajakan terhadap konsumsi konten dari sumber yang sah.
Data ini didapatkan dengan mengambil sampel 35.000 responden dengan 7.000 orang di antaranya berusia 14-17 tahun di 13 negara di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Buku, tidak seperti konten lainnya seperti musik, audio-visual, dan games, termasuk konten yang rerata pembajakannya paling parah.
Data ini menyimpulkan secara statistik buku bajakan dengan signifikan menggantikan buku asli dan sejumlah besar pembaca mengonsumsi sumber-sumber ilegal ini. Sayangnya, akses terhadap buku bajakan ini menjadi lebih mudah karena marketplace besar di negeri ini juga menjual buku-buku bajakan ini.
Puncaknya, dan ini yang paling menyedihkan, penegakan hukum untuk mengatasi kejahatan atas industri buku sejauh ini amat lemah dan tidak konsisten. Penderitaan industri buku ini masih bertambah dengan beban pajak berlapis atas bahan baku, percetakan, penerbitan, dan penulis.
Pembajakan telah menyabotase nasib banyak pihak yang terkoneksi dengan industri buku: menurunkan penghasilan penulis dan melemahkan semangat penerbit untuk terus menerbitkan buku bermutu.
Pajak atas aksara
Menurut data International Publishers Association tahun 2015, Indonesia dan sejumlah negara di Asia lainnya termasuk yang menerapkan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif standar. Besarannya 5-15 persen. Akan tetapi, sebagian negara ASEAN dan Asia menerapkan besaran berbeda untuk pajak buku.
Hong Kong, India, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Korea Selatan termasuk sejumlah negara yang menerapkan zero-rate untuk buku cetak. Vietnam menjadi negara yang memberlakukan pajak cukup rendah, 5 persen, sementara China menjadi pemungut pajak buku cetak terbesar, yaitu 13 persen.
Mungkinkah pemerintah memberikan insentif pajak lebih rendah kepada pelaku industri buku untuk mendorong minat baca?
Serangkaian aturan perpajakan yang berhubungan dengan industri penerbitan antara lain PPn atas penyerahan/penjualan buku, PPn atas jasa cetak buku pada saat transaksi order cetak, PPn atas pembelian bahan baku kertas, PPh Pasal 25/29 (PPh atas keuntungan badan usaha), PPh Pasal 21 (PPh atas penghasilan
yang diberikan kepada karyawan) dan PPh Pasal 23/26 (PPh atas royalti yang diterima oleh penulis, baik lokal maupun asing).
Aturan yang menjadi dasar pengenaan PPn atas penyerahan/penjualan buku salah satunya adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 122/PMK.011/2013. Di dalamnya diterangkan bahwa impor dan/atau penyerahan buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama
dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai.
Sementara buku-buku pelajaran umum yang dimaksud di atas mencakup buku-buku fiksi dan nonfiksi untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa yang merupakan buku pelajaran pokok, penunjang pelajaran, dan kepustakaan.
Tidak termasuk dalam kategori buku-buku pelajaran umum tersebut antara lain buku hiburan, buku musik, buku roman populer, buku sulap, buku iklan, buku promosi suatu usaha, buku katalog, buku karikatur, buku horoskop, buku horor, buku komik, dan buku reproduksi lukisan.
Hong Kong, India, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Korea Selatan termasuk sejumlah negara yang menerapkan zero-rate untuk buku cetak.
Buku-buku sebagaimana dimaksud di atas dapat dikategorikan sebagai buku-buku pelajaran umum hanya dalam hal buku-buku tersebut telah disahkan sebagai buku pelajaran umum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh menteri yang dimaksud.
Dalam praktiknya, penerapan aturan terkait penentuan buku yang dikenai PPn dan yang bebas PPn bersifat subyektif dan cukup merepotkan serta sudah tidak sesuai dengan kondisi perbukuan saat ini. Di antaranya karena sudah banyak buku-buku ilmu pengetahuan yang tampil dalam bentuk komik, misalnya, sementara buku-buku sastra yang sangat diperlukan terkait dengan pembelajaran bahasa sering kali dikategorikan sebagai novel populer.
Sehubungan dengan seringnya terjadi perbedaan dalam mendefinisikan buku-buku yang dikenai PPn dan yang bebas PPn serta nilai PPn atas penyerahan buku yang diperkirakan tidak signifikan jumlahnya ini, perlu diterapkan pembebasan PPn atas seluruh jenis buku yang diproduksi di dalam negeri.
Pengenaan PPn sebaiknya hanya diberlakukan terhadap buku-buku impor. PPn atas pembelian kertas, khusus untuk kepentingan penerbitan buku, serta PPn atas order/transaksi cetak. Ini hendaknya juga dapat dihapuskan.
Sedangkan terkait dengan PPh Pasal 23 atas royalti yang dipotong dan dipungut dari para penulis, sebaiknya ditetapkan jumlah minimal PPh Pasal 23 (royalti) yang kena pajak dikarenakan banyak penulis lokal yang memperoleh pendapatan royalti di bawah PTKP, tapi langsung dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15 persen. Ini terasa memberatkan bagi penulis dalam negeri.
Sementara itu, penulis asing yang bukunya diterjemahkan oleh penerbit lokal bisa hanya dikenai PPh Pasal 26 (royalti asing) sebesar 10 persen jika terdapat perjanjian tax treaty antara Indonesia dan negara asal penulis. Kebijakan
penetapan pajak yang adil dan meringankan bagi penulis ini diharapkan dapat meningkatkan semangat berkarya bagi para penulis Indonesia.
Kebijakan penetapan pajak yang adil dan meringankan bagi penulis ini diharapkan dapat meningkatkan semangat berkarya bagi para penulis Indonesia.
Tanpa upaya-upaya serius dari pemerintah untuk mendukung industri buku seperti diungkapkan di atas, bukan tidak mungkin bangunan industri buku, yang sudah makin rapuh, digerogoti oleh rendahnya daya literasi dan budaya baca nonbuku, ini bisa kolaps. Tanda-tandanya sudah mulai terlihat dengan stagnan,
bahkan menurun drastisnya pendapatan penerbit buku.
Demikian juga, tak sedikit penerbit sudah gulung tikar. Dan, jika gejala ini makin meluas, kita akan merasa amat menyesal jika kelak mendapati generasi anak bangsa ini menjadi kelompok manusia yang memiliki tingkat literasi yang justru makin merosot. Dan, efeknya bisa merambah ke mana-mana, bukan hanya di bidang ekonomi dan perkembangan sains dan teknologi, melainkan juga di bidang kebudayaan dan kesejahteraan (well-being) masyarakat pada umumnya.
(Haidar Bagir, Ketua Yayasan Pendidikan Lazuardi)