Banjir dan ”Tragedy of the Common”
Solusi banjir Jabodetabek, khususnya Ibu Kota, membutuhkan penanganan cepat, tepat, dan efektif, baik jangka segera, jangka pendek, maupun jangka agak panjang. Bukan perdebatan berpanjang lebar yang tak jelas tujuannya.
Semua orang lebih peduli dengan miliknya sendiri daripada yang dimiliki secara bersama. (Aristoteles)
Pokok pikiran yang disampaikan Aristoteles dua puluh abad lalu itu ternyata masih relevan dengan situasi sekarang. Sumber daya yang dimiliki secara komunal kerap disalahgunakan atau disemena-menakan (abuse). Di sinilah perlunya intervensi pemerintah sebab pasar tidak dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien tanpa dukungan property rights.
Di wilayah Ibu Kota, common property resources yang kerap disemena-menakan oleh publik adalah ruang terbuka hijau, termasuk sempadan dan badan sungai yang vital ketika banjir. Lahan menjadi sumber daya langka dan mahal, khususnya di Jakarta.
Tindakan abusement dapat berupa okupasi kawasan sempadan sungai dan pembuangan sampah serta limbah ke sungai-sungai. Pembiaran terhadap sampah dan sedimentasi di sungai, serta okupasi sempadan, yang menyebabkan sungai kian sempit dan dangkal, padahal fungsinya vital untuk mengalirkan banjir, juga merupakan tindakan abusement.
Tindakan abusement dapat berupa okupasi kawasan sempadan sungai dan pembuangan sampah serta limbah ke sungai-sungai.
Salah guna milik bersama
Namun, penyalahgunaan hak milik bersama juga terjadi di wilayah hulu daerah aliran Sungai Ciliwung, bahkan sejak zaman kolonial Belanda, dengan membabat hutan lindung di kaki Gunung Gede-Pangrango menjadi perkebunan teh. Hal ini berlanjut dengan maraknya alih fungsi hutan untuk permukiman penduduk, hotel, vila, dan pertanian sejak 1980-an di kawasan Puncak hingga kini.
Akibatnya, banjir terus mengancam Jakarta. Dalam dua dasawarsa terakhir, Jakarta dilanda banjir besar tahun 2002, 2007, dan 2013. Berdasarkan catatan Kompas, Jumat (3/1/2020), kerugian ekonomi akibat banjir mencapai Rp 5,4 triliun (2002), Rp 5,2 triliun (2007), dan Rp 7,5 triliun (2013).
Banjir terkini adalah musibah tahun baru 2020. Guyuran hujan pada malam pergantian tahun membuat sejumlah besar wilayah di Jabodetabek terendam banjir. Beberapa kawasan terendam hingga 2 meter dan rumah-rumah ”kelelep”. Lebih dari 50 korban tewas.
Ribuan gardu listrik sempat dimatikan dan ratusan toko lumpuh. Sebagian ruas Tol Jakarta-Cikampek dan rel kereta terendam banjir. Kerugian ekonomi akibat tutupnya ratusan toko diperkirakan nyaris Rp 1 triliun.
Sementara komunitas urban marjinal terdesak ke bantaran-bantaran sungai dan mengokupasinya menjadi permukiman. Contohnya permukiman kumuh di bantaran Ciliwung Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan, dengan rumah-rumah supersempit hingga berukuran tak sampai 10 meter persegi yang sewaktu-waktu dapat diterjang banjir pada musim hujan.
Berdasarkan catatan Kompas, 3 Januari 2020, kerugian ekonomi akibat banjir mencapai Rp 5,4 triliun (2002), Rp 5,2 triliun (2007), dan Rp 7,5 triliun (2013).
Sungai-sungai lain yang melintasi Ibu Kota pun mengalami nasib serupa, termasuk di antaranya Kali Krukut yang badan sungainya menyempit terimpit bangunan di sisi kanan dan kirinya. Air sungai ini bahkan menjadi air baku bagi salah satu instalasi PAM.
