Beberapa hari lalu, istri saya ketika keluar dari gerai ATM di sebuah SPBU nyaris tertabrak sepeda motor yang melintas dengan kecepatan tinggi. Entah apa yang mendorong sang pengendara motor ”ngebut” di tempat yang tengah sepi pengunjung itu.
Tak ada kata maaf, juga unjuk perhatian, terhadap istri saya yang jantungnya serasa mau copot dan kakinya lemas karena kaget. Sang pengendara motor juga tampak tak peduli dan terus melaju.
Ulah serupa, yang kerap dipertontonkan sebagian paradator (para pengendara sepeda motor) di jalan, menunjukkan betapa abainya mereka terhadap keselamatan orang lain dan diri sendiri. Mereka berlaku seakan satu-satunya pemilik jalan yang sah, boleh melanggar aturan, termasuk berkendara melawan arus lalu lintas.
Beberapa tetangga saya, yang sudah mencoba berhati-hati di jalan, ”terbunuh” oleh sosok-sosok manusia yang seakan kerasukan setan ini. Pejalan kaki, terutama penyeberang jalan, tak ada harganya di mata mereka. Semuanya boleh ditabrak sesuka hati mereka!
Dalam hal ini, mereka bukan paradator, tetapi menjadi predator garang dan siap menerkam korban. Tua, muda, kanak-kanak, lelaki, perempuan, kaya, miskin, semua berpotensi diterkam, dilumat, dan dimusnahkan. Menurut para pengemudi mobil dan taksi yang gemas melihat aksi mereka, para predator ini belum pernah mengemudikan mobil di jalan raya, yang lebih tahu arti kehati-hatian dalam berkendara. Benarkah?
Kemungkinan besar mereka bukan pemilik SIM yang sah dan telah pula ”lolos” ujian mengendarai sepeda motor. Tampak jika ada razia sepeda motor, mereka terbirit-birit kabur. Tak peduli harus berbalik arah, melawan arus, atau naik ke jalur pedestrian.
Mungkin kita perlu bertanya: makhluk apakah yang telah menyusup ke jiwa dan menyatu dengan raga mereka? Mungkinkah mereka sebenar-benarnya adalah sekumpulan manusia garang, egoistis dan egosentris, tak peduli orang lain, antisosial, dan bermoral rendah?
Jangan-jangan sepeda motorlah yang ”mengubah” mereka menjadi monster di jalan? Wallahu a’lam!
Tuhan, selamatkan kami.
Zainoel B Biran
Perumahan Dosen UI Ciputat, Tangsel, Banten
Zaman Kentongan
Soal pengeras suara, toa, berharga miliaran untuk pemberitahuan banjir di DKI Jakarta perlu dikritisi. Bukan karena harga yang supermahal, melainkan karena kebijakan ini mengabaikan pemanfaatan teknologi informasi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seperti mengajak kita ke zaman baheula. Para orang tua tentu masih ingat penggunaan kentongan yang dipukul saat ronda, pemberitahuan hal penting ke warga, atau saat ada musibah. Apa kita hendak kembali ke zaman itu?
Mengapa tidak memanfaatkan teknologi informasi dengan mengoneksikan secara nirkabel, pusat informasi pemerintah provinsi dengan semua pengeras suara yang ada di mushala atau masjid?
Melalui teknologi informasi yang tidak terlalu rumit, ketika Badan Penanggulangan Bencana Daerah perlu menginformasikan segera kepada warga yang wilayahnya berpotensi banjir, pemberitahuan bisa langsung lewat pengeras suara di mushala atau masjid karena sudah terkoneksi.
Solusi ini jauh lebih efektif dan tidak terlalu mahal karena dalam wilayah terancam tentunya tidak hanya ada satu atau dua rumah ibadah.
Kalau toa pemberitahuan banjir dianggarkan sampai miliaran rupiah, jangan-jangan hal ini karena ada kepentingan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang ingin cepat menghabiskan anggaran.
Dari sudut pemerintahan, mungkin ini cara cepat menghabiskan anggaran. Namun, sebagai warga yang taat membayar pajak, kami tidak rela dana yang kami bayarkan sembarangan dibelanjakan.
A RISTANTO
Jatimakmur, Kota Bekasi