Langkah Otonomi Daerah 2020
Desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI pada era Reformasi ini terasa ala ”negara federal” karena kewenangan yang ditransfer ke daerah besar, luas, dan banyak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah berusia lima tahun. UU ini telah pula direvisi sebanyak dua kali, yaitu dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 menyangkut tugas dan wewenang DPRD serta UU No 9/2015 terkait tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sejak era Reformasi digulirkan di Indonesia tahun 1999 hingga saat ini, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, lebih-lebih otonomi khusus, masih mencari format yang tepat bagi penyelenggaraan pemerintah daerah yang efektif.
Realitas menunjukkan banyak pemda tak punya kapasitas (lack of capacity) dalam mengurus urusan rumah tangganya, terutama kapasitas kepemimpinan (lack of leadership).
Di lain pihak, pemerintah pusat lemah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan. Akibatnya, dalam banyak kasus, terjadi apa yang disebut otonomi daerah kebablasan alias lepas kendali, seperti ditandai tingginya tingkat korupsi kepala daerah, terbitnya ribuan peraturan daerah bermasalah, dan buruknya pelayanan publik.
Di negara kesatuan, sumber kewenangan pemda berasal dari pemerintah pusat. Biasanya distribusi kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah terbatas (weak autonomy), bukan superluas (strong autonomy) sebagaimana praktik desentralisasi di negara federal. Desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI pada era Reformasi ini terasa ala ”negara federal” karena kewenangan yang ditransfer ke daerah besar, luas, dan banyak.
Desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI pada era Reformasi ini terasa ala ”negara federal” karena kewenangan yang ditransfer ke daerah besar, luas, dan banyak.
Logikanya, dengan kewenangan serupa itu, pemda mampu men-deliver pelayanan publik yang baik kepada warganya, apalagi kepala daerahnya sudah dipilih langsung oleh rakyat. Namun, masih ”jauh panggang dari api” persis seperti studi Rod Hague & Martin Harrop (2007:294) yang menemukan kelemahan pemda, yakni they are often too small to deliver efficiently, lack financial autonomy, and dominated by traditional elites.
Pahit nasib pemda, sudah tidak deliver dan gagal mengelola keuangan daerah, pemdanya dibajak pula oleh elite lokal. Bagaimanakah sebaiknya langkah otonomi daerah kita pada 2020?
Tiga isu besar
Paling tidak ada tiga isu besar dalam perjalanan otonomi daerah kita hari ini. Pertama, isu pilkada langsung. Hiruk-pikuk pilkada langsung yang digelar sejak 1 Juni 2005 hingga diserentakkan pada 2015, 2017, dan 2018 serta September 2020 ini diwarnai maraknya politik uang, politik dinasti, pecah kongsi kepala daerah dengan wakilnya, hingga operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah oleh KPK.
Sistem pilkada yang dilaksanakan secara langsung dengan kondisi pemilih yang rendah pendapatannya dan keuangan partai politik yang tak mandiri ”memaksa” kandidat mengeluarkan biaya tinggi. Untuk apa? Untuk sewa ”kendaraan/perahu” parpol di seluruh level kepengurusan baik di pusat maupun daerah.
Ada pula biaya tim sukses berupa honor, sewa kantor/kendaraan, rapat-rapat, perjalanan, dan operasional. Begitu juga halnya biaya untuk kampanye berupa iklan dan alat peraga kampanye, serta biaya saksi di tempat pemungutan suara.
Untuk memenangi kompetisi, para kandidat tergoda pula membeli suara pemilih. ”Kuli menaikkan karung beras ke atas mobil truk saja diberi uang seratus ribu rupiah per hari. Sekarang kami menaikkan bapak/ibu ke kursi gubernur/bupati/wali kota selama lima tahun dibayar besarlah.” Begitulah logika ”keliru” kebanyakan pemilih kita.
Sistem pilkada yang dilaksanakan secara langsung dengan kondisi pemilih yang rendah pendapatannya dan keuangan parpol yang tak mandiri ”memaksa” kandidat mengeluarkan biaya tinggi.
Pilkada kita menjadi transaksional. Ada uang ada suara, nomor piro wani piro (NPWP). Daulat rakyat jadi daulat uang. Jika mereka disurvei, pastilah seratus persen akan mendukung pilkada langsung.
