Lebih dari 70 juta orang hidup terusir dari kampung halaman. Perang, persekusi, dan kekerasan membuat mereka harus hidup di penampungan sementara.
Oleh
·2 menit baca
Menurut laporan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), hingga 2018, sebanyak 70,8 juta orang terpaksa meninggalkan kediaman atau kampung halaman sendiri akibat berbagai hal, seperti konflik bersenjata, ancaman kekerasan, dan persekusi. Dari jumlah itu, sebanyak 25,9 juta orang berstatus pengungsi (refugee)—dengan 20,4 juta pengungsi di bawah mandat UNHCR dan 5,5 juta pengungsi di bawah Badan Pengungsi Palestina PBB (UNRWA).
Bagian terbesar dari 70,8 juta orang yang terpaksa meninggalkan kampung halaman itu adalah mereka yang terusir, tetapi masih tinggal di kamp yang berlokasi di dalam negara sendiri. Jumlahnya 41,3 juta orang. Selain itu, dari 70,8 juta orang yang terpaksa meninggalkan kediaman tersebut, bagian terkecil ialah mereka yang mencari suaka (asylum seeker), yakni 3,5 juta orang.
Pengungsi yang ditangani UNHCR dimungkinkan untuk ditempatkan di negara penerima, yang secara tradisional terdiri atas sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat. Namun, laju persetujuan menerima pengungsi sangat lambat dibandingkan dengan pertambahan jumlah orang yang terusir dari kampung halaman dan tinggal di tempat penampungan di negara lain.
Situasi ini menimbulkan problem bagi pengungsi serta negara transit. Konflik antara warga lokal dan pengungsi terjadi. Kriminalitas serta gangguan keamanan tak terhindarkan. Pengungsi yang bertahun-tahun berada di negara transit kehilangan harapan dan putus asa. Kasus bunuh diri pun beberapa kali terjadi. Hidup pas-pasan dengan uang saku sangat kecil, ketiadaan pekerjaan, ketidakjelasan kepindahan ke negara penerima merupakan sebagian dari faktor-faktor menekan pengungsi.
Situasi tersebut pada masa mendatang semakin sulit karena penerimaan pengungsi cenderung turun. Kompas edisi Rabu (29/1/2020) memberitakan, Kepala Perwakilan UNHCR Indonesia Ann Maymann menyatakan bahwa penerimaan pengungsi oleh suatu negara diproyeksi terus turun, apalagi negara-negara seperti AS, sebagai penerima pengungsi terbesar, memotong kuota secara drastis dalam waktu cepat.
Penanganan pengungsi tak bisa ditangani hanya oleh lembaga seperti UNHCR. Negara maju yang menjadi pihak penerima harus lebih terbuka. Negara transit pun tak bisa lepas tangan. Keterlibatan lebih aktif untuk membantu para pengungsi perlu dilakukan negara-negara transit.
Hal yang tak kalah penting ialah upaya negara tempat pengungsi berasal. Penegakan hukum dan ketertiban, serta jaminan atas keselamatan warga harus menjadi prioritas negara-negara tersebut. Pembangunan yang inklusif mutlak dikerjakan. Dalam hal ini, negara-negara ini sangat memerlukan uluran tangan dari negara yang lebih maju. Tata dunia yang lebih berkeadilan sangat dibutuhkan.