Budaya Menanam Pohon
Musim hujan saat ini, apalagi yang bersifat ekstrem, perlu diwaspadai. Hujan intensitas tinggi telah memicu banjir, banjir bandang, dan tanah longsor, dengan kasus banjir DKI Jakarta dan longsor di Bogor, Jawa Barat, yang paling menyedot perhatian.
Wajar apabila Presiden Jokowi ikut turun tangan. Salah satu instruksi presiden yang sangat tepat adalah melibatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan untuk pemulihan lingkungan. Artinya, menanam pohon secepat dan sebanyak mungkin, di dalam maupun di luar hutan.
Menanam pohon merupakan solusi jangka panjang untuk mengurangi aliran permukaan tanah (run-off). Makin banyak pohon, makin besar kesempatan air berinfiltrasi ke dalam tanah. Besarnya jumlah dan jenis pohon yang ditanam tergantung agroklimat dan fungsi kawasan. Di kawasan hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air harus ditanam pohon berdaun lebar, perakaran dalam, dengan jarak tanam yang rapat.
Di luar kawasan hutan, kalau lahan tersebut berfungsi sebagai kawasan lindung, wajib ditanami pohon MPTS (multi purpose trees spesies) yang bermanfaat ganda secara hidrologis dan ekonomis. Biasanya buah-buahan. Untuk daerah dengan topografi curam dan sangat curam, penanaman pohon sebaiknya monokultur, sedangkan untuk yang landai dan datar dapat dicampur dengan tanaman semusim dan tanaman pangan dalam bentuk agroforestry.
Adapun pada kawasan budidaya dan permukiman, jenis pohon sesuai kebutuhan. Untuk daerah dengan kondisi kering dengan bulan basah sedikit, seperti NTT, dapat dipilih jenis pohon dengan akar dalam dan berdaun jarum (fungsinya mengurangi penguapan pada musim kemarau).
Budaya menanam pohon perlu digalakkan mengingat negara kita merupakan daerah rawan bencana banjir dan longsor. Kementerian LHK menyanggupi menyiapkan bibit gratis di setiap provinsi melalui Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) setempat. Manfaat penanaman pohon tidak seketika, tetapi sangat efektif dalam mengendalikan banjir dan tanah longsor. Menanam pohon itu untuk masa depan.
Pramono Dwi Susetyo Pensiunan KLHK Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Penjelasan Polri soal Program Hapus Tato Gratis
Program hapus tato gratis atau propetis merupakan layanan kreatif Kepolisian Resor Talaud dan polres lain. Program ini mendapat apresiasi dari masyarakat yang antusias ingin menghapus tato. Bahkan, kami mendengar peminat program ini membeludak.
Terkait persyaratan tertentu, seperti menghafal surat kitab suci, tidak kami wajibkan karena program ini ditujukan bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan, tanpa memandang agama. Hal ini menanggapi Surat kepada Redaksi dari Nico, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (14/1/2020), berjudul ”Polri Milik Rakyat Indonesia”.
Benar masukan pembaca yang menyebutkan Polri milik seluruh rakyat Indonesia dan tugas pelayanan masyarakat oleh Polri memang untuk seluruh masyarakat. Tak ada pengecualian perbedaan suku, ras, golongan, dan agama. Polri menaungi semuanya. Sesuai Pasal 13 Huruf c Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, tugas kepolisian memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Terkait soal ini, ada sedikit kekeliruan komunikasi. Sudah kami tegaskan kepada jajaran kewilayahan agar propetis yang mendapat respons antusias masyarakat diberikan kepada yang membutuhkan tanpa persyaratan sampai harus menghafal surat dalam kitab suci agama tertentu. Demikian penjelasan atas surat pembaca yang dikirimkan ke harian Kompas. Terima kasih.
Divisi Humas Polri