Sementara sumber keuangan kandidat bisa berasal dari kocek pribadi kepala daerah dan wakil kepala daerah atau investor politik. Sangat jarang kita melihat adanya penghimpunan dana (fund raising) bagi kandidat yang akan maju.
Akibatnya, setelah terpilih terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) guna mengembalikan ”modal” melalui pemberian hibah dan bantuan sosial, suap pengadaan barang dan jasa, penyalahgunaan sumbangan pihak ketiga, suap penerbitan perizinan, manipulasi program dan kegiatan, politisasi aparatur sipil negara, jual beli jabatan, pemanfaatan fasilitas negara, bahkan pemerasan terhadap pengusaha yang investasi.
Karena itu, sistem pilkada kita ke depan sebaiknya dilakukan secara asimetrik, yaitu ada yang dipilih langsung, tidak langsung atau diangkat saja oleh pemerintah pusat, sesuai keadaan masyarakatnya yang diukur dari indeks demokrasi lokal. Praktik pilkada asimetrik ini juga dipakai di Amerika Serikat dengan model strong mayor (langsung), strong council (lewat dewan), dan city manager (ditunjuk/diangkat).
Selain itu, untuk biaya operasional parpol, pemerintah pusat perlu menaikkan dana parpol paling kurang Rp 10.000 per pemilih. Sementara untuk keperluan kampanye kandidat, APK dan biaya saksi di TPS ditanggung oleh pemerintah.
Karena itu, sistem pilkada kita ke depan sebaiknya dilakukan secara asimetrik, yaitu ada yang dipilih langsung, tidak langsung atau diangkat saja oleh pemerintah pusat, sesuai keadaan masyarakatnya yang diukur dari indeks demokrasi lokal.
Kedua, isu otonomi khusus Papua. Otsus Papua akhir-akhir ini kembali ramai dibicarakan gara-gara kasus rasisme yang menyulut chaos di Manokwari, Jayapura, dan Timika. Walaupun sudah berstatus otsus sejak 2001, hingga kini masalah Papua belum reda. Perlawanan fisik bersenjata dari kelompok separatis masih terjadi.
Indeks Kemiskinan Papua terendah di Indonesia sebesar 27,53 persen (2018). Pendekatan keamanan masih digaungkan pemerintah. Pendekatan kesejahteraan, seperti pembangunan Trans-Papua, tak begitu dipahami pejabat pemda. Parpol lokal belum dapat dibentuk karena belum ada payung hukumnya.
Selain itu, dalam implementasi otsus, masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah, seperti penyusunan perda khusus yang belum selesai, rencana induk pembangunan otsus yang belum tersusun, peraturan perundang-undangan sektoral bertentangan dengan UU otsus, dana otsus akan berakhir di 2021, serta lemahnya pengawasan pemerintah pusat.
Karena itu, 2020 ini sebaiknya pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Papua, dan Papua Barat duduk bersama membangun konsensus guna menyepakati hal berikut: dana otsus sebaiknya diperpanjang selama 20 tahun lagi dengan pengaturan yang disempurnakan melalui mekanisme specific grant bukan lagi block grant, pemekaran kabupaten/kota dikendalikan mengacu ke UU No 23/2014, pemekaran provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP sebagaimana Pasal 76 UU No 21/2001, penguatan tata kelola pemda di tujuh wilayah adat, pilkada provinsi di Papua dan Papua Barat dilaksanakan secara asimetrik melalui DPRP, serta penyelesaian pembahasan RUU Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua tahun 2020 termasuk pembentukan partai politik lokal dalam rangka penguatan demokrasi.
Indeks Kemiskinan Papua terendah di Indonesia sebesar 27,53 persen (2018). Pendekatan keamanan masih digaungkan pemerintah.
Ketiga, isu pindah ibu kota negara (IKN). Keputusan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan IKN dari Provinsi DKI Jakarta ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur (sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara) memantik perdebatan panjang yang ramai menghiasi media massa.