Maka, ketika volume limpasan air hujan meningkat drastis, baik dari kawasan hulu maupun lokal (hilir), sedangkan saluran-saluran dan sungai-sungai menyempit akibat okupasi bantaran dan dangkal sedimentasi dan sampah, babak berikutnya pasti banjir besar berskala luas.
Sejumlah kawasan di Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi bahkan sudah banjir duluan sebelum datang ”kiriman” dari Bogor.
Dampak banjir
Bagi penghuni kawasan elite yang ikut kebanjiran, mudah saja, tinggal mengungsi ke hotel-hotel berbintang atau vila di Puncak. Namun, ratusan ribu warga marjinal terpaksa mengungsi ke tempat-tempat penampungan umum dengan segala risikonya.
Fenomena seperti itu menggambarkan tragedy of the common sebagaimana pernah dipopulerkan oleh William Forster Lloyd (1883) dan Garret Hardin (1968). Tragedy of the common kiranya tidak sebatas teori, tetapi telah menjadi realitas kehidupan sehari-hari di tengah kecenderungan over-eksploitasi sumber daya alam.
Dalam skala kecil tragedy of the common Jabodetabek telah berubah menjadi theatre of death karena banjir besar Jabodetabek selalu menelan korban jiwa. Korban tewas ini akibat terseret arus banjir, tersengat listrik, dan hipotermia.
Secara faktual, over-eksploitasi ekonomi terjadi di wilayah hilir ataupun hulu DAS. Di hilir, terutama Jakarta, indikasinya, ruang terbuka hijau hanya tersedia sekitar 15 persen, di bawah angka ideal 30 persen.
Dalam skala kecil tragedy of the common Jabodetabek telah berubah menjadi theatre of death karena banjir besar Jabodetabek selalu menelan korban jiwa.
Bukan hanya pemodal kuat yang mengeksploitasi, warga marjinal pun berkontribusi dengan mengokupasi bantaran-bantaran sungai, termasuk dengan mereklamasi untuk didirikan tempat tinggal dan warung-warung.
Sementara di hulunya, over-eksploitasi tampak dari tingginya kompetisi pemanfaatan ruang, baik untuk perkebunan teh, hotel, vila, permukiman penduduk, sawah, dan kebun hortikultura yang mengancam eksistensi hutan lindung.
Maka, dibutuhkan aturan main yang tegas beserta penegakannya untuk mengatasi over-eksploitasi baik di hilir maupun hulu, tak terkecuali sempadan sungai.
Sungai dan bantarannya harus dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai ruang untuk air lewat, bukan untuk permukiman atau tempat buang sampah. Tidak cukup hanya dengan merestorasi (fungsi) sungai, tetapi juga menambah prasarana lain, seperti biopori, dam pengendali, dan bahkan diversion tunnel. Tata ruang harus disusun secara komprehensif dan dilaksanakan secara konsisten tanpa kompromi.
Di samping itu, setting kebijakan publik untuk mitigasi banjir Jakarta harus mampu mencari titik optimal antara kepentingan lingkungan versus kepentingan ekonomi komersial, antara kepentingan kelompok ekonomi kuat versus kelompok rentan, dan antara kepentingan wilayah hilir DAS (Jakarta) dengan wilayah hulu DAS, terutama di sekitar Puncak, Bogor.
Solusi banjir Jabodetabek, khususnya Ibu Kota, membutuhkan penanganan cepat, tepat dan efektif, baik jangka segera, jangka pendek, maupun jangka agak panjang. Bukan perdebatan berpanjang lebar yang tak jelas ”juntrungan”-nya. Jika tidak, korban dan biaya sosial akan terus bertambah.
Solusi banjir Jabodetabek, khususnya Ibu Kota, membutuhkan penanganan cepat, tepat dan efektif, baik jangka segera, jangka pendek, maupun jangka agak panjang.
(Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB UGM)