Pemindahan IKN tentu harus melalui tahapan-tahapan yang jelas, rinci, dan memiliki dasar legalitas. Tidak bisa asal jadi atau hanya ditangani oleh Presiden sendiri. Keterlibatan DPR dan DPD mulai 2020 ini sangat diperlukan.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah tercetus gagasan untuk memindahkan IKN ke daerah Karawang, Jawa Barat, tetapi tidak ditindaklanjuti karena terbentur biaya yang terlampau besar. Pak Harto pun gagal mewujudkan Jonggol di Bogor, Jawa Barat, menjadi IKN. Keputusan Presiden Jokowi perlu diapresiasi karena berani mengambil tindakan di tengah resesi ekonomi Indonesia dan dunia.
Namun, sebaiknya perlu melewati rencana yang matang dan tahapan-tahapan panjang, paling kurang sebagai berikut: (1) harus ada kajian komprehensif dulu pemindahan IKN oleh tim yang dibentuk Presiden dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait, pakar, dan tokoh masyarakat; (2) apabila Presiden menyatakan hasil kajian itu layak (feasibility study), lalu diajukanlah izin prakarsa pemindahan IKN ke DPR.
Kemudian; (3) berdasarkan usulan dari Presiden, DPR dan DPD segera melakukan pembahasan bersama pemerintah. Apabila disetujui, DPR memberikan izin prinsip kepada Presiden.
Eksekusi izin prinsip itu diberi batas waktu misalnya paling lambat 20 tahun IKN telah dipindahkan; (4) berdasarkan izin prinsip dari DPR, Presiden membentuk tim ”World Class” untuk melakukan kajian teknis antara lain: rencana detail tata ruang IKN, analisis masalah dampak lingkungan, rencana jaringan infrastruktur, detail engineering design (DED), pembangunan infrastruktur, rencana pembiayaan dan penganggaran, dan desain kelembagaan serta kewenangan penyelenggara pemerintahan IKN.
Keputusan Presiden Jokowi perlu diapresiasi karena berani mengambil tindakan di tengah resesi ekonomi Indonesia dan dunia.
Selanjutnya; (5) berdasarkan hasil kajian teknis itu, Presiden menetapkan rencana pemindahan IKN dengan peraturan presiden (perpres); dan (6) berdasarkan perpres itu pemerintah memulai pembangunan fisik IKN yang baru, paralel dengan itu disusunlah RUU IKN dan RUU eks IKN.
Ketika pembangunan fisik selesai dan UU IKN jadi, dilaksanakanlah pemindahan IKN. Skenario paling cepat, sepanjang uang tersedia diperkirakan pemindahan IKN bisa terlaksana 15 tahun ke depan (2034). Rasanya akan sangat riskan jika pemindahan IKN dipaksakan tahun 2024. Pengalaman kita memindahkan ibu kota provinsi perlu waktu 15-20 tahun (kasus Kalsel dan Maluku Utara).
Lalu bagaimana nasib Provinsi DKI ketika tak jadi IKN lagi? Dengan berbagai alasan kekhususan yang telah melekat di Jakarta, sebaiknya Provinsi DKI diberi status khusus jadi daerah otonomi khusus bidang ekonomi-bisnis dengan nama Provinsi Metropolitan Jakarta.
Sebagai pusat ekonomi-bisnis, Jakarta merupakan tempat kedudukan kantor pusat bagi lembaga pemerintah pusat yang secara langsung menangani investasi, moneter, dan jasa keuangan, kantor pusat pasar modal, perbankan nasional, lembaga keuangan internasional, perusahaan asing dan multinasional, pusat kegiatan pertemuan ekonomi/bisnis nasional dan internasional.
Wilayah Provinsi Jakarta sebaiknya ke depan diperluas melalui skema amalgamasi (penggabungan) beberapa daerah tetangga, seperti Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Dengan begitu, wilayah penyangga Jakarta selama ini akan terintegrasi menjadi satu kesatuan pemerintahan dan pembangunan sehingga lebih memudahkan pelayanan publik, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan memperkuat daya saing untuk menangkap peluang globalisasi dan regionalisasi.
Dengan berbagai alasan kekhususan yang telah melekat di Jakarta, sebaiknya Provinsi DKI diberi status khusus jadi daerah otonomi khusus bidang ekonomi-bisnis dengan nama Provinsi Metropolitan Jakarta.
Adapun bentuk otonomi daerahnya tetap satu tingkat, tetapi dengan pelimpahan kewenangan yang lebih banyak dari provinsi kepada kota dan kabupaten administratifnya, khususnya yang terkait dengan urusan pelayanan publik.
(Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2010-2014)